Tanggal 10 Desember menjadi Hari HAM Internasional sejak dideklarasikannya “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)” oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A (III). Sejak saat itu, DUHAM menjadi standar minimum pengakuan derajat dan martabat kemanusiaan secara universal yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara-negara.
Indonesia sendiri tercatat mengakui keberadaan DUHAM serta meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya, beserta konvensi-konvensi turunannya. Tidak hanya itu, sejumlah jaminan hak-hak asasi manusia juga turut diatur di sejumlah instrumen hukum nasional lainnya oleh Indonesia.
Meski di tahun 2020 ini Hari HAM Internasional dan DUHAM-nya kini ‘sudah berusia’ 72 tahun, namun prakteknya masih banyak negara-negara yang melakukan pelanggaran HAM, tidak terkecuali Indonesia itu sendiri. Pelanggaran HAM tersebut telah menimbulkan situasi ketidakadilan, penurunan kualitas demokrasi, dan penurunan derajat martabat kemanusiaan warganya.
Di Indonesia misalnya, sejumlah praktik pelanggaran HAM masih terus terjadi hingga hari ini. Mulai dari penggusuran paksa yang masif dan terjadi di wilayah-wilayah objek proyek pembangunan, kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan, jurnalis, pembela HAM, dll., represifitas aparat terhadap gerakan protes masyarakat sipil, maraknya kriminalisasi dengan tuduhan penodaan agama yang melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hingga praktik extrajudicial killing yang kemarin dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap 6 (enam) anggota FPI (Front Pembela Islam) di sekitar tol Cikampek.
Tahun 2020 juga menjadi penanda dimana Indonesia mengesahkan regulasi yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM secara massif, seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja. Beleid tersebut banyak mengubah ketentuan perundang-undang sebelumnya, dimana pada Beleid tersebut terdapat banyak aturan yang merugikan hak-hak kelompok buruh/pekerja, berpotensi merusak lingkungan dan menghancurkan masyarakat adat, menimbulkan konflik di wilayah pesisir pantai, menimbulkan konflik agraria, dll.
Tidak cukup mengesahkan regulasi yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM secara massif, baik Pemerintah maupun Aparat Keamanan justru melakukan represi dengan membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat warganya. Ini dapat dilihat dari banyaknya penangkapan dan kriminalisasi terhadap aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan pembela HAM yang menyuarakan penolakannya terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Situasi pandemi COVID-19 di Indonesia pada tahun 2020 ini turut menstimulasi terjadinya praktik pelanggaran HAM di Indonesia. Kebijakan penanganan pandemi COVID-19 dan perlindungan warga dari bahaya virus tersebut masih belum mencapai standar minimum Hak atas Kesehatan sebagaimana diatur dalam regulasi internasional Hak Asasi Manusia.
Di sisi lain, ada salah kaprah dalam kebijakan penanganan pandemi COVID-19, dimana penanganan pandemi yang seharusnya melibatkan secara penuh tenaga dan ahli kesehatan, justru dilakukan dengan pendekatan keamanan dan pertahanan, dimana aparat kepolisian dan personel TNI yang notabenenya tidak memiliki kompetensi di bidang kesehatan justru dilibatkan dalam penanganan pandemi COVID-19.
Selain itu, praktik korupsi dana bantuan sosial selama masa pandemi COVID-19 yang terjadi di lingkungan Kementerian Sosial RI menjadikan hak atas jaminan sosial warga terabaikan dan dicerabut, karena selain merugikan keuangan negara juga merugikan hak masyarakat atas jaminan sosial-ekonomi.
Hal tersebut akan semakin memperburuk situasi ketahanan ekonomi warga dan berpotensi memperparah instabilitas perekonomian negara dan menyebabkan krisis multidimensi yang merambat ke ranah/aspek sosial, politik, dan keamanan. Tidak hanya itu, hal itu juga akan semakin menurunkan kepercayaan warga terhadap pemerintah dan negara.
Untuk itu pada Hari HAM Internasional 10 Desember 2020 ini, masyarakat sipil mendorong dan mendesak Pemerintah RI agar kembali kepada jalur dan pakem konstitusi serta melakukan perubahan kebijakan yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga harus membuka kesempatan dan partisipasi publik seluas-luasnya untuk turut andil merancang dan menentukan arah kebijakan pemerintahan, pembangunan, perekonomian, kesehatan, dll. agar lebih demokratis.
Jakarta, 11 Desember 2020
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Asasi Manusia
(LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, WALHI , IRES, KIARA)