Empat puluh tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah organisasi bantuan hukum atau organisasi hak asasi manusia. LBH Jakarta bisa dikatakan sebagai lembaga yang sudah cukup tua, mengalami 27 tahun kerasnya Orde Baru, mendorong reformasi dan merasakan bagaimana Orde Reformasi yang sudah memasuki usianya yang ke-20 pada tahun ini.
Dalam peringatan usianya yang ke 47, tahun ini LBH Jakarta mengambil tema “Menjaga Semangat Reformasi di Tengah Darurat Demokrasi” karena tepat dengan dua puluh tahun reformasi dan kondisi demokrasi yang semakin membuat kita cemas akan seperti apa nanti negeri ini. Pada usia ke-47 ini kami ingin berefleksi mengenai tiga hal, yaitu:
Kondisi Negara
Pada akhir tahun 2017, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) meluncurkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) dengan judul Redupnya Api Reformasi. Judul tersebut merupakan hasil refleksi berbagai persoalan demokrasi dan hak asasi manusia yang terjadi sepanjang 2017, sekaligus merangkum hasil refleksi berbagai konsolidasi masyarakat sipil mengenai kondisi demokrasi.[1] Redupnya api reformasi ketika amanat reformasi hanya dijadikan sejarah yang perlahan bisa mati dan dilupakan. Amanat reformasi tersebut adalah: 1) Penegakan supremasi hukum; 2) Pemberantasan KKN; 3) Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; 4) Amandemen Konstitusi; 5) Pencabutan Dwi Fungsi ABRI; 6) Pemberian Otonomi Daerah Seluas-luasnya.
Dua puluh tahun Reformasi, militerisme semakin menguat, koruptor mampu membentuk dan menguasai sistem, bangkitnya kroni Soeharto dan keluarganya, hukum diletakkan di bawah politik, otonomi daerah melahirkan oligarki atau politik kroni di daerah, dan adanya gerakan untuk kembali ke UUD 1945 yang dianggap sebagai UUD asli. Demokrasi semakin menurun dan peringkat demokrasi Indonesia terjun bebas 20 peringkat ke posisi 68 pada tahun 2017.[2] Penurunan kualitas demokrasi tersebut sejalan dengan survei Badan Pusat Statistik setahun sebelumnya yang menyimpulkan indeks demokrasi Indonesia turun dari poin 72 ke 70 akibat turunnya kebebasan sipil, hak politik, dan kualitas lembaga demokrasi.[3]
Saat ini, Hak Asasi Manusia masih menjadi hal yang asing sehingga penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya menjadi fiksi. Aktor-aktor pelanggar HAM justru bercokol dalam posisi posisi penting dan dibiarkan menari dalam kontestasi posisi. Sementara masyarakat dibiarkan tidak dilindungi hukum, intoleransi meluas dan justru didorong oleh elit pelanggar HAM dan oligarki. Situasi yang membuat kita semakin terjepit. Meminjam lirik lagu Anthem karya Leonard Cohen:
“I can’t run no more with that lawless crowd. While the killers in high places say their prayers out loud…” (Saya tidak dapat berlari lagi di kerumunan tanpa hukum itu. Sementara para pembunuh mengucapkan doa mereka dengan suara yang sangat lantang).
Kondisi Gerakan Masyarakat Sipil Progresif
Dalam Catahu 2017, LBH Jakarta tidak sepenuhnya menyalahkan keadaan kepada negara tapi juga kepada kelompok masyarakat sipil dan tentunya LBH Jakarta sendiri sebagai bagian di dalamnya. Kegagalan konsolidasi kelompok masyarakat sipil pasca reformasi menjadi salah satu faktor penyebab redupnya api reformasi. Banyaknya friksi dalam berbagai isu, sulitnya menemukan kepentingan ataupun strategi bersama antar kelompok gerakan, dan terakhir masuknya berbagai kelompok masyarakat sipil ke dalam sistem yang justru tidak memberikan pengaruh signifikan karena buasnya sistem politik di pemerintahan. Dalam sebuah artikel, Abdul Mughis Mudhoffir dan Andi Rahman Alamsyah mengatakan bahwa gagalnya perubahan dari dalam oleh mantan aktivis karena tidak adanya gerakan progresif yang terorganisasi.[4]
Saya sendiri berpendapat bahwa, kondisi masyarakat sipil saat ini adalah sebuah bentuk masyarakat sipil yang tidak berdaya (powerless civil society). Jika kita meminjam analisa Gene Sharp mengenai kekuatan politik, terdapat enam sumber kekuatan politik, yaitu kewenangan (authority), sumber daya manusia (Human Resources), kemampuan dan pengetahuan (Skill and Knowledge), sumber materi (Material Resources), sanksi (Sanction), dan faktor lain yang tidak bisa diukur (Intangible Factor).[5] Mari kita lihat satu persatu bagaimana kekuatan politik masyarakat sipil saat ini.
Masyarakat sipil tentunya tidak memiliki kewenangan, bahkan mantan aktivis yang masuk di dalam sistem tidak memiliki kewenangan untuk mengegolkan berbagai agenda yang sifatnya progresif. Dari segi jumlah sumber daya manusia juga juga demikian, namun hal ini bisa diperdebatkan. Serikat buruh memiliki jumlah jutaan, tapi belum mampu melakukan mobilisasi yang konsisten untuk agenda HAM dan demokrasi. Belum lagi organisasi non pemerintah berbasis HAM, jumlahnya sangat sedikit dan jarang melakukan mobilisasi. Kemampuan untuk menunjukkan jumlah juga menjadi masalah tersendiri. Berkali-kali demonstrasi terkait demokrasi hanya diikuti oleh puluhan atau ratusan orang. Bandingkan dengan kelompok lain yang mengusung isu non demokrasi.
Terkait kemampuan dan pengetahuan masyarakat sipil punya modalitas meskipun negara juga memiliki sumber daya yang tidak kalah hebatnya. Terkait sumber materi, kelompok masyarakat sipil saat ini susah payah untuk mempertahankan organisasi dan programnya karena terbatasnya dana, baik karena faktor eksternal organisasi maupun internal organisasinya. Terkait sanksi, kelompok masyarakat sipil tidak memiliki kekuatan ini. Bahkan tidak akan ada sanksi sosial yang bisa dijatuhkan terhadap para pelanggar terhadap nilai-nilai yang diusung oleh kelompok masyarakat sipil. Terkait intangible factor seperti agama dan budaya yang memberikan kekuatan politik, kelompok masyarakat sipil tidak banyak menggunakan sumber kekuatan ini, mungkin karena seringkali digunakan oleh kelompok feodal dan seringkali memunculkan kesadaran palsu.
Dari penjelasan di atas, tidak heran masyarakat sipil progresif di Indonesia tidak mendapatkan tempat ataupun setidaknya didengar. Berbagai agenda non demokratis berjalan dengan mulus, misalnya mengenai program Bela Negara, keterlibatan militer dalam agenda non pertahanan, UU Ormas, UU MD3, PP No. 78/2015, PP No. 60 Tahun 2017, dan berbagai kebijakan lainnya. Jangankan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sudah masuk dalam Nawa Cita, Aksi Kamisan yang sudah berlangsung 534 kalipun tidak mendapat respon. Entah jika mendekati Pilpres nanti.
Tapi kita tidak boleh terlalu larut dan pesimis dengan keadaan, masih ada simpul-simpul gerakan yang terus bergerak untuk melakukan perlawanan. Setidaknya melakukan lempar jumrah, berbagai aksi meskipun kecil, setidaknya sebagai simbol menentang pelanggaran HAM dan kebijakan tidak demokratis.
Kondisi LBH Jakarta
Lalu bagaimana dengan kondisi organisasi tua ini? LBH Jakarta masih berjuang keras untuk memperbaiki pengelolaan organisasinya: menyesuaikan diri sebagai organisasi bantuan hukum, NGO HAM, sekaligus organisasi gerakan. Beban kerja yang tinggi dan ribuan kasus yang harus diselesaikan menjadi tantangan untuk fokus pada permasalahan struktural yang harus diselesaikan. Berbagai kecerobohan atau tidak optimal dalam pelayanan bantuan hukum masih ditemukan, terlebih jika Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) abai dalam mengatur agenda kerjanya atau pimpinan luput melakukan monitoring dan pengembangan.
LBH Jakarta cukup terengah-engah dalam mengimbangi ritme dan dan dinamika eksternal yang semakin buruk dan semakin lemahnya aktor gerakan progresif. Berbeda dengan organisasi lain yang memiliki fokus kerja dan workload tidak terlalu tinggi. Misalnya saja LBH Jakarta dan rekan-rekan ditolak untuk menjadi pihak terkait dalam judicial review Perppu Ormas karena sudah terlalu banyak yang mengajukan dan pengajuan yang cukup lambat meskipun tidak ada larangan jelas dalam hukum acara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Atau hingga saat ini LBH Jakarta belum mengajukan judicial review terhadap UU MD3 sementara organisasi lain sudah mengajukannya beberapa hari setelah pengesahan.
Jika kita kaitkan dengan sumber kekuatan politik menurut Gen Sharp, maka dapat dikatakan juga kekuatan politik LBH Jakarta tidak cukup besar. Tidak heran suara LBH Jakarta tidak terlalu didengar, gugatan diabaikan, atau bahkan dengan mudah diserang oleh kelompok intoleran. Berdasarkan hal tersebut, LBH Jakarta harus memfokuskan dirinya untuk mengumpulkan kekuatan politik masyarakat sipil melalui berbagai kegiatan bantuan hukumnya. Pelatihan paralegal jangan diadakan jika hanya menambah pengetahuan tanpa mendorong kemandirian dan kesadaran politik komunitas. Gugatan jangan dilayangkan jika tidak ada dukungan akar rumput dan kerja pengorganisiran yang simultan. Pengorganisasian masyarakat berbasis hukum harus diuji dengan mobilisasi dan solidaritas antar isu HAM. LBH Jakarta harus berperan aktif dalam menjahit dan mengkonsolidasikan organisasi dan aliansi progresif, bahkan membuat organisasi baru jika dibutuhkan. Intinya sumber kekuatan politik terkait sumber daya manusia dan kemampuan harus ditingkatkan.
Mengenai materi sebagai sumber kekuatan politik, saat ini LBH Jakarta telah mengembangkan kemampuannya dalam memperoleh dana langsung dari masyarakat melalui Solidaritas Masyarakat Peduli Keadilan (SIMPUL). Namun hal tersebut belumlah cukup karena kami ingin setidaknya 70% sumber dana LBH Jakarta berasal dari masyarakat, bukan dari negara ataupun lembaga donor. Tentunya akan lebih signifikan jika sumber dana 100% dari masyarakat.
Pada ulang tahun ke 47 ini kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pemangku kepentingan dan pendukung LBH Jakarta; klien, paralegal, SIMPUL, alumni, media, dan seluruh jaringan kerja. Terima kasih telah menjadi teman yang tepat untuk LBH Jakarta. Organisasi ini akan selalu ada sepanjang terdapat ketidakadilan. Tapi bagaimana menyelesaikan ketidakadilan secara struktural adalah tantangan sebenarnya. Menyelesaikan kasus adalah hal yang mudah. Menyelesaikan akar masalah, tidak semua organisasi bisa melakukannya.
Sebagai penutup, supaya kita tidak pesimis dengan keadaan, izinkan saya kembali mengutip penggalan lirik Anthem karya Leonard Cohen:
“Ring the bells that still can ring. Forget your perfect offering. There is a crack in everything. That’s how the light gets in” (Bunyikanlah lonceng yang masih bisa berbunyi. Lupakan persembahan sempurnamu. Selalu ada retak dalam setiap hal. Begitulah cara cahaya masuk ke dalam).
Jakarta, 14 April 2018
Salam Keadilan!
Alghiffari Aqsa
Direktur LBH Jakarta
[1] Aqsa et al., Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta: Redupnya Api Reformasi. Jakarta: LBH Jakarta, 2017. Hal. 12-16.
[2] Lihat indeks demokrasi yang dibuat oleh The Economist Inteligence Units (The EIU). Dapat diakses di https://infographics.economist.com/2018/DemocracyIndex/
[3] https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/09/14/1401/indeks-demokrasi-indonesia–idi–tingkat-nasional-2016-mengalami-penurunan-dibandingkan-dengan-idi-tingkat-nasional-2015.html
[4] https://theconversation.com/buasnya-sistem-politik-indonesia-halangi-upaya-reformasi-dari-dalam-oleh-mantan-aktivis-94523
[5] Popovic et al., Non Violent Struggle. Belgrade:Canvas, 2007. Hal. 26