Satu tahun berselang sejak disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR, berbagai persoalan akibat hilangnya ketentuan jaminan-jaminan dasar masyarakat terkait penghidupannya terus bermunculan. UU usulan Presiden yang diklaim dapat mengatasi dampak pandemi Covid-19 dengan terciptanya lapangan pekerjaan terbukti justru menggerogoti hak-hak dasar masyarakat yang sebelumnya terjamin dalam peraturan perundang-undangan yang direvisi melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, seperti: hak mendapatkan upah layak hingga hak partisipasi rakyat dalam pembangunan. UU Cipta Kerja justru menjadi pelengkap derita rakyat di tengah pandemi Covid-19.
Pada 5 Oktober 2020 lalu, UU Cipta Kerja disahkan dalam sidang paripurna di tengah pandemi dan masifnya aksi-aksi penolakan publik di seluruh Indonesia. Pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan tanpa proses penyusunan dan pembahasan yang partisipatif dan tanpa keterbukaan informasi mengenai draf dan naskah akademiknya kepada publik. Pemerintah bahkan bersikap diskriminatif ketika hanya melibatkan kelompok pengusaha dalam penyusunan draf RUU sebelum diserahkan kepada DPR RI. Bahkan berbagai perubahan gelap terjadi dalam draf UU pasca disahkan sebelum dicatatkan pada lembaran negara. UU sapu jagat yang kompleks dengan total 1.187 halaman disusun dan dibahas hanya dalam waktu 11 bulan pasca dicanangkan. UU tersebut dimaksudkan pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan regulasi dan mempercepat investasi yang diklaim akan mensejahterakan rakyat.
Pada momentum 1 tahun pasca pengesahannya, LBH Jakarta memberikan beberapa catatan yang menunjukan bahwa UU Cipta Kerja justru memperburuk kondisi perlindungan hukum dan kesejahteraan rakyat:
Pertama, UU Cipta Kerja menciptakan ketidakadilan ruang. Rakyat kehilangan kedaulatan atas ruang hidupnya.
Pengaturan Pasal 17 dan Pasal 18 UU Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah No .21 Tahun 2021 sebagai peraturan turunan di bidang penataan ruang telah mengubah perspektif penyusunan tata ruang menjadi top down dengan kewenangan terpusat pada pemerintah pusat. Layaknya hierarki peraturan perundangan, Rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah wajib menyesuaikan RTRW level nasional.
Dalam konteks ruang pesisir, pengaturan kewajiban partisipasi masyarakat dalam penyusunan zonasi serta prinsip fungsi sosial dan lingkungan pemanfaatan ruang pesisir yang sebelumnya diatur dalam UU 27/2007 dihapuskan dan diganti dengan pengaturan yang berperspektif pengusahaan ruang. Pengaturan zonasi juga tidak mensyaratkan Rencana Strategis dan kajian Lingkungan Hidup Strategis seperti sebelumnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan UU 32/2009 dan membatasi ketentuan partisipasi masyarakat dalam perumusan AMDAL dan menghapus izin lingkungan sebagai syarat berusaha. Ketentuan semacam ini jelas menguntungkan kepentingan investor namun benar-benar menghilangkan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang tinggal di pesisir dan pulau kecil.
Masyarakat Pulau Pari di Kepulauan Seribu adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang dirugikan dengan pengaturan UU Cipta Kerja tersebut. Masyarakat Pulau Pari mayoritas merupakan nelayan tradisional dan telah tinggal di pulau tersebut secara turun temurun. Dengan ditetapkannya Kepulauan Seribu sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, Pulau Pari secara Top-down ditetapkan sebagai kawasan industri wisata dalam Raperda RZWP3K di DKI Jakarta yang kini tengah dalam pembahasan dengan merujuk pada ketentuan UU Cipta Kerja.
Dengan minimnya pelibatan masyarakat asli terdampak dan minimnya pengalokasian ruang bagi pemukiman nelayan, pengaturan tersebut mengancam keberadaan masyarakat pulau pari. Pasalnya aktivitas nelayan yang menjadi mayoritas pencaharian warga harus menyesuaikan dan tidak boleh mengganggu aktivitas industri pariwisata di zona tersebut, termasuk di antaranya ruang tangkap dan jenis yang dibudidayakan. Problem serupa juga mengancam Komunitas Nelayan Tradisional di Muara Angke yang terimbas pembatasan ruang permukiman nelayan dan ketiadaan perlindungan zona wilayah tangkap nelayan dari aktifitas pertambangan hingga proyek reklamasi.
Adapun selain masalah zonasi, masyarakat Pulau Pari sendiri juga tengah terancam penghidupannya dengan rencana pembangunan pulau komersil di wilayah tangkap nelayan tradisional. Dalam proses tersebut, ketentuan UU Cipta Kerja yang membatasi ketentuan partisipasi masyarakat serta upaya keberatan terhadap AMDAL yang disusun oleh Pengembang sangat mempersulit warga mempertahankan ruang penghidupannya dari kepentingan investasi yang mendapat dukungan penuh pemerintah.
Masalah serupa tidak hanya terjadi di pesisir, tetapi juga di wilayah daratan. Ditetapkannya berbagai proyek pembangunan infrastruktur sebagai proyek strategis nasional memunculkan berbagai imbas pengusiran paksa (penggusuran) dengan dalih kepentingan umum. Pasal 123 UU Cipta Kerja serta PP 19 Tahun 2021 merevisi ketentuan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Beberapa ketentuan bersifat percepatan pembebasan tanah dan memudahkan instansi yang membutuhkan tanah, namun di satu sisi mempersempit ruang gerak masyarakat terdampak untuk mempertahankan ruang ataupun sekedar menuntut kompensasi yang layak.
7 wilayah di Jakarta saat ini tengah menghadapi proses pembebasan lahan untuk normalisasi kali Ciliwung. Salah satu di antaranya adalah warga Kelurahan Rawajati. Adanya ketentuan pembelian langsung bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektar serta penguatan lembaga konsinyasi (penitipan ganti rugi) di pengadilan benar-benar mempersulit warga membela kepentingannya. Penggusuran paksa terhadap warga Jurumudi, Tangerang untuk Jalan Tol JORR W2 menunjukan adanya penguatan lembaga konsinyasi dan pembatasan upaya hukum berujung pada kompensasi yang tidak layak bagi warga.
Kedua, UU Cipta Kerja memperburuk perlindungan hak-hak pekerja.
Berbagai aturan kemudahan investor untuk menanamkan modal tidak dibarengi dengan perbaikan perlindungan hak buruh. Sebaliknya, UU Cipta Kerja justru melepaskan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap buruh dalam upaya menciptakan kedudukan yang setara dengan pengusaha.
Pelepasan tanggung jawab tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja dan Pasal 25 PP 36 Tahun 2021 yang mengubah acuan penetapan upah minimum dari semula berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan produktivitas/pertumbuhan ekonomi dalam PP 78 Tahun 2015, menjadi berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi, kondisi ekonomi meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah, atau secara sederhana, penentuannya dilakukan dengan mengikuti mekanisme pasar. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak seluruh warga. Problem dari pengaturan tersebut muncul saat ini ketika berbagai Konfederasi Serikat Buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 10% dan mengabaikan ketentuan UU Cipta Kerja.
Selain buruknya jaminan kelayakan pengupahan, UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021 juga menciptakan fleksibilitas aturan kerja yang eksploitatif. Mulai dari sistem kerja kontrak yang tidak memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak bagi buruh, alih daya (Outsourcing) yang tidak hanya terbatas pada jenis pekerjaan penunjang/non-produksi, sampai dengan batas waktu kerja lembur yang diperpanjang.
Ketiga, UU Cipta Kerja Memperburuk Kondisi Kesejahteraan Rakyat Selama Pandemi.
Tentu saja rakyat dalam hal ini bukanlah pengusaha atau investor, melainkan kelompok masyarakat marjinal seperti buruh, nelayan, dan miskin kota. Pengaturan ruang yang tidak adil berpotensi menghilangkan sumber penghidupan masyarakat miskin kota serta menciptakan kemiskinan struktural. Adapun buruknya pengaturan hak-hak buruh juga berpotensi menghasilkan kemiskinan.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan Global Wage Report 2020-2021 bertajuk “Wages and Minimum Wages in the Time of Covid-19” mencatat bahwa di tengah krisis ekonomi akibat Covid-19, upah minimum yang layak berperan penting untuk menahan masyarakat jatuh ke jurang kemiskinan. Adapun hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada Februari 2021 menunjukan bahwa mayoritas angkatan kerja di Indonesia merupakan pekerja/buruh dan sebanyak 49,67 persen dari pekerja masih digaji di bawah upah minimum. BPS melansir per Maret 2021 terdapat peningkatan angka kemiskinan selama pandemi Covid-19, dari Maret 2020 sebelum pandemi sebesar 26,42 juta menjadi 27,54 juta atau lebih dari 10%.
Tentu saja peningkatan kemiskinan selama pandemi Covid-19 tidak lantas disebabkan oleh UU Cipta Kerja. Namun hilangnya berbagai jaminan rakyat atas penghidupan layak memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat selama Covid-19 dan secara jangka panjang berpotensi menyebabkan kemiskinan struktural.
Mantra bahwa kesejahteraan rakyat akan hadir ketika lapangan kerja banyak terbuka akibat investasi yang sangat mudah tanpa hambatan hukum hanyalah pengulangan teori pembangunan orde baru (Trickle down effect) yang gagal dan hanya menciptakan jurang ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin lebar.
Berdasarkan uraian di atas, Jika Presiden RI konsisten untuk tunduk dan patuh menjalankan amanat UUD 1945 dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan atau kelompok oligarki, sudah semestinya UU Omnibus Law Cipta Kerja dicabut melalui eksekutif review dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) karena UU ini inkonstitusional baik dalam prosedur penyusunan maupun substansi pengaturannya.
Jakarta, 5 Oktober 2021
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta