Kaburnya Ratusan Tahanan dari Rutan Sialang Bungkuk
Bukti Gagalnya Sistem Hukum Pidana di Indonesia
Pers Rilis: 620 / SK- RILIS / V / 2017
Kaburnya ratusan tahanan dari Rutan Kelas II B Kota Pekanbaru, Sialang Bungkuk, Riau, Jumat (5/5/2017), sekali lagi telah membuktikan gagalnya sistem peradilan pidana Indonesia. Kaburnya para tahanan tersebut disebabkan jumlah penghuni rutan yang melebihi kapasitas. Kelebihan penghuni rutan yang berkapasitas 300 tahanan namun dihuni 1.870 tahanan tersebut, telah terakumulasi sejak lama dan pada akhirnya memuncak melalui insiden kaburnya para tahanan. Sebelum kasus ratusan tahanan yang kabur, juga terdapat permasalahan rutan yang terkuak seperti kerusuhan. Kerusuhan pernah terjadi di Lapas Klas IIA Kerobokan, Denpasar-Bali dan Rutan Idi Rayeuk-Aceh Timur. Penyebabnya pun sama, jumlah tahanan melebihi kapasitas tempat penahanan.
Sudah seharusnya fasilitas Rutan/Lapas berupa ruangan yang sesuai dengan kapasitas menjadi sebuah keharusan yang harus dipenuhi dan diberikan Direktort Jendral Permasyarakatan (Dirjen Pas) secara khusus. Melihat fenomena kelebihan kapasitas di tempat penahanan tersebut, dapat dikatakan sistem peradilan pidana Indonesia memang berhasil menuntut dan memenjara seseorang. Namun, dilain pihak sistem tersebut telah gagal menciptakan kehidupan yang ditimbulkan oleh pidana penjara yang lebih besar efek negatifnya dan tidak membuktikan keberhasilannya dalam menekan angka kejahatan.
Sistem peradilan pidana saat ini hanya berfungsi terhadap recorded crimes yang menjadi masukannya. Fungsinya pun kadang-kadang tidak dapat bersifat maksimal (total enforcement), sebab demi menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (public order) dan hak-hak individual (individual right), maka batas-batas penegakan hukum dibatasi oleh ketentuan yang ketat. Suatu substansi hukum yang sangat baik, belum tentu penegakan hukum (law enforcement) secara otomatis dapat dikatakan baik pula. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas atau kemampuan, kemauan, moral dari penegak hukum itu sendiri untuk menghindari praktik penegakan hukum yang buruk (seperti penyiksaan) dan pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh tersangka atau terdakwa lainnya.
Pada praktiknya saat ini, Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 tahun 1981) masih sulit melaksanakan law enforcement atau penegakan hukum sebagai akibat penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Penyalahgunaan wewenang dapat disebabkan karena suap, korupsi, kolusi, nepotisme, solidaritas korps, atau intervensi penguasa.
Kembali pada permasalahan over kapasitas tempat penahanan yang selama ini terjadi, agaknya hal tersebut tidak pernah dihiraukan secara serius oleh pemerintah. Bahkan di anggap sebagai permasalahan klise yang tidak pernah mampu untuk diselesaikan oleh Pemerintah. Alih-alih untuk mereformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia, melalui Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP terbaru, pemerintah justru akan lebih banyak lagi memenjarakan warga negaranya. Tedapat beberapa permasalahan dalam sistem hukum pidana indonesia secara umumnya dan RUU KUHP secara khususnya, antara lain:
Secara umum :
- Lebih dari 150 undang-undang yang berlaku di Indonesia merekomendasikan pidana penjara dalam menindak suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana;
- Masih banyaknya penahanan baik yang dilakukan oleh pihak kepolisian atau kejaksaan yang tidak sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam pasal 50 KUHAP (seperti lamanya proses penyidikan dan prapenuntutan);
- Masih terdapatnya praktik-praktik penahanan yang tidak sah seperti waktu penahanan yang telah habis namun tersangka atau terdakwa tetap dilakukan penahanan terhadapnya;
Secara Khusus:
- RUU KUHP yang saat ini digodok oleh pemerintah nyatanya lebih buruk dibandingkan UU KUHP yang sudah ada, hal tersebut dapat dilihat dalam permasalahan-permasalahan yang substansi dalam RUU KUHP tersebut antara lain dalam penggunaan hukum adat terkait dengan asas legalitas, masalah-masalah yang terkait dengan sanksi dan pemidanaan (pengaturan penahanan minimum pada RUU KUHAP yang mana sebelumnya KUHP Indonesia hanya mengatur penahanan maksimum);
- Terdapatnya undang-undang yang mengancam jaminan kebebasan sipil (civil liberties) dan perlindungan hak asasi manusia, misalnya terkait dengan masalah kebebasan berekspresi, larangan penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme, penghinaan presiden. kejahatan yang terkait dengan ketertiban umum, penghinaan agama yang eksesif, perzinaan, santet, dan lain-lain yang sering disebut oleh Tim Perumus RKUHP sebagai tindak pidana yang “Khas Indonesia”.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas LBH Jakarta mendesak pemerintah untuk : Melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia khususnya mengantisipasi overkapasitas untuk meminimalisir overcrowding dalam Lapas seperti menerapkan sanksi pidana alternatif untuk kasus-kasus pidana ringan dengan hukuman selain pidana penjara dengan cara segera membenahi sistem pidana terpadu melalui revisi KUHP dan KUHAP.
Hormat Kami
LBH Jakarta
Narahubung :
- Ayu Eza Tiara : 082111340222
- Arif Maulana : 0817256167