Siaran Pers
Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Melalui Mekanisme Non-Yudisial (R-Perpres UKP-PPHB) 2021, Melanggengkan Impunitas dan Bentuk Pengingkaran terhadap Hak Korban
Presiden melalui Kementerian Politik Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam) menerbitkan draf rilis terkait R-Perpres Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (R-Perpres UKP-PPHB) 2021[1]. Rencana tersebut membuktikan bahwa Pemerintah ingin melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, melanggengkan Impunitas dan pengingkaran terhadap hak korban.
Melalui R-PERPRES UKP-PPHB) 2021 merupakan bentuk Pengingkaran Presiden Joko Widodo terhadap komitmennya terkait dengan Penuntusan Pelanggaran HAM Berat masa lalu, dalam Pidato Pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan RI pada tanggal 14 Desember 2020, Presiden Joko Widodo menyatakan, “Komitmen penuntasan masalah HAM masa lalu harus terus dilanjutkan, Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kemajuan konkrit dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu perlu segera terlihat.”
Sekali lagi Pemerintah membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki Political Will (kehendak politik) untuk menuntaskan Pelanggaran HAM Berat masa lalu, hal ini pernah disampaikan oleh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dalam Persidangan Perkara Nomor Register: 99/G/2020/Ptun.Jkt di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, 30 September 2020, “Hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, khususnya kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan teknis hukum, melainkan tidak ada Political Will (kehendak politik) untuk menyelesaikan kasus tersebut secara serius”;
LBH Jakarta sangat menyesalkan Rencana Pemerintah untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM Berat masa lalu melalui mekanisme Non-Yudisial dengan membentuk R-Perpres UKP-PPHB 2021. Rencana tersebut selain menunjukkan pengingkaran dan tidak adanya kemauan politik dari pemerintah, juga patut diduga sebagai aksi penyelundupan hukum guna mengarusutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga terkesan sebagai jalan pintas enyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan memberi ruang bagi para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme Yudisial
Disamping itu, secara hierarkis peraturan perundang-undangan, R-Prepres UKP-PPHB tersebut lemah karena tidak dibentuk berdasarkan UU. Terlebih Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Tindakan tersebut justru menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dan merupakan langkah melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak korban dan keluarga.
Tendensi menyelamatkan para pelaku Pelanggar HAM Berat masa lalu dari pertanggungjawaban hukum melalui mekanisme pengadilan HAM, tidak dapat dipungkiri terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan hari ini. Presiden Joko Widodo dikelilingi banyak aktor yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu bahkan menduduki struktur jabatan penting dalam pemerintahan, antara lain Wiranto (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, sebelumnya Menkopolhukam), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), Yulius Selvanus dan Dadang Hendrayudha menjadi (Eks Anggota Tim Mawar yang mejadi pejabat publik di lingkungan Kementerian Pertahanan), dll.
Pemerintah Indonesia melalui Presiden sebaiknya mencontoh praktik baik dari beberapa negara seperti; Australia yang pada tahun 2008 dengan meminta maaf kepada ,“Stolen Generations”, penduduk Aborigin yang menjadi korban pelanggaran HAM karena dipisahkan secara paksa dari orang tua mereka karena kebijakan asimilasi yang berlangsung sejak abad 19. Selain itu, ada Negara Belanda yang meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya karena kejahatan perang sepanjang 1945-1949 (Pembantaian Rawagede dan Pembantaian Westerling), atau kemudian seperti Belgia, Jerman, Afrika Selatan, Amerika Serikat yang meminta maaf secara resmi dan terbuka kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu.
Berdasarkan Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan (Committee against Torture) yang mengatur mengenai permintaan maaf negara adalah bentuk penebus kesalahan (satisfaction) terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu, maka dari itu Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara dan pemerintahan seharusnya melakukan upaya permintaan maaf kepada para keluarga dan korban Pelanggaran HAM berat masa lalu dan melakukan tindakan-tindakan konkrit yang berperspektif korban seperti pengungkapan kebenaran, penegakan hukum, dan reformasi kelembagaan sebagaimana tertuang di dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada tanggal 12 Desember 2001;
LBH Jakarta menilai bahwa para pelaku Pelanggaran HAM berat masa lalu harus diadili di Pengadilan HAM untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya, bukan kemudian menggantikannya dengan mekanisme non-yudisial karena korban dan keluargannya berhak atas kebenaran (right to truth) dan keadilan terkait peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi. Pemerintah juga bertanggungjawab untuk melakukan segala upaya pemulihan secara menyeluruh dan memastikan jaminan ketidakberulangan.
Paska reformasi tidak ada kemajuan secara signifikan yang dilakukan negara untuk menjalankan kewajibannya dalam pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Akibatnya berbagai kasus Pelanggaran HAM yang telah selesai dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM tidak kunjung ditindalanjuti.
Maka dari itu, merujuk pada hal-hal diatas, LBH Jakarta mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk ;
- Presiden Joko Widodo menghentikan pembahasan dan/atau membatalkan dan/atau tidak melanjutkan Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (R-Perpres UKP-PPHB) 2021;
- Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan pemerintahan semestinya mengakui bahwa telah terjadi Pelanggaran HAM Berat pada masa lalu dan melakukan permohonan maaf kepada korban dan keluarga serta seluruh waga negara secara terbuka serta melakukan pengungkapan kebenaran, penegakan hukum, dan reformasi kelembagaan dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat;
- Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu;
- Komnas HAM dan Jaksa Agung segera menyerahkan hasil penyelidikan dan penyidikan Pelanggaran HAM Berat masa lalu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia;
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hocatas Peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu;
- Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesiasegera membentuk Undang-Undang tentang Komisi Kebeneran dan Rekonsiliasi yang baru sesuai dengan UUD 1945, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional sebagaimana mandate Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.006/PUU-IV/2006.
Jakarta, 20 April 2021
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA