Siaran Pers
Tolak Pencabutan Pasal Penggusuran Paksa, Putusan Mahkamah Konstitusi Lestarikan Pelanggaran HAM
Pers Rilis No: 372/SK-Rilis/XI/2017
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan korban penggusuran paksa untuk membatalkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak. Pasal-pasal tersebut dimohonkan untuk dibatalkan lantaran keberadaannya sering dijadikan dasar hukum bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran paksa. Dengan ditolaknya permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi semakin melestarikan praktik penggusuran paksa dan mempertahankan azas hukum kolonial yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut.
Putusan Perkara Nomor: 96/PUU-XIV/2016 tersebut dibacakan pada Selasa (28/11). Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai UU tersebut masih relevan untuk melindungi tanah dari penyerobotan oleh pihak yang tidak berhak dan bagian dari perwujudan konsep penguasaan negara yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Majelis beranggapan bahwa negara memang wajib untuk melakukan pemenuhan hak atas perumahan yang layak, tetapi negara juga wajib melindungi hak setiap orang atas tanah.
Dalil pemohon yang menyatakan keberlakuan UU membuat kedudukan eksekutif melampaui kewenangan lembaga peradilan (yudikatif) karena tidak perlu membuktikan kepemilikan tanah ditolak oleh Majelis. Alasannya, UU tidak melarang pemohon untuk mengajukan upaya hukum. Majelis Hakim juga menganggap pasal pemidanaan yang diatur dalam UU perlu ada untuk menjamin kepastian hukum warga yang mengalami perampasan tanah. Majelis juga mengenyampingkan keberadaan asas kolonial Domein Verklaring dalam UU tersebut yang mendalilkan bahwa setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik negara.
Melestarikan Pelanggaran HAM
LBH Jakarta bersama dengan korban penggusuran paksa sebagai pemohon sangat kecewa dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pasalnya pertimbangan tersebut melegitimasi tindakan penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah terhadap hunian-hunian yang tidak mampu menunjukan status kepemilikan tanahnya yang didasarkan pada UU tersebut. Padahal, dalam banyak sekali kasus penggusuran paksa, hal tersebut terjadi lantaran adanya penelantaran tanah, tidak adanya informasi mengenai pendaftaran tanah ataupun diskriminatifnya birokrasi pendaftaran hak atas tanah.
LBH Jakarta bersama dengan korban penggusuran paksa beranggapan bahwa keberadaan UU tersebut memberikan wewenang yang besar bagi pemerintah atau pihak swasta untuk merampas lahan milik warga tanpa perlu membuktikan kepemilikan, juga tanpa memberikan kompensasi apapun. Putusan tersebut bahkan berpotensi meningkatkan angka kriminalisasi terhadap masyarakat tradisional ataupun masyarakat adat yang telah secara turun temurun menduduki lahan huniannya selama jangka waktu lama.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak sejalan dengan semangat perlindungan HAM yang dijamin berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Komisi HAM PBB dalam Resolusi No. 77 tahun 1993 bahkan telah menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM berat.
Melegitimasi Peran Militer Dalam Penggusuran
Dalam putusannya, Majelis sama sekali tidak mempertimbangkan dalil pemohon tentang konteks lahirnya UU dalam situasi keadaan bahaya (staat van oorlog en beleg) yang membuat muatan pasalnya memicu terjadinya kekerasan dalam kasus-kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat tidak berwenang seperti TNI. Parahnya, Majelis bahkan memberikan tafsir bahwa pelibatan TNI dalam penggusuran dapat dibenarkan sebagai upaya akhir untuk melindungi keamanan dalam negeri.
Tafsir tersebut tentu saja tidak sesuai dengan semangat reformasi. Pasca dicabutnya dwi fungsi ABRI di era reformasi, TNI diharapkan setia pada fungsinya yang ditegaskan dalam UU TNI untuk menjaga kedaulatan negara dan tidak mencampuri urusan sipil dan politik. Tafsir Majelis tersebut sangat berbahaya lantaran berpotensi dijadikan legitimasi untuk menguatkan peran TNI dalam mengurusi persoalan sipil seperti penggusuran.
***
LBH Jakarta bersama korban penggusuran paksa beranggapan bahwa putusan ini adalah kemunduran dalam mengintegrasikan pendekatan Hak Asasi Manusia dalam sistem hukum pertanahan Indonesia. Tidak hanya itu, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi juga membiarkan keberlakuan azas kolonial dalam hukum pertanahan tetap dipertahankan dan bahkan melegitimasi peran militer dalam penggusuran.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
1. Charlie albajili (081224024901)
2. Alldo Felix Januardy (087878499399)
3. Nelson Nikodemus Simamora (081396820400)