Pada 12 Agustus 2022, beredar pemberitaan bahwa Kapuslabfor Polri, Brigjen Pol. Agus Budiharta ditempatkan dalam tempat khusus (Patsus) Mako Brimob menyusul belasan rekan sejawatnya lantaran diduga terlibat rekayasa kasus pembunuhan Brigadir Josua. LBH Jakarta menilai bahwa dugaan keterlibatan tersebut menambah buruk citra Polri karena kerja-kerja pemolisian selama ini cukup bergantung pada fungsi Labfor dalam mengungkap suatu kasus kejahatan.
Dalam perkembangan teknik penyidikan modern, Scientific Crime Investigation merupakan perangkat kemampuan yang wajib dikuasai oleh Kepolisian modern di tengah kompleksitas fenomena kejahatan. Namun, semua perangkat kemampuan tersebut menjadi tak berguna apabila integritas ujung tombak Scientific Crime Investigation tercoreng dengan dugaan keterlibatan Brigjen Pol. Agus Budiharta selaku Kapuslabfor dalam kasus ini. Tidak hanya itu dalam beberapa kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta, integritas dari hasil forensik pun patut dipertanyakan kebenarannya, kedudukan Puslabfor yang berada di dalam struktur kepolisian menjadikannya sebagai sebuah bagian struktur yang mungkin bisa diintervensi dan dipengaruhi karena terdapat relasi kuasa, terlebih terhadap kasus kasus yang melibatkan anggota kepolisian.
Terhadap kejadian di atas, LBH Jakarta berpendapat sebagai berikut:
Pertama, dugaan keterlibatan Brigjen Pol. Agus Budiharto kontradiktif dengan apa yang digadang-gadang Kapolri dalam pernyataannya pada 5 Agustus 2022 lalu, mengenai janjinya untuk mengungkap kasus pembunuhan Brigadir Josua dengan metode Scientific Crime Investigation. Sehingga LBH Jakarta berpandangan bahwa pernyataan Kapolri tersebut patut untuk disangsikan.
Kedua, kasus ini memperlihatkan dugaan kuat bahwa Puslabfor sangat rentan digunakan sebagai sarana rekayasa kasus dan/atau menutup upaya pengungkapan sebuah kasus. Berdasarkan catatan pendampingan LBH Jakarta, terdapat kasus salah tangkap disertai penyiksaan yang sarat akan rekayasa kasus dan diduga kuat melibatkan Puslabfor Polri di dalamnya, yakni kasus Fikry, dkk (Kasus Salah Tangkap Tembalang, Bekasi).
Dalam kasus tersebut, Labfor melakukan pemeriksaan laboratoris kriminalistik terhadap beberapa barang bukti. Namun, pemeriksaan yang dilakukan Labfor tersebut tidak dilakukan dengan kepatuhan terhadap kaidah-kaidah pemeriksaan forensik karena Labfor tidak menjelaskan secara langsung kaitan antara pelaku dengan korban dan pelaku dengan barang bukti (barang bukti tidak dapat dihubungkan dengan pelaku).
Selain itu, terdapat prosedur dokumentasi kronologis mengenai interaksi pemeriksa dengan barang bukti (chain of custody) yang terputus. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak terdapat BA pengambilan dan BA Penyegelan barang bukti dalam laporan hasil pemeriksaan. Akibatnya, Fikry dkk diseret ke pengadilan dan dijatuhi pidana penjara atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.
Disamping itu, juga kasus Penyiraman Air Keras, Ex Penyidik KPK Novel Baswedan yang justru terjadi dugaan penghilangan petunjuk dan barang bukti untuk pengungkapan kasus. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin kasus-kasus kejahatan lain yang diungkap dengan keterlibatan Puslabfor di dalamnya sarat akan rekayasa hasil pemeriksaan.
Ketiga, berkaca dari dugaan keterlibatan Kapuslabfor dalam rekayasa kasus dan/atau menutup upaya penanganan sebuah kasus, maka semakin meneguhkan urgensi pembentukan Lembaga Forensik Independen di luar Polri. Pembentukan lembaga tersebut merupakan kecenderungan global sebagaimana telah dimulai oleh The Innocence Project sebuah lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang memanfaatkan laboratorium alternatif dengan teknologi DNA untuk membuktikan tidak bersalahnya orang-orang yang menjadi korban salah tangkap atau kekeliruan penegakan hukum.
Selain itu, Lembaga Forensik Independen di luar Polri yang diisi oleh profesional, pakar, atau akademisi independen yang bebas dari pengaruh pihak lain yang berkepentingan atas suatu kasus menjadi penting sebagai sarana check and balances di tengah maraknya kasus salah tangkap atau kekeliruan penegakan hukum di Indonesia, dan mengingat peran dokter forensik dan medikolegal sangat signifikan dalam sistem peradilan pidana khususnya dalam memastikan peradilan terselenggara secara jujur dan adil untuk menghasilkan putusan yang adil dan benar pula.
Oleh karenanya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak agar:
- Presiden dan DPR, serta pemangku kepentingan lainnya membentuk Lembaga Forensik Independen di luar Polri yang diisi oleh profesional, pakar, atau akademisi yang bebas dari pengaruh dan kepentingan apa pun;
- Kapolri menonaktifkan semua jajaran Puslabfor yang terlibat dalam dugaan rekayasa kasus pembunuhan Brigadir J;
- Kapolri memerintahkan jajarannya agar melakukan pemeriksaan secara objektif dan menyeluruh baik penegakan hukum pidana melalui Timsus maupun secara etik dan disiplin melalui Itsus atas keterlibatan Puslabfor dalam dugaan rekayasa kasus dan penghalang-halangan penegakan hukum di kasus pembunuhan Brigadir Josua;
- Kapolri melakukan evaluasi menyeluruh atas kerja-kerja Puslabfor Polri yang diduga kuat rentan digunakan sebagai sarana rekayasa kasus;
- Lembaga Negara Independen, seperti Komnas HAM RI dan Ombudsman RI melakukan pemeriksaan secara aktif terhadap dugaan pelanggaran HAM atau Maladministrasi yang dilakukan oleh Puslabfor dalam menjalankan fungsinya untuk membantu proses penegakan hukum;
- Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) mengambil peranan aktif dalam memeriksa dugaan kesalahan penerapan disiplin ilmu kedokteran, serta menetapkan sanksi terhadapnya.
Jakarta, 15 Agustus 2022
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.