Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu, 3 Juni 2020, memutuskan bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah dan terbukti melanggar hukum atas pemblokiran internet di Papua dan Papua barat. Pemutusan internet di Papua dan Papua barat ini dilakukan oleh pemerintah, tidak lama setelah insiden rasisme di asrama Papua Surabaya pada pertengahan Agustus 2019 yang lalu.
Majelis hakim menilai tindakan pemutusan akses internet di Papua melanggar HAM dan menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Hakim berpendapat bahwa internet adalah netral. Ia bisa digunakan untuk yang positif dan membangun peradaban. Jika konten yang melanggar hukum, maka yang dibatasi adalah konten bukan internetnya.
Secara prosedur internet shut down menyalahi prosedur. Tidak mendahului pengumuman keadaan bahaya. Secara substansi pemadaman internet juga menyalahi ketentuan diskresi, bertentangan dengan UU dan asas umum pemerintahan yang baik.
Menurut Muhamad Isnur, S.H, Pengacara Publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia sebagai kuasa hukum penggugat, hakim dalam argumentasinya sangat mempertimbangkan aturan-aturan mengenai Hak Asasi Manusia. Hakim mengabulkan mekanisme gugatan Perbuatan Melawan Hukumnya (PMH). Mengabulkan legal standingnya.
“Pertimbangan hakim sangat menggunakan analisa HAM, menggunakan DUHAM, UUD Tahun 1945 dan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hakim menegaskan bahwa akibat pembatasan tersebut juga telah merembet ke pelanggaran hak yang lain, misalnya hak pendidikan, hak pemerintahan, dan lain-lain,” jelas Isnur.
Isnur juga menjelakan bahwa, peristiwa ini menjadi sebuah sejarah dan pencapaian yang menarik dalam perjuangan Hak Asasi Manusia. Dimana ini adalah pertama kali gugatan pemadaman internet merupakan pelanggaran HAM di Indonesia, dengan menggunakan mekanisme PMH oleh penguasa di PTUN dan menggunakan legal standing.
“Ini menjadi sangat penting untuk perjuangan di Papua. Dimana Papua selama ini mengalami praktik diskriminasi dan represif. Tentu keputusan PTUN ini menjadi kemenangan kecil bagi kita bersama untuk tetap meneguhkan perjuangan dan meneruskan perlawanan,” tambah Isnur.
Koalisi Perjuangan Kebebasan Pers yang melakukan gugatan ini terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (IJI), South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), YLBHI, LBH Pers, KontraS dan Elsam. (Thomas Tukan)