Presiden Joko Widodo maupun jajaran pemerintah pusat seyogyanya menghentikan berbagai langkah hukum dalam mempertahankan privatisasi perusahaan air bersih di Jakarta. Begitu ungkapan LBH Jakarta dan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta, dalam diskusi di Jakarta.
Suhendi Nur, warga Jakarta yang ikut menggugat perusahaan swasta, PT PAM Lyonnaise Jaya maupun PT Aetra Air Jakarta, mengharapkan Jokowi taat pada UUD 1945 dimana secara tersurat dikatakan bahwa air harus dikuasai negara buat keperluan masyarakat.
Dia menerangkan, negara boleh memberikan swasta mengelola dan menjual air bila keperluan dasar warga Jakarta sudah dipenuhi. Sisanya, bisa dijual kepada swasta. Namun privatisasi PAM Jaya, yang sudah berjalan sejak Juni 1997, belum memenuhi hak semua warga Jakarta terhadap air bersih.
Diskusi dimotori LBH Jakarta, bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta, dengan tajuk “Rapat Akbar 19 Tahun Privatisasi Air Jakarta” pada awal Juni 2016 di Jakarta.
Ada tiga orang didaulat bicara dalam rapat: Nila Ardhianie dari Amrta Institute for Water Literacy Surakarta, Frans Limahelu, professor hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, serta Andreas Harsono dari Human Rights Watch. Acara juga dimeriahkan band Simponi.
Nila bicara soal bagaimana pemerintah Jakarta tak menindak ratusan, bila bukan ribuan, perusahaan yang masih menyedot air tanah di Jakarta. Sejak abad 19 air tanah disedot besar-besaran –termasuk oleh industri, mall, hotel dan apartemen—permukaan tanah Jakarta menurun. Pemerintah perlu punya penyediaan air bersih bermutu agar orang tak ambil air tanah.
Ujungnya, Bank Dunia usul dibangun Giant Sea Wall di Teluk Jakarta guna menghalangi air laut masuk ke Jakarta. Berkembang, ada lewat reklamasi Teluk Jakarta dengan pembangunan belasan pulau buatan.
Gubernur Basuki “Ahok” Purnama sedang dibikin repot karena ada tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Ariesman Widjaja dari PT Podomoro Agung Land. Dia mengatakan, mengeluarkan Rp6 miliar buat mengamankan reklamasi sebuah pulau di Teluk Jakarta.
“Ini persoalan air bukan? Pemerintah tak melihat persoalan Teluk Jakarta terkait penyedotan air tanah, terkait privatisasi PAM Jaya,” kata Andreas Harsono.
Frans Limahelu mengatakan, pemerintah punya gerakan refleks bela diri bila digugat warga. Jokowi seharusnya tak langsung mengajukan kasasi bila digugat warga. “Mungkin kita repot bila hidup tanpa internet, tanpa Google atau Facebook, tapi tanpa air… mana bisa?”
Amini, warga Muara Baru, cerita menunggu air mengalir dini hari. ”Air pun keruh. Sering juga berhari-hari tak mengalir. Lapor Pak Ahok, baru ngalir. Masa’ selalu lapor, setiap kali mati,” katanya.
Terkait harga tak seimbang dengan kualitas air. Masyarakat harus membayar Rp7.800 per meter kubik bahkan lebih. Angka ini, kata Nila, tiga kali lipat lebih besar dibandingkan harga di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Tak hanya itu, harga Jakarta paling tinggi di Asia Tenggara. Perbandingannya, Singapura hanya Rp3.500 per meter kubik.
Skema kontrak privatisasi air
Persoalan privatisasi PAM Jaya termasuk pelik. Pada 1995 Presiden Soeharto minta PAM Jaya diserahkan kepada dua perusahaan. Batas pemisah, Kali Ciliwung: Lyonnaise des Eaux dari Perancis berkongsi dengan Salim Group menguasai sebelah barat Ciliwung, Thames Water dari London berkongsi dengan Sigit Hardjojudanto, putra sulung Soeharto, sebelah timur Ciliwung.
Salim Group adalah konglomerat milik Liem Sioe Liong, kawan Soeharto sejak akhir 1950an ketika Soeharto jadi Panglima Kodam Diponegoro di Semarang.
Kejatuhan Soeharto pada 1998 mendorong kedua perusahaan multinasional ini membeli saham Salim dan Sigit. Mereka tampaknya takut dengan suasana anti-Soeharto. Pada 2008, 95% saham Thames Water dibeli perusahaan Singapura bernama Acuatico, sekaligus ganti nama PT Thames PAM Jaya menjadi PT Aetra Air Jakarta. Tak diketahui persis siapa saja pemilik saham Aquatico, ada perkiraan pemilik pengusaha Indonesia, termasuk Edward Soeriawijaya dan Sandiaga Uno, lewat perusahaan cangkang mereka di luar Indonesia.
LBH Jakarta berpendapat privatisasi ini merugikan PAM Jaya. Pertama, terkait masalah imbalan. Pelanggan air bersih dari kedua perusahaan dibebani keuntungan komersial dan biaya keuangan perusahaan swasta. Jumlah ini naik terus, sesuai kontrak.
LBH menilai kontrak 25 tahun merugikan PAM Jaya. Pasalnya, apapun bentuk putus kontak, PAM Jaya harus bayar kompensasi bahkan apabila keduanya bangkrut. Kontrak, dibikin dalam tekanan Soeharto, merugikan PAM Jaya. Nila menghitung kerugian keuangan PAM Jaya bisa sampai Rp18,2 triliun pada akhir kontrak 2022.
Pada November 2012, 12 orang mewakili beberapa organisasi masyarakat sipil–termasuk Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Urban Poor Consortium maupun Walhi Jakarta–menggugat delapan pejabat negara serta kedua perusahaan swasta PAM Lyonnaise Jaya dan Aetra Air Jakarta di pengadilan negeri Jakarta Pusat.
Tergugat pemerintah yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur Jakarta, DPRD Jakarta, dan Direktur Utama PAM Jakarta Raya. LBH Jakarta menjadi kuasa hukum penggugat.
Maret 2015, setelah lebih dua tahun sidang, pengadilan memenangkan gugatan dan membatalkan perjanjian kerjasama PAM Jaya dengan kedua perusahaan. Pengadilan berpendapat kontrak melanggar hak asasi manusia dan tak dilakukan dengan tender. Kedua perusahaan dan semua pihak tergugat pejabat negara –kecuali Gubernur Jakarta dan PAM Jaya—banding ke pengadilan tinggi Jakarta.
Pada Januari 2016, pengadilan tinggi membatalkan keputusan pengadilan negeri dengan argumentasi bahwa gugatan bukan termasuk kategori citizen law suit. LBH Jakarta mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Maret 2016. Jokowi maupun pejabat-pejabat lain juga kasasi. Kini, bola privatisasi masuk ke MA.
Apakah harga air bisa turun?
Nila menyebutkan, pelayanan air bersih di Jakarta bisa turun jika dikelola pemerintah. Pasalnya, berdasarkan audit 2011, Palyja dan Aetra mengantongi uang dari pelanggan Jakarta sampai Rp600 miliar.
Besaran angka ini, seharusnya perlu disikapi pemerintah untuk segera mengambil alih kepemilikan. Meski, ada kerugian negara karena putus kontrak, kata Nilai, bukan menjadi kerugiaan besar dibandingkan kalau menunggu sampai kontrak selesai.
”Banyak cara bisa ditempuh, mekanisme pengukuhan kerjasama bisa digunakan.”
Andreas menyebutkan, keenganan pemerintah memutus kontrak diduga ketakutan citra Indonesia dalam penanaman modal asing. ”Ini alasan kuat untuk lanjut privatisasi,” katanya.
Namun, kontrak 1997 tanpa tender. Soeharto main tunjuk: Lyonnaise des Aux serta Thames Water. Seharusnya, Jokowi mampu melihat awal perkara dan memutuskan tanpa perlu kasasi.
Dia berharap, pengelolaan air di tangan pemerintah. “Air bersih bisa merata bagi semua penduduk tanpa dibebani laba perusahaan.”
Sumber: mongabay.co.id