Selamat Menyambut Lebaran, Pak Jokowi! Semoga puasa memberi keinsyafan, bahwa Privatisasi Air Harus Segera Dihentikan
…agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.
(QS: Al-Furqaan Ayat: 49)
Perjalanan swastanisasi air Jakarta tahun ini telah memasuki masa 16 tahun, kini tiba saatnya Jakarta menentukan masa depan pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan air bagi warganya. Jakarta harus secara tegas menentukan apakah air dan pengelolaan air Jakarta akan terus diserahkan kepada pihak swasta yang terbukti gagal memenuhi janji memberikan akses air yang baik dan layak pada warga. Pemerintah Provinsi Jakarta, tidak lagi bisa menyerahkan nasib warganya pada mekanisme-mekanisme formal yang belum tentu menjamin pengelolaan air kembali pada domain publik.
Seperti diketahui, pelibatan swasta dalam pengelolaan air Jakarta semakin menunjukkan bahwa air hanya menjadi ajang mengeruk keuntungan ekonomis daripada pemenuhan hak asasi warga atas air. Hak atas air yang seharusnya dijamin oleh Negara, justru dikesampingkan dan hanya memfasilitasi pihak swasta memaksimalkan keuntungan melalui sekian perjanjian “kotor”. Konsep “full cost recovery” diadopsikan dalam kontrak kerja sama pengelolaan air dengan membentuk term “water charge” yang harus disesuaikan (dinaikkan) setiap 6 bulan. Perhitungan “water charge” telah membebani, tidak saja masyarakat pengguna jasa layanan air, tetapi juga Pemprov Jakarta (PAM Jaya) yang harus menanggung beban jika terjadi selisih kekurangan (short fall) antara yang dibayarkan oleh pelanggan (water tariff) dengan imbalan bagi swasta (water charge).
Penyesuaian tarif yang dianggarkan, kini telah membuat warga harus membayar hingga Rp. 7.800/m3 untuk wilayah Jakarta yang dikuasai oleh Palyja, dan biaya sebesar Rp. 6.800/m3 untuk wilayah kerja Aetra. Tarif ini jauh diatas rata-rata tarif air misalnya Surabaya, yang hanya sebesar Rp 2.600 dan Bekasi yang mengenakan tariff Rp 2.300 kepada pelanggannya. Tarif sebesar itupun telah membuat PAM Jaya berhutang kepada swasta sebesar Rp 610 miliar pada Oktober 2011, dan diproyeksikan akan mencapai Rp 18,2 triliun pada masa berakhirnya kontrak, tahun 2022.
Hal disebabkan keuntungan yang diminta pihak swasta mencapai laba hingga sebesar 22%, jauh di atas Peraturan Menteri Dalam Negeri yang hanya membolehkan keuntungan wajar perusahaan air minum sebesar 10 persen. Selain itu ada indikasi bahwa swasta telah melakukan kecurangan dengan membebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya dibebankan dalam penentuan harga air swasta. Biaya Sekolah Anak, Keperluan Rumah Tangga, Klaim Biaya-biaya Fiskal & Pajak Bandara untuk Perjalanan Pribadi, Biaya Perjalanan, Biaya Sewa rumah dan Asuransi Banjir. Seluruh kecurangan tersebut ditanggungkan kepada pelanggan dan Pam Jaya. Menurut rekomendasi audit BPKP (2009), jika seluruh kecurangan swasta bisa dihilangkan, sesungguhnya akan membuat tarif turun menjadi Rp 4.662/m3 untuk Palyja, dan Rp. 3831/m3 untuk Aetra.
Mahalnya biaya air Jakarta, ternyata juga tidak ditunjang dengan perbaikan kualitas layanan air. Swasta telah terbukti tidak mampu memenuhi target cakupan pelayanan. Dari seluruh warga yang tinggal di Jakarta, hanya 36% saja yang telah dilayani sambungan pipa air bersih. Tingkat kebocoran air yang dikelola Aetra dan Palyja juga terus meningkat, yakni mencapai masing-masing 42 persen dan 39 persen, angka tersebut jauh di atas kebocoran rata-rata nasional sebesar 33 persen (BPPSPAM, 21/3/2013). Persoalan lain adalah, karyawan PAM Jaya yang diperbantukan untuk kedua kontraktor swasta yang mencapai lebih dari 1.500 orang, merasa bahwa dengan kontribusi yang demikian besar, tetapi tidak mendapatkan kompensasi yang adil.
Menilik sekian persoalan yang mengemuka dari swastanisasi air Jakarta, KMMSAJ tidak bosan-bosan meminta kepada Pemprov untuk dengan tegas, segera mengakhiri kontrak kerja sama dengan pihak swasta. Kami juga meminta bahwa, pemutusan kontrak harus dilakukan dengan tegas dan berani, tidak dengan cara-cara seperti membeli saham, seperti yang selama ini diwacanakan. Karena hal itu justru akan memberikan preseden buruk bagi Pemprov sendiri. KMMSAJ, bersama dengan serikat-serikat kerja PAM Jaya, juga menilai bahwa pengelolaan air Jakarta dapat ditangani dengan lebih baik dan profesional oleh pihak PAM Jaya sendiri. Terakhir, kami mengucapkan Taqobbalallahu minna wa Min’kum, Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Selamat menyambut Lebaran, Pak Jokowi. Semoga puasa memberi keinsyafan, bahwa privatisasi air harus segera dihentikan.
KMMSAJ
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
KRuHA; Solidaritas Perempuan; LBH Jakarta; Walhi Jakarta; JRMK; Kiara; ICW