PROSES EVALUASI YANG TIDAK PARTISIPATIF
Pada 31 Januari 2023, Perjanjian Kerja Sama (PKS) Swastanisasi Air Jakarta antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Palyja dan Aetra akan berakhir. Alih-alih melakukan proses evaluasi secara menyeluruh terkait dengan praktik swastanisasi air jakarta yang telah berlangsung selama 25 tahun secara partisipatif, transparan dan akuntabel, Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya justru sudah menandatangani kontrak dengan PT Moya Indonesia pada 14 Oktober 2022 lalu. Tidak hanya itu, nasib pengelolaan air di DKI Jakarta ke depan akan dilakukan berdasarkan:
- Nota Kesepakatan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tertanggal 3 Januari 2022 tentang Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan SPAM;
- Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya untuk Melakukan Percepatan Cakupan Layanan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta (“Pergub 7/2022”) yang ditetapkan pada 30 Maret 2022; dan
- Keputusan Direksi PAM JAYA No. 65/2022 tentang Pedoman Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum.
RESPON WARGA DKI
Merespon hal tersebut, warga DKI Jakarta yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak atas Air (GERAK) melayangkan SURAT PERINGATAN TERBUKA kepada Pj Gubernur DKI Jakarta. Hal ini didasarkan pada poin-poin permasalahan yang akan berpotensi timbul akibat kebijakan baru yang mengatur pengelolaan air di DKI Jakarta. GERAK menilai bahwa:
- Pertama, Swastanisasi Air Jakarta telah melanggar Hak Asasi Manusia dan Konstitusi terkait pemenuhan hak atas air warga DKI Jakarta. Fakta bahwa perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan Palyja dan Aetra selama 25 tahun telah mengakibatkan kerugian bagi warga DKI Jakarta telah disampaikan oleh rekomendasi KPK dan BPKP (yang melakukan pemeriksaan terhadap proses addendum perjanjian kerja sama swastanisasi air pada September-Oktober 2020 lalu) bahwa proses addendum tersebut harus dihentikan karena adanya temuan fraud (kecurangan) dalam perpanjangan addendum PAM Jaya dan Aetra. KPK pun merekomendasikan Pemprov DKI Jakarta untuk menunggu agar perjanjian PDAM DKI Jakarta dan PT. Aetra selesai tahun 2023, jika sudah selesai pengelolaan air bersih di DKI Jakarta harus dikembalikan kepada PDAM DKI Jakarta seluruhnya. Di sisi lain, kerugian tersebut tidak akan terjadi apabila Pemprov DKI Jakarta mematuhi ketentuan pengusahaan air berdasarkan UUD 1945, berbagai tafsir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dan UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (“UU 17/2019”). Telah jelas bahwa pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015, Majelis Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan pengusahaan air harus ada pembatasan yang sangat ketat sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa (vide: Pasal 33 ayat (4) UUD 1945). Celakanya, Pergub DKI 7/2022 secara jelas tidak mencantumkan UU 17/2019 dalam konsiderans mengingatnya. Pemprov DKI Jakarta menitikberatkan pada wewenangnya sebagai Pemerintah Daerah, tetapi telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi hak atas air Warga DKI Jakarta.
- Kedua, serangkaian proses pengelolaan air Jakarta berdasarkan perjanjian 25 tahun dengan Aetra dan Palyja, persetujuan addendum melalui KEPGUB 891/2020, proses transisi hingga dibentuknya Pergub 7/2022 dilakukan secara tidak partisipatif, transparan dan akuntabel. Padahal, Pasal 2 UU 17/2019 telah mengatur asas Pengelolaan Sumber Daya Air yaitu kemanfaatan umum, keterjangkauan, keadilan, keseimbangan, kemandirian, kearifan lokal, wawasan lingkungan, kelestarian, keberlanjutan, keterpaduan dan keserasian, dan transparansi dan akuntabilitas. Dengan tertutupnya proses pelaksanaan Pergub DKI 7/2022, Warga DKI Jakarta tidak memiliki dasar untuk menguji kebijakan publik yang akan mempengaruhi hajat hidupnya, setidak-tidaknya Pengelolaan Sumber Daya Air harus memiliki asas transparansi dan akuntabilitas.
- Ketiga, rencana pengelolaan air Jakarta tidak didasari atas evaluasi secara menyeluruh perjanjian kerja sama dengan Palyja dan Aetra, dan berpotensi mengulangi permasalahan serupa sebab tidak didasarkan pada UU SDA. Lebih lanjut, Pergub DKI 7/2022 tidak secara spesifik menjelaskan bagaimana mekanisme Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (“KPBU”) atau Public Private Partnership (“PPP”) yang akan dilakukan dalam skema bundling penyelenggaraan pengelolaan air di DKI Jakarta. Selain itu, tidak jelasnya pembagian risiko sebagai suatu aspek penting dalam skema KPBU/PPP. Ketidakjelasan tersebut tentu akan berpotensi melanggengkan pelanggaran hak atas air dan masalah yang terjadi di masyarakat dalam konteks air di DKI Jakarta.
- Keempat, Pemprov DKI Jakarta telah gagal dalam mendasari kebijakannya pada pengusahaan air. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, berbagai tafsir dalam Putusan MK, UU 17/2019, serta telah gagal dalam menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia dari Warga DKI Jakarta, berdasarkan Kovenan Ekosob. Seharusnya yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah melakukan proses evaluasi secara menyeluruh, partisipatif dan akuntabel dalam proses pengelolaan air Jakarta serta memastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat dengan cara melakukan remunisipalisasi pengelolaan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013
SURAT PERINGATAN TERBUKA
Berdasarkan hal tersebut, Warga DKI Jakarta yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak atas Air (GERAK) memberi SURAT PERINGATAN TERBUKA kepada Pj Gubernur DKI Jakarta beserta jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PDAM untuk:
- Melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait penyelenggaraan penyediaan Air di Jakarta melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Aetra dan Palyja dengan melibatkan masyarakat;
- Membuka informasi atas proses evaluasi, proses transisi, dokumen-dokumen terkait serta bagaimana skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) penyelenggaraan air di Jakarta melalui Pergub DKI 7/2022, Nota Kesepakatan Kemendagri-KemenPUPR-Pemprov DKI Jakarta tertanggal 3 Januari 2022, serta Keputusan Direksi PAM Jaya No. 65/2022;
- Memberikan jaminan bahwa ketika Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Aetra dan Palyja berakhir, layanan air tetap tersedia dan tidak diputus;
- Membuka ruang pertemuan dengan Warga DKI Jakarta yang tergabung di dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak Atas Air (“GERAK”) untuk membahas dan memberikan kejelasan informasi sebagaimana poin 1-3 tuntutan ini;
- Melakukan remunisipalisasi pengelolaan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 dan memastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan.
Hormat kami
GERAKAN RAKYAT UNTUK KEDAULATAN DAN HAK ATAS AIR
Narahubung:
Jihan Fauziah Hamdi (081284676829)
Airlangga Julio (081382378198)
GERAKAN RAKYAT UNTUK KEDAULATAN DAN HAK ATAS AIR:
- AMAR Law Firm;
- Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK);
- Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (KOPAJA);
- LBH Jakarta;
- Rujak Center for Urban Studies;
- WALHI Jakarta;
- Warga Kawasan Perumahan Sentul City;
- YAPPIKA
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.