“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”, demikian bunyi Pasal 31 ayat(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Petikan konstitusi tersebut menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, dan pemerintah memikul tanggung jawab untuk memenuhinya bagi setiap warganegara. Sebagai pemegang tanggung jawab utama, pemerintah tidak diperkenankan bertindak diskriminatif terhadap pemenuhan hak atas pendidikan. Perlakuan diskriminatif adalah satu tindakan terlarang, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 28I ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di tengah jaminan konstitusional atas hak pendidikan, ternyata masih terdapat potret buram pemenuhan hak pendidikan di Indonesia. Salah satu potret itu ialah persyaratan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2014 ini. Dalam website resmi yang dikelola Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (https://web.snmptn.ac.id/ptn/31) dinyatakan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan mapun sebagian. Sontak persyaratan yang dikeluarkan oleh Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia itu menuai kecaman dari banyak aktifis hak asasi manusia. Gugatan pertama datang dari pihak korban, yaitu kaum difabel dan keluarganya.
Bagi kaum difabel, persyaratan SNMPTN 2014 jelas membunuh harapan mereka untuk menjadi peserta SNMPTN. Hak mereka untuk mengembangkan minat, bakat dan kecerdasannya di perguruan tinggi negeri tertutup. Ketiadaan akses terhadap hak atas pendidikan juga akan berdampak terhadap hak hidup anak-anak difabel kedepannya. Bagaimanapun, pendidikan adalah pangkal dari penikmatan hak di semua sector kehidupan. Peniadaan terhadap hak atas pendidikan seorang ialah sumber dari malapetaka masa depan. Dengan konteks demikian, sangat terpahami apabila keluarga difabel sangat marah dan sedih ketika perguruan tinggi negeri yang notabene dikelola oleh Negara menutup hak atas pendidikan difabel.
Munculnya persyaratan SNMPTN 2014 yang menghalangi difabel sebagai salah satu peserta, sebenarnya adalah satu langkah yang sangat mundur, mengingat negara Indonesia pasca reformasi telah memiliki begitu banyak landasan hukum hak asasi manusia yang menjamin dengan tegas terhadap tanggung jawab pemenuhan hak atas pendidikan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah sangat jelas menjamin bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Pasal 12 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan. Bahkan, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga tegas menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Apalagi, Negara Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 11 Tahun 2011. Ratifikasi CRPD adalah salah satu bukti dan janji nyata bahwa negara Indonesia tidak akan memperlakukan kaum difabel sebagai manusia yang tidak setara dengan manusia pada umumnya, termasuk keniscayaan untuk tidak diskriminatif terhadap pemenuhan hak atas pendidikan kaum difabel. Pada Pasal 24 ayat (1) CRPD, ditegaskan bahwa Negara-negara Pihak mengakui hak orang-orang difabel atas pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-negara Pihak wajib menjamin system pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran jangka panjang.
Dengan begitu banyaknya landasan hukum yang menjamin hak atas pendidikan yang berprinsip pada non diskriminasi, maka sebuah ironi yang sangat besar jika masih muncul kebijakan persyaratan SNMPTN 2014 yang diskriminatif kepada difabel. Sekali lagi, kebijakan itu adalah langkah mundur dan melanggar terhadap begitu banyak prinsip hukum yang telah disepakati, serta Melanggar terhadap prinsip hak asasi manusia yang telah dijunjung tinggi dunia. Dalam konteks keindonesiaan, kebijakan persyaraatan SNMPTN 2014 ini jelas telah menghianati cita-cita pendirian negara Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, kami mendukung sikap Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dan dengan tegas turut menyatakan sikap :
- Kami menolak terhadap kebijakan persyaratan yang tidak memperbolehkan difabel menjadi peserta SNMPTN 2014, sebab persyaratan itu jelas inkonstitusional, melanggar hak asasi manusia dan melanggar prinsip hukum;
- Kami mendesak Menteri Pendidikan Republik Indonesia, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia dan Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 untuk segera mencabut persyaratan yang menghalangi difabel menjadi peserta SNMPTN 2014, dan mengumumkannya di media massa;
- Kami mendesak Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia untuk menindaktegas lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan kebijakan pendidikan dan implementasinya yang melakukan praktik diskriminatif terhadap Difabel dan menegaskan untuk tidak mengulangi praktek diskriminatif terhadap difabel;
- Kami mendesak Menteri Pendidikan Negeri Indonesia dan pemangku kebijakan di sector pendidikan untuk segera menerapkan pendidikan inklusi di Indonesia pada setiap jenjang dan tingkat pendidikan, dalam rangka memastikan terpenuhinya hak Difabel atas pendidikan.
Jakarta, 10 Maret 2014
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Cahaya Guru, Federasi Serikat Guru Indonesia
Kontak Person : Febi Yonesta, S.H (Direktur LBH Jakarta) 087870636308. Retno Listyarti (Sekjen FSGI) 081389890613. Doni Koesoema A. (Pemerhati Pendidikan) 087883269408