Pernyataan Bersama Masyarakat Sipil Melawan Kriminalisasi
Situasi Darurat dan Mendesak
“Presiden Harus Segera Hentikan Proses Pelemahan Negara Melalui Penegakan hukum yang Sesat”
Jumat, 18 September 2015, perkara Bambang Widjojanto (BW) telah diserahkan dari Bareskrim ke Kejaksaan Agung melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Penyerahan ini menunjukkan kriminalisasi terus berlanjut. Berdasarkan Peraturan Kejaksaan mengenai SOP penanganan perkara tindak pidana umum, dalam waktu sekitar 2 minggu perkara akan dilimpahkan ke pengadilan. Mengingat telah lewat waktu seminggu, diperkirakan minggu depan perkara BW akan segera dilimpahkan ke pengadilan.
Adapun Kejanggalan-kejanggalan dalam kasus BW yaitu:
1. Proses penanganan perkara BW bukanlah murni penegakan hukum.
Waktu dijadikannya BW sebagai tersangka hanya beberapa hari setelah BW sebagai pimpinan KPK mengumumkan BG sebagai tersangka. Hal ini semakin terbukti melihat fakta bahwa berkas perkara BW sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung sejak bulan Mei, namun baru ditindaklanjuti oleh Bareskrim dengan penyerahan tersangka dan barang bukti pada pertengahan September. Tuduhan Bareskrim kepada BW diduga kuat dilakukan hanya sekedar untuk menyingkirkan BW sebagai pimpinan KPK. Lambatnya dilakukan penyerahan tahap II diduga kuat sebagai upaya mengulur waktu penanganan perkara BW, setidaknya sampai benar-benar memastikan BW tidak dapat kembali menjadi wakil ketua KPK.
2. Terdapat penambahan Pasal dalam surat panggilan penyerahan BW.
Dalam surat panggilan, terdapat Pasal baru yang dituduhkan pada BW yaitu Pasal 266 KUHP. Sebelumnya dalam proses penyidikan BW sama sekali tidak pernah diperiksa dengan tuduhan Pasal 266 KUHP, namun saat berkas sudah lengkap dan akan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tuduhan Pasal 266 tiba-tiba muncul.
3. Menambah panjang rangkaian kebohongan Bareskrim.
Sejak awal bareskrim memproses BW, Bareskrim sesumbar memiliki bukti yang lebih dari cukup. Nyatanya, penyidikan Bareskrim berkali-kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung untuk dilengkapi. Tidak hanya itu, mantan Dirtipideksus Victor Simanjuntak justru menggantungkan penanganan perkara BW pada perkara lain (ZA), yang artinya ia sendiri masih ragu dengan hasil penyidikan Bareskrim.
4. Perkara Zulfahmi Arsyad (ZA) gagal menjembatani kriminalisasi BW.
Bareskrim berniat untuk menjadikan ZA sebagai penyambung keterlibatan BW. Namun fakta persidangan kasus ZA justru membuktikan ketidakprofesionalan penyidik dalam penyidikan perkara ZA. Saksi-saksi yang dihadirkan tidak ada yang membuktikan keterlibatan ZA, terlebih lagi keterlibatan BW. Hal ini diperkuat dengan putusan hakim yang tidak bulat (dissenting opinion), dan tidak sama sekali menyebut nama BW. Meskipun Penuntut Umum telah dengan curang memasukkan nama BW ke dalam dakwaan dan Tuntutan ZA sebagai “terdakwa dalam berkas perkara yang terpisah”. Padahal pada saat dakwaan dan tuntutan ZA perkara BW masih dalam penyidikan.
5. Pembangkangan terhadap Rekomendasi ORI.Proses penanganan perkara BW telah dinyatakan Maladministrasi oleh ORI. Terhadap Maladministrasi tersebut ORI telah merekomendasikan untuk memeriksa dan memberi sanksi maladministrasi yang dilakukan Daniel Bolly Tifaona selaku penyidik dan Viktor E. Simanjuntak, namun sampai saat ini rekomendasi tersebut masih belum dijalankan.
6. Pengabaian Temuan Komnas HAM
Komnas HAM telah menyampaikan temuannya terkait proses penanganan perkara BW, yaitu adanya penyalahgunaan kewenangan oleh Bareskrim, penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam penangkapan, proses penangkapan yang melanggar due process of law.
7. Pengabaian Surat Peradi
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) telah menyampaikan sikap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Polri bertentangan dengan MoU antara Peradi dengan Polri. Peradi mengungkapkan bahwa kasus BW adalah kasus pertama di mana Polri tidak mematuhi MoU tersebut.
8. Menolak Transparansi Penanganan Perkara melalui Forum Gelar Perkara Khusus
Sejak awal penanganan perkara, Bareskrim yang telah sesumbar memiliki bukti cukup diminta agar transparan melakukan penyidikan. TAKTIS telah meminta secara resmi adanya forum gelar perkara khusus sebagaimana di atur Peraturan Kapolri 14/2012, namun Bareskrim tidak pernah berani untuk membuka forum gelar perkara khusus tersebut sampai sekarang.
Data mengenai kejanggalan dalam proses penanganan perkara Bambang Widjojanto hanyalah salah satu cerita, bagaimana Kepolisian sebagai representasi aparatur Negara justru tidak memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya – bahkan terlibat aktif dalam persekongkolan perlawanan balik koruptor atas aksi-aksi anti korupsi yang sedang dijalankan.
Skema kriminalisasi ini dalam tataran lebih besar sangat terbaca desainnya. Catatan Taktis, dalam beberapa bulan setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening gendut oleh KPK, tak kurang 49 orang dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri.
Ke 49 orang tersebut, sebagian adalah pimpinan KPK, penyidik KPK, aktivis anti korupsi, hakim dan mantan hakim yang menyuarakan secara umum pandangannya berseberangan dengan kelompok Polri dan hakim Sarpin dalam penanganan perkara BG.
Kriminalisasi tak pula semata hanya dialami dalam isu korupsi, kriminalisasi ternyata juga dialami oleh masyarakat sipil dari buruh, masyarakat kritis, dimana kepolisian menjadi alat untuk mengancam masyarakat, hal tersebut diperkuat dengan temuan LBH Jakarta dalam lima tahun terakhir sebanyak 21 kasus, polisi menjadi alat kekuasaan dan pemodal untuk membungkam dan melakukan serangan balik terhadap buruh dan masyarakat yang kritis yang memperjuangkan hak haknya.
Dari data data diatas mengungkapkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan Kepolisian dalam kasus kriminalisasi BW, AS serta masyarakat sipil lainnya bukanlah untuk tujuan keadilan tapi untuk kepentingan kelompok tertentu serta melindungi kasus korupsi yang besar. Ditambah saat ini, Indonesia dalam fase yang sedang terpuruk secara ekonomi, maka pembenahan sektor ekonomi tentunya berkait dengan pembenahan di sektor hukum. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka keniscayaan ekonomi Indonesia akan terpuruk dan berimbas pada PHK massal di berbagai sektor industri dan menurunnya daya beli masyarakat umum akan terjadi.
Untuk itu kami dari Buruh, Mahasiswa, Satu Padu Lawan Koruptor (Sapu Koruptor) serta masyarakat sipil lainnya sebagai penjaga demokrasi dan pemberantasan korupsi di Indonesia minta kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk segera mengambil langkah-langkah strategis terkait pemulihan kepercayaan seluruh masyarakat di bidang penegakan hukum sebagai bagian membenahi dan menyelamatkan ekonomi Indonesia dengan cara:
- Memerintahkan kepada Jaksa Agung M. Prasetyo untuk menghentikan kriminalisasi Bambang Widjojanto, Abraham Samad dan seluruh kriminalisasi lainnya dalam waktu dekat.
- Meminta Jaksa Agung untuk mampu independen dan menolak meneruskan praktik negatif rekayasa kasus (kriminalisasi) oleh kepolisian, menyangkut kewibawaan Kejaksaan sebagai penegak hokum dan penjaga keadilan di Indonesia.
- Melakukan reformasi di Kepolisian Republik Indonesia secara menyeluruh.
- Menghimbau kepada masyarakat sipil untuk bersama-sama melawan praktik kotor penegakan hukum dan kriminalisasi
- Menyelamatkan Negara dari korupsi dan memastikan berjalannya agenda pemberantasan korupsi yang progresif.
Jakarta, 28 September 2015
Salam Hentikan Kriminalisasi
Senat Mahasiswa FH Univ. Jaya Baya, LMND, Komunitas Wanita Mandiri, Komunitas Guji Baru, Komunitas Muara Angke, F-SPASI, PPMI Karawang, KSN, FBLP, SPN Jakarta Utara, FPBI, Serbuk Karawang, FSP2KI, F-Nikueba, ICW, Warga Tambun Bekasi, Dompet Dhuafa, GSBI, YLBHI, LBH Jakarta, Kompak.