SIARAN PERS Nomor: 1382/SK-RILIS/XI/2015
“Menyoal Apakah Perubahan PP Terkait Ganti Rugi Korban Salah Tangkap/Peradilan Sesat Dapat Memenuhi Rasa Keadilan Bagi Korban”
Selasa, 24 November 2015 Menteri Hukum dan HAM kepada kalangan media menyatakan bahwa ada perubahan mengenai besaran ganti rugi dalam PP 27 tahun 1983 mengenai pelaksanaan KUHAP yaitu: Korban ganti rugi salah tangkap diganti Rp 500 ribu hingga Rp 100 juta; jika luka/cacat maka diganti Rp. 25 Juta- 100 Juta; jika meninggal dunia, maka diganti Rp 50 juta-Rp 600 juta. Namun, apakah dapat memenuhi rasa keadilan dalam bagi korban?
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kerap mendampingi korban salah tangkap yang mengalami serangkaian penyiksaan selama menjalani proses peradilan, hak asasinya direnggut secara sewenang-wenang atas perbuatan yang tidak dilakukan. Kasus-kasus salah tangkap tersebut yaitu kasus JJ. Rizal, 2 Pengamen Cipulir, 4 Anak Pengamen Cipulir, Koko, Tukang Ojeg Hasan Basri; Tukang Ojeg Dedi, Yana, Drs. Djati Hutomo; Marwan Bin Takat; Maya Agung Dewandaru; Nanik Sumarni; Janda Pahlawan; 3 Nelayan Ujung Kulon; Aguswandi Tanjung; Ismail. Namun dari 16 kasus peradilan sesat/salah tangkap tersebut hingga saat ini belum ada yang mendapatkan ganti rugi. Bahkan dikarenakan PP 27 Tahun 1983 ini tidak efektif memulihkan korban salah tangkap, LBH Jakarta pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum secara perdata dalam kasus Koko dengan pertimbangan ganti rugi akan diberikan secara maksimal mencakup kerugian materil maupun immateril, walaupun akhirnya langkah tersebut kandas sebab pengadilan belum menerima langkah progresif yang mencoba mendobrak lemahnya PP 27/1983 tersebut.
Sesungguhnya, permasalahan yang timbul dalam PP 27/1983 ini bukan hanya terkait besaran ganti rugi saja, tetapi ada juga beberapa permasalahan yang kerap terjadi dan menjadi sorotan LBH Jakarta yaitu: pertama PP No. 27 Tahun 1983 membatasi hak untuk menuntut ganti rugi hanya 3 bulan semenjak putusan inkracht. Seharusnya ketentuan ini dihilangkan, sebab pada hakikatnya ganti rugi tersebut adalah hak yang timbul akibat salah tangkap, maka dari itu seharusnya hak tersebut tidak dibatasi dalam waktu 3 bulan, praktiknya korban tidak tahu terkait hal ini, selain itu tidak bisa juga mengakses pengacara, namun setelah lewat 3 bulan, permintaan ditolak; kedua PP ini hanya diberikan bagi mereka yang berstatus tersangka,terdakwa dan terpidana padahal banyak sekali korban salah tangkap polisi terjadi pada waktu si korban masih berstatus saksi dan tidak dijadikan tersangka seperti dalam kasus JJ. Rizal, Yana, Nurdin; ketiga mengenai besaran ganti rugi bagi korban yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini; keempat mengenai berbelit-belitnya proses pencairan dana ganti rugi.
Berdasarkan hal yang telah disampaikan di atas maka LBH Jakarta menilai perubahan PP 27/1983 yang dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM berpotensi belum dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul selama ini dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan korban. Kementrian hanya fokus pada besaran ganti rugi saja, dan menurut catatan kami inipun belum maksimal bagi si korban, sebab kementrian memberikan patokan awal yang rendah yaitu Rp. 500.000 dan juga langsung mematok nilai maksimal sehingga tidak ada ruang bagi hakim yang menilai perkara dan menggunakan hati nurani untuk memberikan lebih dari nilai maksimal tersebut. Sebagai perbandingan di luar negeri seperti; Mahasiswa Universitas California Daniel Chong mendapatkan 42 Milyar; Warga Connecticut Kenneth Ireland mendapat USD 6 juta; David Ayers warga Amerika mendapatkan USD 13,2 juta; narapidana di Ohio mendapat US$ 1 juta.
Berdasarkan hal ini kami merekomendasikan agar Presiden RI berserta jajarannya segera mengakomodir semua permasalahan terkait ganti rugi salah tangkap sebelum menandantangani. Demi terwujudnya keadilan bagi korban.
Jakarta, 25 November 2015
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung: Muhammad Isnur (0815210014395); Johanes Gea (0813-6666-1627)