Pers Rilis : 1442 / SK-RILIS / XII / 2017
Potret Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kepolisian Sepanjang Tahun 2013-2016
Anak merupakan subyek hukum dan aset bangsa yang sudah seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang berpotensi turut berperan dalam pembangunan nasional. Oleh sebab itu negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak terlebih lagi apabila mereka berhadapan atau mengalami konflik hukum. Adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), memuat beberapa perubahan penting. Salah satunya adalah solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan dengan cara diversi sehingga dapat meminimalisir anak dari stigma buruk karena berhadapan dengan proses hukum.
Berkaca dari rentannya pelanggaran terhadap hak-hak anak, terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang merupakan organisasi masyarakat sipil yang salah satu fokus kerjanya melakukan advokasi dan monitoring kebijakan melalui kegiatan penelitian yang berjudul Potret Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kepolisian Sepanjang Tahun 2013 -2016. LBH Jakarta hendak memaparkan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak, khususunya pelaksanaan diversi dalam upaya perlindungan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana.
Adapun data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data yang didapatkan secara langsung dari lembaga kepolisian melalui mekanisme Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta pengalaman LBH Jakarta dalam mengadvokasi kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum sepanjang tahun 2013 s.d 2016 sehingga terkumpul data sebanyak 299 kasus anak yang berkonflik dengan hukum, namun hanya terbatas pada wilayah kepolisian Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian dibawahnya.
1. Jenis Tindak Pidana Yang Kerap Dihadapi oleh Anak- Anak
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa di sepanjang tahun 2013 s.d 2016 tindak pidana yang paling banyak menjerat anak yang berkonflik dengan hukum adalah kasus pencurian dengan jumlah sebanyak 95 kasus. Pada peringkat kedua kasus tidak pidana terbanyak yang melibatkan anak adalah kasus kekerasan terhadap anak yang juga dilakukan oleh anak, yakni sebanyak 34 kasus.
Tindak pidana terkait kepemilikan senjata tajam juga menjadi kasus yang cukup banyak dialami oleh anak dengan jumlah 20 kasus. Selanjutnya, ada 16 kasus terkait narkotika dan terdapat 14 kasus penganiayaan, disusul dengan kasus pengeroyokan sebanyak 11 kasus, pemerasan sebanyak 10 kasus pemerkosaan sebanyak 3 kasus, pembunuhan, pencabulan, KDRT masing-masing sebanyak 2 kasus. Judi, penghinaan serta perbuatan tidak menyenangkan masing-masing 1 kasus. Dari jumlah 229 laporan yang kami terima, sebanyak 17 laporan tidak terisi mengenai klasifikasi kasusnya.
2. Penahanan Masih Menjadi Opsi Pertama
Dari jumlah data sebanyak 229 kasus yang kami terima, 122 anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan tindakan penahanan oleh kepolisian dan 107 anak tidak ditahan. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa belum berjalan dengan baiknya Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal tersebut dikarenakan tindakan penahanan masih hal yang utama dilakukan dalam proses penyelesaian permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum. Hal tersebut diperparah lagi dengan adanya kasus-kasus penambahan masa penahanan terhadap anak (melebihi waktu penahanan yang telah ditentukan).
3. Terlanggarnya Hak atas Bantuan Hukum terhadap Anak
Dalam setiap perkaranya, anak yang berkonflik dengan hukum tentu saja memiliki hak untuk didampingi oleh penasehat hukum. Dalam catatan kami, sebanyak 51 anak ditahap I didampingi oleh penasehat hukum, sedangkan sebanyak 178 anak tidak terpenuhi hak atas bantuan hukumnya karena tidak didampingi oleh penasehat hukum di tahap I. Kemudian, pada tahap II sebanyak 61 anak didampingi oleh penasehat hukumnya, dan sebanyak 168 anak tidak didampingi oleh penasehat hukumnya pada tahap II. Banyaknya anak yang tidak didampingi oleh penasehat hukum pada berbagai tahapan tentu saja melanggar hak anak sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 23 UU SPPA.
4. Tidak Maksimalnya Upaya Diversi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Pada tahap 1 yaitu pada proses penyidikan, banyak hak anak juga tidak terpenuhi pada laporan yang kami terima, yaitu terkait upaya diversi. Dari 229 kasus yang masuk, hanya 32 kasus yang dilakukan diversi sedangkan sebanyak 158 kasus tidak dilakukan diversi pada tahap penyidikan. Sebanyak 39 kasus kosong dan tidak diberikan keterangan diversi atau tidak. Selanjutnya, pada tahapan pra-penuntutan (berkas P-21) sebanyak 13 kasus selesai karena laporan dicabut, dan sebanyak 41 kasus selesai karena diversi ditahap pra penuntutan. Sebanyak 20 kasus dinyatakan berhenti melalui SP3, dan sebanyak 113 diselesaikan dipersidangan. Sebanyak 30 kasus tidak diberikan keterangan keberlanjutannya.
Tidak maksimalnya upaya diversi yang dilakukan untuk kepentingan terbaik anak, menurut data yang didapat oleh LBH Jakarta dikarenakan bahwa jenis tindak pidana yang melibatkan anak merupakan jenis tindak pidana yang tidak dapat di diversi (tidak sesuai dengan syaratnya diversi). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana yang memiliki ancaman pidana lebih dari 7 tahun penjara. Ini merupakan alasan dengan jumlah terbesar upaya diversi tidak dapat dilakukan.
Namun demikian, dari sejumlah data yang diberikan oleh kepolisian dapat diketahui secara jelas adanya kejanggalan dalam proses-proses penangan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Kejanggalan tersebut ditandai dengan adanya ketidaksesuaian data dari kepolisian. Data dari kepolisian menyebutkan jumlah perkara yang masuk dalam kategori yang tidak dapat didiversi namun dilakukan upaya cabut perkara atau diversi dari pihak kepolisian. Dari data di kepolisian dapat diketahui terdapat 150 kasus yang tidak termasuk kasus yang dapat diversi ataupun bukan merupakan delik aduan. Namun perkara anak yang berkonflik dengan hukum tersebut sebanyak 63 kasus dilakukan upaya diversi ataupun cabut perkara.
Berdasarkan pemaran diatas LBH Jakarta mendesak:
1. Pemerintah melakukan pengarus utamaan keadilan restortif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, hal tersebut dirasa penting karena aparat penegak hukum masih banyak yang belum paham dan melakukan langkah-langkah atau mekanisme sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam upaya melindungi hak-hak anak yang sering terlanggar.
2. Pemerintah melakukan legislatif review terkait syarat pelaksanaan diversi terutama dalam hal tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lebih dari 7 tahun namun tidak terdapat adanya korban dalam tindakan pidana yang disangkakan pada anak tersebut. Sebaiknya Pemerintah lebih merinci jenis-jenis tindak pidana apa saja yang dapat di diversi atau tidak dari pada hanya berdasarkan lama ancaman tindak pidana yang disangkakan terhadap anak.
3. Pemerintah perlu segera membentuk Lembaga-lembaga sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA untuk menangani program-program diversi yang didukung oleh penegak hukum, pemerintah, organisasi sosial/LSM dan para pemerhati perlindungan anak sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang SPPA.
4. Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat terkait pelaksanaan diversi dalam tiap tahapan dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang menyangkut diversi.