Rabu, 24 Juli 2024. LBH Jakarta, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dan Aliansi Guru Honorer Muda resmi menutup pos pengaduan bagi guru honorer yang terdampak cleansing di wilayah Provinsi DK Jakarta. Meskipun telah ada perkembangan baru mengenai upaya pengembalian guru honorer untuk mengajar sebagaimana telah disampaikan oleh Pj. Gubernur DK Jakarta maupun Plt. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DK Jakarta, kami tetap menilai perlu untuk menyampaikan kepada publik perihal hasil dan data yang berhasil kami himpun dari pos pengaduan. Hal tersebut berguna untuk mengukur dampak yang terjadi akibat cleansing ini yang kami nilai sejak awal sarat akan pelanggaran hukum dan HAM.
Berdasarkan data yang berhasil kami himpun, total terdapat 149 pengaduan masuk selama 7 hari pembukaan pos pengaduan, terhitung sejak 17 Juli 2024 lalu. Dari pengaduan tersebut, terdapat 77 guru honorer yang diberhentikan, sementara 72 lainnya masih bekerja namun dengan pemberitahuan bahwa mereka akan terdampak cleansing. Dari jumlah tersebut, 188 guru honorer statusnya terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), 28 guru honorer terdaftar dalam Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
Terkait dengan pendidikan terakhir dan sertifikasi, 139 guru honorer memiliki ijazah S-1, serta 10 lainnya memiliki ijazah S-2. 12 guru honorer dari total pengaduan tersebut juga telah tersertifikasi.
Sebaran wilayah meliputi 5 kota administrasi di wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Dalam konteks ini, Jakarta Utara menduduki peringkat teratas dengan 49 total guru terdampak, diikuti Jakarta Barat dengan jumlah 34 guru honorer, Jakarta Timur berjumlah 30, Jakarta Selatan 21, dan Jakarta Pusat dengan jumlah 15 guru honorer.
Pola permasalahan yang diadukan masih meliputi pola-pola permasalahan yang juga telah disampaikan sebelumnya. Pertama, hilangnya hak atas pekerjaan akibat diberhentikan melalui kebijakan cleansing ini. Para guru honorer diberitahu mengenai cleansing dan diberhentikan di hari yang sama, mereka bahkan dipersilakan untuk mencari pekerjaan sebagai guru di sekolah swasta. Kondisi tersebut menyebabkan para guru kehilangan penghasilan dan penghidupan yang layak. Kedua, akibat cleansing, mereka sempat mengubur mimpinya untuk mendapatkan kesempatan pengembangan karir dalam jenjang yang selanjutnya. Ketiga, terdapat intimidasi dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan Provinsi DK Jakarta agar mereka tidak mempersoalkan cleansing ini.
Berdasarkan data-data tersebut, kami berpandangan sebagai berikut:
Pertama, Kebijakan “cleansing” ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 66 UU ASN beserta penjelasannya, maka dapat dilihat bahwa terminologi yang digunakan adalah “penataan”, yang merujuk pada setidaknya 3 (tiga) tahapan, yakni verifikasi, validasi, dan pengangkatan. Jika dilihat dalam ketentuan tersebut, sama sekali tidak terdapat diksi “cleansing”. Dengan demikian, jelas bahwa “cleansing” bertentangan dengan asas legalitas karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan bertentangan dengan UU ASN.
Sejalan dengan mandat Pasal 66 UU ASN, Pj. Gubernur DKI Jakarta seharusnya mengambil langkah konkret untuk menjamin kepastian kerja dan kesempatan pengembangan karir. Salah satunya dengan memastikan bahwa seluruh guru honorer dapat masuk dalam penataan pegawai non-ASN melalui mekanisme penataan yang setara dan berkeadilan, sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan dan pemberdayaan profesi guru sebagaimana diatur dalam UU Profesi Guru dan Dosen. Dalam UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, serta Permendikbud nomor 10 tahun 2017 yang menjamin 4 jenis perlindungan guru. Perlindungan atas profesi, Perlindungan hukum, Perlindungan Kesehatan dan keselamatan kerja dan Perlindungan hak kekayaan intelektual.
Kedua, Pelanggaran hukum yang terjadi berkorelasi langsung dengan pelanggaran HAM yang diderita oleh para guru honorer. Dalam konteks ini, setidaknya beberapa instrumen hukum dan HAM baik nasional maupun internasional dapat dijadikan batu uji, seperti Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) sebagaimana telah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui UU No. 11/2005, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun UU No. 39/1999 Tentang HAM.
Berdasarkan instrumen-instrumen tersebut, maka pelanggaran HAM yang paling jelas terlihat adalah Pelanggaran hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diatur dalam (Pasal 6 Kovenan Ekosob; Pasal 27 UUD NRI 1945; Pasal 38 ayat (2) UU HAM). Pelanggaran ini merujuk pada diberhentikannya para guru honorer akibat kebijakan “cleansing” ini, sehingga kehilangan pekerjaan, penghidupan, dan kesempatan untuk mengembangkan karirnya sebagai seorang guru.
Ketiga, hingga kini, para guru honorer belum mendapatkan kepastian kerja dan kesempatan pengembangan karir yang jelas.
Jika merujuk pada Pasal 66 UU ASN, Kementerian/Lembaga Negara diberikan waktu hingga Desember 2024 ini untuk melakukan penataan terhadap pegawai non-ASN. Namun, hingga saat ini belum ada mekanisme yang jelas tentang bagaimana penataan tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akan ada lagi “cleansing jilid 2” apabila mekanisme penataan tersebut hingga kini belum jelas.
Oleh karenanya, kami mendorong agar:
- Pj. Gubernur DK Jakarta beserta Plt. Kepala Dinas Provinsi DK Jakarta menyampaikan permintaan maaf secara publik, termasuk juga menyampaikan komitmennya untuk menjamin kesejahteraan dan kepastian kerja para guru honorer;
- Pj. Gubernur DK Jakarta melakukan evaluasi terhadap Plt. Kepala Dinas Provinsi DK Jakarta terkait cleansing ini. Termasuk menjatuhkan sanksi apabila diperlukan guna menjamin ketidakberulangan di kemudian hari;
- Presiden dan DPR RI mendorong kebijakan penataan pegawai non-ASN yang menjamin kesempatan yang setara dengan mekanisme yang berkeadilan, termasuk namun tidak terbatas pada para guru honorer.
Jakarta, 26 Juli 2024
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta