Sidang Pemeriksaan Awal Gugatan Surat Presiden terkait Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Senin (19/05). Sidang diwarnai dengan pengamanan aparat kepolisian yang berlebihan.
Polisi mengerahkan ratusan aparat dan brimob, lengkap dengan barracuda untuk menjaga gedung pengadilan selama persidangan berlangsung. Padahal, dalam pantauan di lapangan, pengadilan hari ini sepi, mengingat selama masa pandemi Covid-19 banyak persidangan dilakukan secara e-Court.
Tidak ada aktivitas massa aksi apapun, selain petugas parkiran, pegawai dan beberapa tamu pengadilan yang sibuk keluar masuk. Justru dengan kehadiran aparat kepolisian, menciptakan keramaian dan kerumunan orang di pengadilan di tengah pemerintah dan masyarakat sedang berusahan menjalankan PSBB.
Pengerahan aparat kepolisian yang berlebihan ini justru menunjukkan sikap negara yang arogan, yang ingin mengintimidasi. Ketika rakyat menggugat negara dan menunjukan kelalaian pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang maladministrasi dan inkonstitusional, negara malah meresponnya dengan tindakan represif pengerahan aparat kepolisian.
Merespon peristiwa ini, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana angkat bicara. Arif memandang, pengerahan aparat di PTUN adalah tindakan berlebihan dari pemerintah. Hal ini menunjukan karakter atau watak represif negara, ketika dikritik oleh rakyat sendiri. Padalah menurut Arif, pengujian kebijakan pemerintah oleh rakyat melalui PTUN itu konstitusional. Dan itu juga merupakan ciri negara hukum yang memang sedang diperjuangkan oleh masyarakat hari ini melalui koalisi Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Arif meyakini, situasi hari ini sedang menunjukan kata-kata presiden ketika mengusulkan RUU Omnibus Law di akhir Desember 2019 lalu. Permintaan tolong presiden kepada Badan Intelejen Negara (BIN), Kejaksaan dan Kepolisian untuk mendekati pihak-pihak yang tidak setujuh terhadap RUU Omnibus Law, itu ternyata praktiknya jelas hari ini.
“Saya pikir ini ancaman dan teror, dan saya kira ini membuktikan kata-kata Jokowi yang mengatakan “Ajak ngobrol itu mereka yang menolak!”. “Ajak ngobrol” itu bukan berdialog! Harusnya bukan aparat kepolisian yang dilibatkan, tetapi aparat pemerintah dari kementerian. Namun bila yang datang adalah aparat penegak hukum, maka itu adalah intimidasi,” tegas Arif. (Thomas Tukan)