Rusun Petamburan dibangun pada 1997 untuk meningkatkan kelayakan hunian warga Petamburan. Namun, proses pembangunan yang sarat pelanggaran hukum justru menjatuhkan warga terdampak pada jurang kemiskinan yang lebih dalam. Hingga kini, para korbannya masih menuntut keadilan.
Rusun Petamburan adalah rumah susun yang diprogramkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 122 Tahun 1997. Proyek tersebut ditujukan untuk menanggulangi lingkungan yang dianggap kumuh oleh pemerintah di areal tersebut. Pada saat itu, Dinas Perumahan dan Walikota Jakarta Pusat ditunjuk sebagai pelaksananya. Proyek itu menggusur 513 Kepala Keluarga (KK), warga RW 09 yang terdiri dari delapan RT.
Pada Senin sore (12/11), Sutarya dan Suripto bercerita tentang pembanguan Rusun Petamburan. mereka menceritakannya sambil berjalan melewati deretan rumah-rumah kecil dan kumuh di samping Rusun Petamburan. Rumah-rumah itu didiami korban penggusuran untuk Rusun Petamburan. Bangunan itu berdiri di atas selokan, menyeruak aroma selokan ke hidung setiap orang yang menghampirinya. Hanya ada satu jalan untuk melintasi rumah-rumah itu, berupa lorong gelap dan pengap.
“Program rumah susun ini digembor-gemborkan untuk mengentaskan kemisikinan, karena tempat ini kumuh dan langganan banjir,” ujar Sutarya, salah seorang warga RW 09 korban penggusuran Rusun Petamburan.
Menurut Sutarya, sebelum penggusuran dilakukan, pemerintah telah melakukan sosialisasi.
“Dulu sebelum digusur, Pemerintah janjiin, dengan rusun ini pemukiman jadi bersih, layak, nyaman, dan sehat,” tambahnya.
Pemerintah pada saat itu menjanjikan warga akan mendapat ganti rugi yang layak seperti ganti rugi kontrakan, dan unit rusun. Warga pun merelakan tanahnya untuk dijadikan rusun. Namun apa yang terjadi tidak berjalan sesuai dengan harapan warga. Selain uang ganti rugi yang tidak sesuai, waktu pengerjaan Rusun Petamburan yang molor hingga 5 tahun, serta janji bagi warga yang memiliki luas tanah 50 meter lebih akan mendapatkan 2 unit dan warga yang memiliki tanah 100 meter lebih akan mendapat 3 unit. Janji tinggal janji.
“Penetapan ganti ruginya sepihak. Masa semeter 200 ribuan, kan harusnya sejuta atau dua juta, warga pun melakukan protes kepada pemerintah tapi tetap tidak didengar,” keluh Sutarya.
Akibat rencana yang tidak berjalan sesuai harapan, warga harus menanggung beban hidup lebih berat dari sebelum mereka digusur. Uang ganti rugi yang warga terima habis untuk kebutuhan sehari-hari ditambah untuk menyewa kontrakan hingga Rusun selesai dibangun.
“Dapat ganti rugi 27 juta, habis semua buat kontrakan dan biaya hidup,” kata Talmi, salah seorang warga yang juga menjadi korban gusuran Rusun Petamburan.
“Dapat ganti rugi Januari, Mei krisis monoter,” celoteh Suripto melengkapi cerita penderitaan warga.
warga tidak menyangka akan ada krisis moneter. Nilai uang pun menjadi turun, terjadi inflasi rupiah terhadap dollar. Hal itu membuat harga bahan-bahan pokok naik. Uang ganti rugi tidak berarti banyak. Demi menyambung hidup, warga terpaksa harus berhutang, sambil menunggu pembanguan rusun rampung.
Nurjannah harus kehilangan usaha setelah digusur. Ia tidak bisa melakukan usaha dengan baik, seperti yang dilakukan sebelum penggusuran.
“Saya pindah ke Depok. Tapi di sana susah untuk usaha, ga kaya di Petamburan,” ucap Nurjannah dengan mata berkaca-kaca.
Rusun yang diharapkan pun selesai pada tahun 2002. Pembagian unit rusun yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Warga yang punya tanah 50 meter lebih dapat tambahan unit, jadi dua unit, sementara warga yang memiliki tanah seluas 100 meter dapat 3 unit.
“Pembagiannya tidak seperti yang dijanjikan, malah cuman dapat 1 unit yang tanahnya 50 meter,” pungkas Sutarya.
Warga mulai risih dengan kejadian itu. Tidak mendapat tambahan unit dan tidak ada ganti sewa kontrakan. Warga melakukan protes. “pemerintah cuman bilang ga usah khawatir, nanti diganti. Ga diganti juga tuh” ucap Masri Ketua Badan Komunikasi Warga RW 09 Korban Penggusuran Rusun Petamburan.
Warga Menggugat Pemerintah DKI Jakarta
Keadaan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, warga pun mengugat pemerintah DKI Jakarta. Sebanyak 473 KK dari 515 KK yang menjadi korban penggusuran menggugat pemerintah DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Pemerintah sudah melakukan perbuatan melawan hukum,” ungkap Masri, Ketua Badan Komunikasi Warga RW 09 Korban Penggusuran Rusun Petamburan.
Warga menuntut ganti rugi sebanyak 18 Milliar pada pemerintah serta janji pertambahan unit.
Tanggal 08 Desember 2003 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan warga. Amar putusan memerintahkan Pemprov DKI Jakarta harus membayar 4,7 miliar kepada warga dan harus memberikan jatah unit. Namun Pemprov yang tidak puas dengan putusan tersebut mengajukan banding. 24 Desember 2004 putusan Pengadilan tinggi keluar, hasilnya menguatkan putusan sebelumnya. Warga tetap menang. Upaya hukum belum selesai, Pemprov DKI Jakarta kembali mengajukan upaya hukum lanjutan, kasasi. Tanggal 26 Juni 2006, hasil kasasi tetap memenangkan warga. Tidak hanya sampai kasasi, Pemprov DKI Jakarta kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan tersebut. 19 Mei 2015 putusan PK memenangkan warga. Pemerintah tetap dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sulitnya Upaya Eksekusi Dilakukan
Ujian perjuangan warga korban penggusuran Rusun Petamburan rupanya tidak berhenti pada saat upaya hukum tertinggi sudah dimenangkan warga. Setelah Pemprov DKI Jakarta gagal dalam upaya PK dan warga telah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap, rupanya Pemprov DKI mengupayakan Fatwa MA untuk menganulir putusan pengadilan yang memenangkan warga.
Namun rupanya Fatwa MA tidak bisa menganulir putusan pengadilan. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana.
“Fatwa MA tidak bisa menganulir putusan yang berkekuatan hukum tetap,” terang Arief.
Pada 24 September 2015, warga kemudian bertemu dengan Pemerintah DKI Jakarta yang diwakili oleh Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta. Pertemuan tersebut membahas soal eksekusi putusan pengadilan. Pada saat itu Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta menyatakan menghormati putusan pengadilan dan mau mengganggarkan biaya ganti rugi sesuai denga putusan pengadilan di APBD 2016.
Lagi-lagi warga dikecewakan oleh Pemprov DKI Jakarta, hingga tahun 2016 berganti, warga tak kunjung mendapat ganti kerugian sesuai dengan putusan pengadilan. telah berkali-kali warga bertemu dengan pemerintah, bahkan menyurati pemerintah. Hasilnya? Tidak ada gelagat baik dari pemerintah untuk mematuhi putusan pengadilan.
“Sampai 2016 selesai, ga sama sekali dianggarin,” terang Masri.
Selasa 06 November 2018, Warga bertemu dengan Prasetio Edy Ketua DPRD DKI Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan guna membahas eksekusi putusan pengadilan warga korban penggusuran Rusun Petamburan. Kepada Edy warga meminta agar putusan pengadilan yang telah dimenangkan warga bisa dianggarkan dalam APBD 2019.
“Selama ini pemerintah selalu beralasan, nanti kami anggarkan. Tapi ga juga dianggarin,” tegas Masri.
Dalam pertemuan tersebut Prasetio Edy berjanji akan segera memasukan putusan pengadilan warga ke dalam pembahasan APBD bersama Gubernur, Dinas Perumahan dan Komisi A.
Tetap Menuntut Hak
Pengacara Publik LBH Jakarta, Charlie Albajili, menyampaikan bahwa eksekusi putusan perdata memang sulit dilakukan, apalagi jika yang tergugat adalah pemerintah.
“Tidak bisa dilakukan eksekusi secara paksa, dengan menyita barang milik negara. Hal itu sesuai dengan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara. Yah paling eksekusinya secara sukarela,” Jelas Charlie.
Namun Charlie tetap mendukung dan meminta warga untuk terus berjuang mengupayakan agar pemerintah menaati putusan pengadilan. Hal tersebut senada dengan keinginan warga yang masih menantikan hak-haknya terpenuhi. (Sarkowi)