Siaran Pers
Pada 29 Januari 2021 lalu, Pemerintah RI melalui Kemenkumham telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Paralegal dari keresahan bahwa tidak semua orang mempunyai kesadaran atau pemahaman yang mendasar mengenai ilmu hukum serta bagaimana mereka memperjuangkan haknya. Maka, paralegal hadir dengan harapan dapat melakukan serta memperluas pemberian bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi sebagaimana yang dijelaskan dalam Permenkumham Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum.
Namun, LBH Jakarta menilai beberapa perubahan yang tertuang dalam Permenkumham 3/2021 justru tidak sejalan dengan semangat atau nilai perjuangan dalam mewujudkan keadilan yang dilakukan oleh paralegal. Permenkumham ini berpotensi membatasi pemberian bantuan hukum. Untuk itu, LBH Jakarta memberikan beberapa catatan untuk Permenkumham ini, antara lain:
Pertama, mengenai definisi penerima bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 dan Permenkumham Paralegal 3/2021 yang masih hanya mengatur sebatas orang atau kelompok orang miskin. Definisi tersebut dinilai tidak tepat sasaran, sebab tidak hanya masyarakat yang miskin secara ekonomi yang membutuhkan bantuan hukum, tetapi bantuan hukum juga dibutuhkan bagi mereka yang minoritas dan kelompok rentan. Mengingat bahwa hukum atau pengadilan hari ini masih belum ramah dan belum menjamin keadilan bagi mereka yang minoritas dan rentan, pun, definisi pemberian bantuan hukum seharusnya dapat dimaknai secara lebih luas, seperti halnya terdapat perlindungan hukum terhadap korban maupun adanya pendampingan hukum dengan perspektif kemanusiaan yang baik.
Kedua, terkait rekognisi yang baru diatur secara khusus pada Bab VI Permenkumham 3/2021, yang menjadi catatan di dalam salah satu pasal adalah adanya pengaturan yang menjelaskan bahwasanya dalam melakukan pengajuan rekognisi kepada BPHN, maka pemberi bantuan hukum wajib melampirkan beberapa hal, salah satunya ialah melampirkan daftar pengalaman memberikan bantuan hukum oleh paralegal. Kami menilai, hal tersebut sangatlah janggal karena belum tentu seluruh paralegal yang telah direkrut oleh pemberi bantuan hukum telah memiliki pengalaman dalam memberi bantuan hukum dan apabila mensyaratkan memiliki pengalaman maka ada potensi bagi calon paralegal melakukan advokasi sebelum dia menjadi paralegal yang bisa jadi tidak terstandar.
Ketiga, adanya standarisasi yang diberikan kepada paralegal dengan diaturnya ketentuan mengenai standar kompetensi paralegal. Dengan diaturnya ketentuan terkait dengan pengakuan kompetensi serta prosedur mendapatkan pengakuan tersebut seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi dapat menghambat kinerja dari paralegal karena harus terstandar. Pada sisi lain hal ini baik karena demi menjaga kualitas paralegal yang juga dapat mempersulit proses rekrutmen paralegal. Seperti yang diketahui bahwa saat ini semakin banyak dibutuhkan paralegal yang juga dapat membantu pemberi bantuan hukum dalam melakukan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat, sehingga dengan dicantumkannya ketentuan tersebut akan memperlambat kehadiran paralegal. Adapun secara normatif, kami menilai bahwa ketentuan ini dinilai sebagai pengulangan, yang mana secara ideal pada Permenkumham Paralegal 3/2021 telah diatur mengenai rekognisi, maka pengakuan mengenai kompetensi menjadi tidak perlu.
Keempat, terkait kompetensi yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf (a) bahwa yang menjadi syarat kompetensi bagi seorang paralegal salah satunya adalah memahami hukum dasar. Sekilas terlihat syarat ini biasa saja dan justru baik karena dapat menunjang pemberian bantuan hukum. Namun hal ini tidak membedakan adanya paralegal dengan advokat yang cenderung dapat menghidupkan pokrol bambu pada masa kolonial. Pada sisi lain secara tidak langsung cukup memberatkan bagi calon paralegal dengan hanya mangandalkan pelatihan paralegal yang terbatas tidak mungkin dapat menghasilkan paralegal yang dapat mengerti hukum dasar. Selain itu harus disadari tugas dan peran paralegal juga ada aspek non hukum lainnya.
Kelima, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (3) menjelaskan hal yang perlu dilampirkan dalam hal pemberi bantuan hukum mengajukan pengakuan kompetensi kepada BPHN, hal yang perlu dilampirkan tersebut cukup banyak dan seharusnya cukup dengan melampirkan laporan pendidikan saja. Mengingat bahwa standar kompetensi itu untuk profesi, sedangkan paralegal bukan profesi, dan pada faktanya selama ini, Organisasi Bantuan Hukum lah yang membuat laporan dan memberikan penilaian, maka cukup sampai OBH saja, tidak perlu sampai BPHN/negara.
Keenam, mengenai standarisasi paralegal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Permenkumham 3/2021. Perubahannya dapat dilihat pada ketentuan sebelumnya di dalam Permenkumham 1/2018 bahwa terkait pengembangan materi kurikulum paralegal, penyelenggara “dapat berkonsultasi” dengan BPHN, sedangkan pada Permenkumham 3/2021, kompetensi dan/atau kurikulum “ditetapkan” oleh Kepala Badan (BPHN). Hal ini dinilai memberikan kewenangan yang berlebih kepada BPHN dalam menentukan kurikulum dan kompetensi perekrutan paralegal. Khawatir, hal ini akan memberikan standar yang rigid bagi perekrutan paralegal karena tidak memperhatikan atau mempertimbangkan tiap-tiap wilayah, daerah, komunitas dan/atau kelompok yang mana mempunyai kemampuan berbeda-beda, sehingga tidak dapat disamaratakan.
Ketujuh, terkait dengan tata cara pendidikan dan pelatihan terhadap paralegal. Dalam Pasal 6 Ayat (3) Permenkumham Paralegal 3/2021 mengatur bahwa “Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat dilaksanakan oleh panitia setelah mendapatkan persetujuan dari BPHN”. Ketentuan dalam pasal tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan dan pelatihan baru dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari BPHN. Padahal, melihat kebutuhan diperlukannya paralegal dalam kehidupan masyarakat, maka dibutuhkan pendidikan dan pelatihan terhadap paralegal secepat mungkin. Adanya ketentuan dalam Pasal 6 Ayat (3) tersebut justru dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap paralegal.
Kedelapan, mengenai pemberdayaan paralegal khususnya dalam Pasal 10 huruf (b) yang mengatur bahwa selain memberikan bantuan hukum, paralegal juga dapat ditugaskan oleh pemberi bantuan hukum untuk memberikan pelayanan hukum lain yang berupa pendampingan program atau kegiatan yang dikelola oleh kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, atau pemerintah desa. Adapun sebelumnya perlu di tegaskan kembali bahwa tugas utama dari paralegal adalah untuk turut serta memberikan bantuan hukum, LBH Jakarta berpandangan bahwa dengan dapat diikutsertakannya paralegal dalam kegiatan yang dikelola oleh pihak pemerintah dapat menjadikan paralegal menjadi alat pemerintah dan dikuasai oleh pemerintah, padahal sejatinya paralegal muncul dari masyarakat yang seringkali mengalami masalah hukum yang berhadap-hadapan dengan pemerintah. Ketentuan tersebut pun tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai tujuan program atau kegiatan pemerintah yang dimaksud.
Kesembilan, terkait dengan pengawasan dan evaluasi terhadap paralegal, sebagaimana diatur secara khusus dalam Pasal 12 Ayat (2) yang menyatakan bahwa pemberi bantuan hukum diwajibkan untuk memberikan laporan hasil pengawasan dan evaluasi terhadap paralegal kepada BPHN. LBH Jakarta menilai bahwa ketentuan dalam Pasal tersebut tidaklah efektif, seharusnya pemberian laporan cukup dilakukan oleh pemberi bantuan hukum dengan cara menyatukan hasil laporan pengawasan dan evaluasi terhadap paralegal dalam laporan program bantuan hukum yang kemudian diberikan kepada BPHN.
Kesepuluh, ketentuan terkait dengan pendanaan yang diatur dalam Pasal 14 bahwa “Pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Menteri ini dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah; atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.“ Mengenai ketentuan tersebut, LBH Jakarta berpandangan bahwa ketentuan yang hanya tercantum dalam 1 pasal tersebut belum mencakup dan mengatur secara jelas mengenai tata cara pendanaan. Terdapat suatu multitafsir yang timbul terkait ketentuan dalam Pasal 14 yaitu pendanaan sebagaimana dimaksud tersebut akan ditujukan kepada paralegal atau hanya terkait dengan pengawasan yang dilakukan Organisasi Bantuan Hukum/Organisasi Kemasyarakatan yang terkait dengan paralegal.
Mengenai catatan-catatan yang dinilai berpotensi membatasi dan mengurangi makna pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh Paralegal, maka LBH Jakarta memberikan rekomendasi untuk:
- Merevisi definisi penerima bantuan hukum untuk diperluas tidak hanya bagi orang atau kelompok orang miskin namun juga meliputi orang atau kelompok orang yang minoritas, rentan dan buta hukum;
- Menghapus pengajuan pengakuan rekognisi, khususnya pada Pasal 13 Ayat (3) huruf (a) angka (2) mengenai pengalaman paralegal dalam memberikan bantuan hukum;
- Menghapus ketentuan mengenai pengakuan kompetensi karena hanya akan menghambat berkembangnya paralegal;
- Menghapus frasa memahami hukum dasar pada Pasal 5 Ayat (1) huruf (a);
- Melakukan revisi terhadap Pasal 5 Ayat (3) dengan hanya cukup melampirkan laporan pendidikan;
- Mengubah frasa “ditetapkan” menjadi “dapat berkonsultasi” pada Pasal 7 Ayat (1) Permenkumham 3/2021 sebagaimana diatur dalam Permenkumham sebelumnya;
- Merevisi Pasal 6 Ayat (3) tersebut bahwasanya pendidikan dan pelatihan terhadap paralegal agar cukup dilakukan oleh Organisasi Bantuan hukum atau Organisasi Kemasyarakatan terkait dengan memberitahukan kepada BPHN;
- Menghapus ketentuan Pasal 10 huruf (b) karena tugas pokok paralegal adalah memberikan bantuan hukum kepada masyarakat;
- Mengubah ketentuan Pasal 12 Ayat (2) sehingga pemberian laporan pengawasan dan evaluasi digabungkan dengan laporan program bantuan hukum;
- Merevisi Pasal 14 dengan memperjelas lebih lanjut mengenai ketentuan pendanaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengawasan atau pendanaan yang ditujukan kepada paralegal.
Jakarta, 20 April 2021
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta