Tanggal 26 Juni 2014, Indonesia dan Dunia akan memperingati hari anti penyiksaan Internasional. Praktis, sudah 16 tahun Indonesia meratifikasi konvenan Menentang Penyiksaan, namun sampai saat ini situasi penyiksaan di Indonesia masih buruk. Salah satu problem yang paling mendasar adalah masalah Legislasi yang dianggap memberikan celah paling besar terhadap praktik penyiksaan. Saat ini, Indonesia menyiapkan beberapa draft regulasi baru termasuk RUU KUHAP untuk menggeser KUHAP 1981 yang dianggap tidak lagi sejalan dengan prinsip HAM, salah satunya isu anti Penyiksaan.
RUU KUHAP mengusung paradigma baru pergeseran Crime Control Model ke Due Process Model, pergeseran ini mengakibatkan tahap penerapan dan pemeriksaan upaya paksa, penangkapan dan penahanan mendapat perhatian yang besar. Seperti diketahui bahwa dalam tahapan inilah potensi terjadinya penyiksaan terbuka lebar, sebab aparat penegak hukum memiliki kewenangan dan power yang begitu besar namun minus pengawasan dan kontrol.
Komite Masyarakat Sipil Untuk Pembaharuan KUHAP (Komite KuHAP), memiliki beberapa catatan penting terkait beberapa materi dalam RUU KUHAP dalam rangka mengarusutamakan prinsip anti penyiksaan. Seperti penahanan masih menjadi sorotan penting, salah satunya adalah terkait jangka waktu penahanan dalam tahapan pra persidangan. Secara keseluruhan, dalam fase pra persidangan RUU KUHAP mengalokasikan waktu 150 hari, lebih lama 40 hari dari KUHAP yang saat berlaku. Dalam jangka waktu 150 hari tersebut, yang perlu digaris bawahi adalah terdapat waktu 2 x 5 hari atau 10 hari dimana orang yang ditahan tidak dihadapkan pada hakim, padahal berdasarkan ketentuan dalam Kovenan Sipol (ICCPR), seseorang yang ditahan harus sesegera mungkin dihdapkan ke muka hakim.
Pada tahun 2008, Manfred Nowak, UN Special Reporteur on Torture Mission to Indonesia, pengaturan dalam RUU KUHAP tersebut tidak sesuai dengan prinsip Internasional yang memberikan batasan penahanan seseorang sampai dihadapkan ke depan hakim adalah selama 2 x 24 Jam atau 48 Jam. Lamanya masa penahanan menjadi akar dari terjadinya penyiksaan, hal ini diperburuk dengan masih terdapatnya dualisme pengelolaan tempat penahanan, sehingga aparat penegak hukum seperti Polisi dapat menahan seseorang di tempat penahan polisi.
Penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada KUHAP saat ini sangat minim pengawasan dan kontrol, belum lagi akses terhadap pendamping hukum sangat minim. RUU KUHAP masih belum memuat ketentuan wajib setiap orang untuk didampingi penasihat hukum setidaknya pada pemeriksaan pertama, ketidakhadiran pendamping hukum mengakibatkan metode interogasi diserahkan sepenuhnya kepada penyidik tanpa ada pengawasan dari penasihat hukum ataupun rekaman sebagai bukti tidak terjadinya tindakan penyiksaan tidak difasilitasi, akibatnya celah ini sering dimanfaatkan untuk memaksa keterangan dan mendapatkan pengakuan dari orang atau tersangka yang diperiksa.
Untuk melindungi korban penyiksaan dari metode penyiksaan yang selama ini terjadi, Komite KuHAP menganggap bahwa salah satu hal yang paling penting untuk diatur dalam RUU KUHAP adalah masalah pengumpulan alat bukti yang sah. RUU KUHAP harus secara eksplisit memuat doktrin The Exclutionary Rule dalam pengumpulan alat bukti sebagai dasar pembuktian dipersidangan. Dalam KUHAP saat ini hanya diatur alat bukti yang sah, tanpa menekankan bahwa alat bukti tersebut tidak boleh didapat secara melawan hukum. RUU KUHAP harus memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa setiap alat bukti yang didapat deangan metode penyiksaan, dan secara melawan hukum pada umumnya, harus dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian di persidangan. Dengan begitu ada desakan kepada aparat penegak hukum untuk meninggalkan praktik-praktik penyiksaan guna mendapatkan alat bukti. Terakhir, hal yang tidak kalah penting adalah RUU KUHAP harus mengatur secara tegas mengenai pemulihan atau reparasi korban penyiksaan.
Komite KuHAP melihat, akibatnya buruknya substansi KUHAP, maka penyiksaan dalam proses peradilan pidana kerap terjadi, bahkan trend ya tindak penyiksaan mengalami peningkatan. Hal tersebut terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta, LBH Masyarakat serta PBHI. Dalam penelitian LBH Jakarta pada tahun 2005 ditemukan 81,1% tersangka mengalami penyiksaan saat diperiksa di tingkat kepolisian. Angka bertambah pada tahun 2008, ditemukan bahwa 83,65% mereka yang pernah diperiksa di kepolisian mengaku mengalami penyiksaan. Angka ini mengejutkan karena muncul di lima wilayah di DKI Jakarta yang selama ini dianggap sebagai parameter situasi hukum di Indonesia. Lebih mengejutkan lagi, 77% penyiksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan dan mendapatkan informasi. Padahal pengakuan hanya salah satu dari lima alat bukti yang dapat digunakan oleh aparat kepolisian [1].
Pada tahun 2010, LBH Jakarta melakukan penelitian mengenai angka penyiksaan di lima provinsi di Indonesia, yaitu Jakarta, Makassar, Surabaya, Banda Aceh dan Lhokseumawe, ditemukan sebanyak 72,9% mengalami penyiksaan yakni dipukul. Di wilayah Surabaya di ikuti oleh wilayah Banda Aceh sebesar 48% dan Lhokseumawe sebesar 34%. Bentuk penyiksaan fisik lainnya adalah disetrum, sebanyak 4,9% responden di Jakarta serta sebanyak responden 12,5% responden di Surabaya juga mengalaminya. Bentuk penyiksaan lainnya di bakar juga masih di jumpai sebanyak 1,2% di Makassar dan 5,2% di Surabaya mengalaminya [2].
Kemudian di tahun 2012 LBH Jakarta melakukan penelitian tentang penyiksaan dengan responden sebanyak 100 orang anak berhadapan dengan hukum, dimana para responden anak mengaku bahwa Polisi paling banyak melakukan penyiksaan untuk lima wilayah DKI Jakarta penyiksaan pada saat penangkapan sebanyak 82%. Penyiksaan pada saat proses BAP sebanyak 84%, dan Penyiksaan pada saat penahanan sebanyak 48% [3]. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh LBH Masyarakat menemukan terjadinya tindak penyiksaan. Dari 388 responden yang berasal dari penghuni tempat penahanan hanya 82 orang yang tidak mengalami kekerasan, sisanya mengalami kekerasan fisik, kekerasan mental , kekerasan seksual dan penggabungan kekerasan [4]. Serta PBHI juga Mencatat sepanjang tahun 2011 sebanyak 96 orang mengalami penyiksaan pada karakteristik kasus tertangkap tangan, masyarakat miskin dan buta hukum, tidak didampingi pengacara dan kejahatan dengan ancaman 5 tahun [5].
Berdasarkan uraian diatas, Komite KuHAP berkesimpulan bahwa perubahan KUHAP sudah sangat mendesak untuk dilakukan. untuk itu Komite KuHAP dalam rangka memperingati hari anti penyiksaan Internasional merekomendasikan :
- Dimasukkannya RUU KUHAP dalam Prolegnas 5 tahunan (2014 – 2019) dan prioritas tahunan pembahasan di DPR. Pembahasan nantinya harus dilakukan dengan menjaga kualitas, transparansi, partisipasi publik dan menyeluruh serta memperhatikan prinsip anti penyiksaan sebagai materi dasar perubahan.
- Segera diratifikasinya Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OPCAT).
- Dihapuskannya impunity dan dilakukannya penegakan hukum yang adil bagi pelaku penyiksaan.
- Diberikannya perlindungan dan reparasi korban penyiksaan.
Komite KuHAP (Komite Masyarakat Sipil Untuk Pembaharuan KUHAP): Arus Pelangi, CDS, ELSAM, HRWG, Huma, ICJR, Imparsial, ILRC, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Mawar Saron, LBH Pers, LBH APIK Jakarta, LBH Semarang, LeiP, MAPPI, PBHI, PSHK.
Contact Person :
081586315499 – Supriyadi W. Eddyono (ICJR)
081263145655 – Erasmus A. T. Napitupulu (ICJR)
081369350396 – Maruli Rajagukguk (LBH Jakarta)
Press Release Dalam Rangka Memperingati Hari Anti penyiksaan Internasional 26 Juni 2014
[divider]
[1] Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan: Survei Penyiksaan di Rumah Tahanan di wilayah Jabodetabek. Jakarta: LBH Jakarta, 2008.
[2] Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan di Indonesia di Indonesia, di Lima Provinsi di Indonesia. LBH Jakarta. Tahun 2010.
[3] Memudarnya Batas Kejahatan dan Penegakan Hukum (Situasi Pelanggaran Hak Anak dalam Peradilan Pidana). LBH Jakarta. Tahun 2012.
[4] Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan, Studi Kasus Terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta, LBH Masyarakat, 2012
[5] Laporan Pelanggaran Hak-Hak Tersangka, Hentikan Praktek Sewenang-Wenang dan Kejam, PBHI, 2012