Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum. Pada saat KUHAP diundangkan pada tahun 1981 dinilai sebagai karya agung. KUHAP saat ini sudah memasuki 33 tahun. Dimana sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka menjadi kebutuhan untuk dilakukan pembaruan terhadap KUHAP.
Salah satu isu krusial yang belum diakomodir dalam RKUHAP terkait isu perlindungan penyandang Disabilitas baik sebagai korban maupun sebagai tersangka. Hal ini terlihat dari substansi RKUHAP hanya ada dua pasal yaitu Pasal 91 ayat 2 dan Pasal 168 ayat 1 dan 2 RKUHAP, pada pokoknya: “Bila terdakwa atau saksi bisu, tuli atau tidak dapat menulis hakim ketua sidang mengangkat orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi sebagai penerjemah pada saat persidangan. Padahal Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011. Konsekuensi atas diratifikasinya Konvensi tersebut maka perlindungan terhadap disabilitas harus menjadi pengarusutamaan dalam semua aturan hukum yang berlaku, tak terkecuali dalam RKUHAP.
Hasil Penelitian Sentra Advokasi Perempuan, Difable dan Anak (SAPDA) Yogyakarta mengungkap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas di DIY dan sekitarnya pada bulan Juli- Agustus 2012, sebanyak 15 kasus yang ditangani oleh Kepolisian hanya 5 kasus yang dapat diproses dan 2 (dua) kasus yang selesai sampai putusan pengadilan. sebagian besar kasus tidak dapat berlanjut setelah dilaporkan kepada kepolisian, dihentikan, dicabut oleh keluarga atau sengaja dibiarkan sehingga keluarga ataupun korban menyerah untuk memproses hukum[1]. Penelitian yang dilakukan oleh Sapda mengungkap bahwa Permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum yaitu 1) Peraturan perundang-undangan dan mekanisme penanganan perkara yang belum berpihak. 2) Ketrampilan aparat penegak hukum untuk menangani kasus penyandang disabilitas yang mempunyai kebutuhan khusus.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Sapda disimpulkan bahwa KUHAP dan RKUHAP tidak berpihak kepada penyandang disabilitas, dimana substansi KUHAP dan RKUHAP tidak ada perbedaan, sehingga RKUHAP berpotensi melanggar hak-hak 11 juta penyandang disabilitas[2].
Oleh karenanya Koalisi untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) dan LBH Jakarta meminta kepada Pemerintah dan DPR RI yaitu;
- Menghentikan pembahasan RKUHAP dan dilanjutkan pada periode DPR RI tahun 2014-2019.
- RKUHAP harus melindungi hak-hak penyandang disabilitas Dalam RKUHAP dengan memuat beberapa hal yang sifatnya mendasar yaitu: 1) harus dijelaskan dalam bab khusus pengertian dan perlindungan penyandang disabilitas sehingga para Aparat Penegak Hukum (APH) dalam melakukan penegakan hukum mempunyai pemahaman yang sama. 2) Para korban kekerasan dan saksi dari penyandang disabilitas, saat berhadapan dengan hukum harus diberikan berbagai pilihan dengan semangat untuk kepentingan terbaik bagi penyandang disabilitas.3) Pengaturan Kecakapan dihadapan hukum yang diatur dalam RKUHAP dan RKUHP tidak boleh menghilangkan hak-hak penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. 4) Dalam RKUHAP harus memandatkan dalam aturan pelaksananya, APH harus mempunyai ketentuan dan prosedur penanganan kasus serta pelayanan khusus kepada penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun sebagai tersangka/terdakwa. 5) Dalam RKUHAP harus mengakomodasi penerjemah bahasa isyarat, penerjemah bagi penyandang disabilitas mental pada saat berhadapan dengan hukum.
Jakarta, 4 Maret 2014
Hormat kami
KuHAP dan LBH Jakarta
Kontak: Maruli (081369350396), Tigor (081287296684)
[1] Lihat penelitian Sapda diy tentang perempuan penyandang disabilitas berhadapan dengan Hukum. halaman 8. Tahun 2012.
[2] http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2917440_4202.html. tanggal 3 September 2013.