Sidang lanjutan kriminalisasi terhadap 26 aktivis kembali diadakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/06). Persidangan yang sudah 12 kali tersebut memasuki agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Guna mendukung dakwaan, JPU menghadirkan saksi atas nama Saeran yang merupakan Kanit Provost dari kesatuan Polres Jakarta Pusat.
Menanggapi saksi yang dihadirkan JPU, Arif Maulana selaku kuasa hukum dari tim Advokasi Buruh dan Rakyat (Tabur) PP Pengupahan menyatakan keberatan atas legal standing saksi yang dihadirkan oleh JPU yaitu polisi.
“Keberatan ini sangat logis jika pihak kepolisian akan tidak objektif dan independent dalam memberikan kesaksian dalam perkara ini karena akan terjadi conflict of interest,” tutur Arif.
Arif Maulana menambahkan, berdasarkan Pasal 185 ayat (6) KUHAP telah menyatakan dengan tegas bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh mengingatkan.
“Hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan objektif,” tambahnya.
Dalil Arif diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid. Sus/2010. Putusan tersebut menegaskan bahwa keterangan dari penyidik tidak dapat diterima karena mengundang konflik kepentingan. Mengingat posisinya sebagai polisi yang membuat mereka berkehendak agar perkara yang ditanganinya akan berhasil di pengadilan dalam arti berujung pada penghukuman kepada terdakwa.
Pada saat pemeriksaan saksi dimulai, Majelis Hakim Ibnu Basuki Widodo, mencoba memastikan kembali Tupoksi terkait keterlibatan Provost dalam aksi demonstrasi masa buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 silam. Dalam keterangannya saksi yang dihadirkan JPU, Saeran menyatakan bahwa Provos tidak memiliki Tupoksi apapun dalam aksi tersebut.
“Memang hubungan Provost dalam aksi ini tidak ada, saya hanya mengawal Kapolres agar aman saja,” tutur Saeran.
Di hadapan Majelis Hakim, Saeran membenarkan bahwa selama demonstrasi massa buruh berlangsung, tidak ada perintah langsung untuk mendampingi Kapolres Jakarta Pusat, Hendro Pandowo. Saeran melanjutkan, selama demonstrasi berlangsung posisinya kira-kira hingga 1-2 Meter dengan Kapolres Hendro yang saat itu juga sebagai Kepala Pengamanan Wilayah (Kapamwil). Kapolres langsung memimpin melakukan pembubaran massa buruh.
Ketua Majelis Hakim kembali bertanya kepada Saeran, selain menyampaikan aspirasi, apakah terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan massa buruh saat pembubaran?
“Untuk tindakan kekerasan memang tidak ada, cuma tidak mau membubarkan diri dan juga menutup jalan, begitu saja,” jawab Saeran.
Keterangan Saksi Tidak Konsisten
Dalam persidangan, saksi menuturkan pada tanggal 30 Oktober 2015 saksi bersama Kapolres melakukan apel pagi untuk pengamanan terhadap massa buruh yang akan melakukan aksi di depan Istana Negara. Selanjutnya, kata Saeran, Pukul 12.30 dia mendamping Kapolres di depan Istana Negara hingga Pukul 23.00 WIB sampai massa buruh bubar.
“Berarti saudara saksi bersama pak Kapolres dari Jam 06.00 WIB sampai 23.00 WIB di depan Istana Negara?” Tanya Kuasa Hukum Tabur, Arif Maulana mencoba mempertegas kembali keterangan saksi.
Namun saksi kembali menunjukkan pernyataan yang kerap berubah dengan pernyataan awal, bahwa ia menyatakan bersama Kapolres Hingga Pukul 21.45 WIB, tetapi sebelumnya ia berdalil bersama Kapolres Hingga 23.00 WIB.
Arif melanjutkan, pertanyaannya kepada saksi. Ia bertanya, “Apakah ada polisi yang menggunakan baju turn back crime saat unjuk rasa berlangsung?”
“Saya tidak melihat karena saya didepan istana bersama pak Kapolres saja,” jawab Saeran.
Atas peryataan itu, susana sidang sontak riuh, penonton berteriak “bohong”.
Pada kesempatan lain, salah satu kuasa hukum Tabur, Maruli, turut menanyakan pukul berapa saksi meninggalkan lokasi. Dalam Tanya jawab tersebut, saksi mengatakan bahwa ia meninggalkan lokasi pukul 24.00 WIB.
“Lalu setelah itu anda kemana?” Cecar Maruli.
“Saya setelah meninggalkan lokasi saya langsung ke kantor Polres Jakarta Pusat. Namun saya dipanggil oleh polisi berpakaian preman dari reserse agar datang ke Polda untuk di BAP,” ungkap Saeran.
Maruli melanjutkan, “Tadi polisi yang berpakain preman siapa yang anda maksud?“
“Saya tidak tahu namanya,” terang Saeran.
“Apakah anda membaca BAP yang anda buat?“
“Karena keletihan saya hanya membaca sepintas BAP yang telah dibuat,” jawab Saeran.
“Perlu saya bacakan Majelis Hakim, bahwa dalam BAP, saksi di BAP pukul 23.00 WIB, namun dalam persidangan mengatakan dia masih di Istana Negara Pukul 24.00 WIB,” terang Maruli kepada Majelis Hakim.
“Ini jelas ada rekayasa kasus dan saksi lebih banyak tidak tahu kondisi lapangan,” tambah Maruli.
Sidang berlangsung alot hingga selesai Pukul 16.30 WIB. Sidang ditunda hingga tanggal 27 Juni 2016 dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU kembali. Pada agenda sidang sebelumnya Majelis Hakim menetapkan sidang pukul 11. 00 WIB. Namun, seperti biasa sidang kembali molor hingga pukul 13.30 WIB. (Andre)