Jaringan Buruh Migran (JBM) yang terdiri dari 25 organisasi serikat buruh migran, serikat buruh/serikat pekerja, lembaga non pemerintah serta aktivis pegiat kemanusiaan, di hari peringatan Buruh Migran Internasional 2014 ini menagih janji Joko Widodo untuk memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia!
“Pekerjaan itu harus memanusiakan manusia, itulah filosofi dibalik sebuah pekerjaan. Oleh karenanya pekerjaan bagi buruh migran atau PRT migrant juga harus layak. Bahkan sekalipun ada warga Negara yang ‘brengsek’ tetap harus dilindungi, wajib dilindungi oleh Negara!” tegas Hanif Dhakiri yang menghadiri acara Konsolidasi Jaringan Buruh Migran (JBM), 16 Desember 2014 di Hotel Best Western, Cawang. Pernyataan Pembantu Presiden dalam bidang Ketenagakerjaan (Menaker) tersebut dinyatakan saat sedang membahas terdapat sejumlah Pekerja/Buruh Migran Indonesia yang berangkat ke negara tujuan melalui jalur tidak resmi (illegal). Hanif tegas menyatakan bahwa mereka pun tetap harus dilindungi oleh Negara. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan Negara yang dimuat dalam pembukaan UUD 1945 yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia, itulah tugas dan tanggung jawab Negara.
Sampai hari ini terdapat lebih dari 3.242.047 Pekerja/Buruh Migran Indonesia di seluruh dunia (data Kementerian Luar Negeri R.I.), mayoritas adalah perempuan dan bekerja di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT migran). Mereka bekerja tanpa disertai adanya sistem perlindungan yang memadai dari Negara.
Sepanjang tahun 2011 Kementerian Luar Negeri mencatat terdapat 38.880 kasus. Sementara, pada 2013 pengaduan yang diterima oleh BNP2TKI mencapai 4.432 pengaduan. Kasus yang diterima terdiri dari berbagai jenis kasus, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan oleh majikan, meninggal dunia, trafficking, bahkan ancaman hukuman mati bagi Buruh Migran Indonesia. Kementerian Luar Negeri mencatat, sepanjang 2011-2014 terdapat lebih dari 400 kasus ancaman Hukuman mati yang dialami oleh Buruh Migran di berbagai Negara tujuan. Sebanyak 46 Buruh Migran telah berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati, namun demikian pada tahun yang sama juga muncul 47 kasus baru.
Persoalan kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami Pekerja/Buruh Migran telah berlangsung secara sistematis dan struktural. Hal ini dapat dilihat dari beberapa faktor sebagai berikut: Pertama, paradigma Pemerintah yang masih memandang Pekerja/Buruh Migran Indonesia sebagai komoditas, yakni sebagai salah satu penghasil devisa terbesar bagi Negara. Paradigma ini bagaikan telah mendarah daging dimulai dari aparat pemerintahan level terbawah sampai pada para pejabat Negara.
Kedua, paradigma sesat tersebut semakin diperteguh melalui minimnya regulasi yang melindungi Pekerja/Buruh Migran Indonesia. UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) lebih banyak mengatur tentang administrasi penempatan dibandingkan dengan sistem perlindungan. Desakan revisi terhadap UU PPTKILN agar diselaraskan dengan Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi oleh Indonesia sampai detik ini juga tidak mengalami kemajuan berarti di tubuh DPR R.I. Wujud rendahnya komitmen pemerintah dalam menciptakan regulasi yang melindungi Pekerja/Buruh Migran Indonesia juga diperparah dengan belum diratifikasinya Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga yang telah dijanjikan sejak tahun 2011. Di samping itu tidak adanya regulasi yang melindungi Pekerja Rumah Tangga di dalam negeri juga menjadi penghambat bagi Pemerintah untuk mendesak komitmen pemerintah Negara lain melindungi Pekerja/Buruh Migran Indonesia yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.
Ketiga, minimnya peran Negara dalam proses perlindungan buruh migrant. Perlindungan justru diserahkan pada sektor swasta, seperti pendidikan, pelatihan, perjanjian kerja. Pengawasan yang menjadi sentral monitoring dalam perlindungan justru amat minim. Penegakan hukum bagi PPTKIS (pihak swasta) pelanggar regulasi dan/atau pelaku kejahatan sangat sulit dilakukan karena kebanyakan kasus akan berhenti di level Kepolisian atau sanksi yang diberikan sama sekali tidak memberikan efek jera bagi para pelaku.
Keempat, minimnya akses keadilan yang salah satunya berupa bantuan hukum cuma-cuma yang disediakan Negara bagi para Buruh/Pekerja Migran yang terjerat permasalahan hukum. Meski Indonesia telah memiliki UU Bantuan Hukum, namun Pekerja/Buruh Migran Indonesia berdasarkan definisi penerima bantuan hukum bukanlah tergolong sebagai pihak yang berhak menerima bantuan hukum. Negara menganggap mereka tidak memenuhi kategori miskin, dikarenakan telah pulang membawa hasil kerja dari luar negeri selama bertahun-tahun. Akhirnya banyak Pekerja/Buruh Migran yang menghadapi permasalahan hukum di Negara tujuan menjadi korban ketidakadilan bahkan sampai harus kehilangan nyawa. Sedangkan di dalam negeri, para Pekerja/Buruh Migran banyak mengalami kasus jeratan hutang, perampasan hasil kerja yang berujung pada kriminalisasi bagi mereka. Untuk jenis kasus terakhir, parktik demikian terjadi karena minimnya pengetahuan hukum dan tidak adanya dampingan hukum yang memadai yang disediakan Negara bagi pekerja/buruh migran.
Kelima, buruknya birokrasi dan kordinasi antar lembaga Negara atau institusi Negara yang tekait dengan proses migrasi – Kemenaker, Kemenlu, Kemenkumham (Dirjen Imigrasi), Kemensos, Kemendagri dan BNP2TKI – memperparah segala upaya perlindungan bagi Buruh/Pekerja Migran Indonesia. Ketidakjelasan kordinasi dan birokrasi antara Kemenaker dan BNP2TKI menjadi etalase nyata.
Mengulas janji politik Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala pada masa kampanye lalu, dalam Nawacita mereka berjanji untuk:
“1. Memberikan perlindungan bagi semua PRT di dalam maupun luar negeri
2. Memberikan perlindungan bagi pekerja / buruh migrant melalui:
a. Pembatasan dan pengawasan peran swasta
b. Menghapus semua praktik diskriminatif terhadap buruh migran terutama buruh migran perempuan
c. Menyediakan layanan publik bagi buruh/pekerja migran yang mudah, murah dan aman sejak rekrutmen, selama di luar negeri hingga pulang kembali ke Indonesia.
d. Bantuan hukum secara cuma-Cuma bagi buruh / pekerja migrant yang berhadapan dengan masalah hukum
e. Harmonisasi konvensi internasional 1990 tentang perlidungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya ke dalam seluruh kebijakan terkait migrasi tenaga kerja.”
Di hari peringatan Buruh Migran Internasional 2014 ini, kami JBM menagih janji politik Joko Widodo dan Jusuf Kala dengan mendesak Pemerintah untuk SEGERA MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA/BURUH MIGRAN melalui:
1. Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga;
2. Mendorong DPR-R.I. untuk memasukkan dalam Prolegnas 2015:
– Pengesahan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diselaraskan dengan instrumen HAM terkait;
– Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN yang diselaraskan dengan Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya serta instrument HAM terkait lainnya;
3. Membangun One Single Data Base System untuk Pekerja/Buruh Migran sebagai langkah awal pembenahan sistem perlindungan;
4. Memperjelas kordinasi antara Kemenaker dengan BNP2TKI yang subordinatif;
5. Membenahi birokrasi dan kordinasi antar kementerian terkait dalam upaya membangun sistem perlindungan yang holistik bagi Pekerja/Buruh Migran Indonesia;
6. Mempertegas sanksi bagi para pelanggar peraturan perlindungan buruh migrant baik yang ada didalam tubuh kementerian maupun di pihak swasta. Sanksi tersebut harus diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Demikain desakan dan pernyataan sikap ini kami sampaikan. Salam dan terima kasih.
Demikain desakan dan pernyataan sikap ini kami sampaikan. Salam dan terima kasih.
Jakarta, 18 Desember 2014
JARINGAN BURUH MIGRAN
SERIKAT BURUH MIGRAN INDONESIA, THE INSTITUTE OF ECOSOC RIGHTS, LBH JAKARTA, JALA PRT, SOLIDARITAS PEREMPUAN, LBH APIK JAKARTA, TRADE UNION RIGHTS CENTRE, FSPSI REFORMASI, HUMAN RIGHTS WORKING GROUP (HRWG), INDONESIA MIGRANT WORKERS UNION (IMWU) BELANDA, KONFEDERASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA (KSPI), KONFEDERASI SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA (KSBSI), KONFEDERASI SERIKAT PEKERJA SELURUH INDONESIA (KSPSI), KOTIKHO, LPBH FAS, LEMBAGA ADVOKASI BURUH MIGRAN INDONESIA (AD TKI), MIGRANT INSTITUTE, PEDULI BURUH MIGRAN, PBHI JAKARTA, UNION MIGRANT INDONESIA (UNIMIG), ASOSIASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA (ASPEK INDONESIA), ASEAN EMPLOYEES SERVICES TRADE UNION COUNCIL (ASETUC), MIGRANT CARE
Kontak Person :
Erna Murniaty – SBMI/JBM : 081334433519; Savitri Wisnu – Seknas JBM (082124714978); Pratiwi Febry – LBH Jakarta/JBM 081387400670.
Sekretariat: Jl. Kalibata Utara I No. 18
Jakarta Selatan 12740
Telp: 021 7971629