PERNYATAAN PERS
LBH Jakarta memprotes keras pernyataan Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Pol. Sujarno, yang disampaikannya di hadapan 1.435 personel reserse dalam acara ‘Revitalisasi Kring Serse’ Ecopark, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (14/10).
Sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media, Wakapolda menyampaikan, “Setiap mau rilis curas, saya lihat dulu tersangkanya, kok kakinya mulus-mulus saja (tidak ada bekas luka tembak karena dilumpuhkan polisi). Jadi, jajaran serse ya, tidak ada orang yang tidak senang, kalau kita beri tindakan tegas”.
Lebih parahnya lagi, Sujarno sempat memberikan pernyataan bahwa dirinya pernah menantang Kapolsek Penjaringan dengan memberi sejumlah peluru. Hal tersebut disampaikannya dengan menyatakannya “Saya bilang, saya nggak mau tahu, minggu ini ada yang mati, besok ada yang mati. Pelaku, katanya”.
Menanggapi pernyataan Wakapolda tersebut, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Febi Yonesta menyatakan: “Pernyataan Wakapolda tersebut berpotensi mengancam tegaknya Negara Hukum dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pasalnya dalam konteks penegakan hukum di Negara Hukum seperti di Indonesia yang harus dikedepankan semestinya adalah “due process of law” dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. UUD 1945 telah menjamin dengan tegas bahwa hak hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Seorang Tersangka memiliki hak untuk tidak diperlakukan/diasumsikan bersalah hingga putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan kebersalahannya”, lanjut Febi Yonesta.
Sebagai salah satu petinggi dijajaran Polri, pernyataan Wakapolda Metro Jaya tersebut berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan fungsi Polri dilapangan, khususnya pada tindakan penyidikan. Ucapan tersebut berpotensi menjadi legitimasi bagi anggota Polisi dibawahnya untuk melakukan tindakan penyiksaan berupa penembakan ataupun tindakan lainnya terhadap tersangka. Pernyataan Wakapolda tersebut telah bertentangan dengan komitmen Polri untuk menegakkan HAM dalam lingkup kerja Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
LBH Jakarta 5 tahun belakangan ini menangani dan menerima pengaduan terkait penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi dalam mengungkap sebuah kasus. Pistol menjadi alat untuk mengintimidasi dan memaksa agar tersangka mengakui perbuatannya. Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang LBH Jakarta tangani, seperti: Kasus Hasan Basri, Kasus Sahri Ramadhan als. Koko, Kasus salah tangkap 6 pengamen cipulir (Andro dkk), Kasus Marwan Bin Takat, Kasus J.J Rizal, Kasus Zulfikar, Kasus Rangga dan Kasus Dhani Lastino. Selain itu berdasarkan hasil penelitian LBH Jakarta pada tahun 2007-2008 dengan 367 responden diwilayah Jabodetabek ditemukan bahwa 83.65% responden mengalami penyiksaan ketika diperiksa polisi[1]
LBH Jakarta mendukung upaya Polri untuk memberantas dan mengurangi tindakan kriminal yang terjadi dalam masyarakat. Namun, tidak berarti semangat pemberantasan tindakan kriminal dilakukan dengan cara “kriminal”. Perkap 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Melakukan Tindakan Kepolisian ditegaskan: harus mengandung prinsip nesesitas, proporsional dan masuk akal sesuai dengan situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahaya terhadap masyarakat. Terkait penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain dilakukan ketika anggota polri tidak memiliki alternatif lain dan merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan Tersangka.
Namun sangat disayangkan, pernyataan Brigjen Pol Sujarno tersebut seakan mengaburkan batas dari penggunaan senjata api itu sendiri pada saat penegakan hukum dilakukan yang seharusnya penggunaanya tetap memperhatikan norma hukum yang ada dan Hak Asasi Manusia. Maka dari itu LBH Jakarta mendesak (1) Kapolri harus menindak tegas Brigjen Pol Sujarno atas penyataan yang telah dibuatnya; (2) Brigjen Pol Sujarno harus segera mengklarifikasi pernyataannya di hadapan media; (3) Brigjen Pol Sujarno harus meminta maaf terhadap publik atas pernyataan yang telah dikeluarkannya; (4) Copot Jabatan Wakapolda jika tidak memiliki itikad baik memperbaiki ucapannya.
Jakarta, 16 Oktober 2014
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta