17 tahun sudah paska jatuhnya rejim Soeharto. Rejim yang berkuasa dengan sokongan penuh dari tentara. Rejim yang membuka “karpet merah” modal internasional. Berkuasa selama 32 tahun dengan terus mengembangkan ideology dan politik Militerisme. Menempatkan Tentara dalam fungsi pertahanan dan keamanan. Bahkan dalam fungsi kebudayaan, sosial dan ekonomi.
Perjuangan reformasi memang berhasil menjatuhkan Soeharto dan dikemudian hari berhasil menghapuskan Hak tentara dalam fraksi di DPR/MPR. Merubah ABRI menjadi TNI. Dan memisahkannya dengan POLRI. Mereformasi UU TNI dan POLRI. Tapi benarkah Dwi Fungsi ABRI benar-benar hilang?
Sementara itu banyak generasi muda tak menghayati perjuangan demokrasi 1998. Di sisi lain, tak sedikit pula kelompok pergerakan sebagai komponen masyarakat yang berkesadaran, yang tak menganggap bahwa isu militerisme sebagai isu yang mendesak untuk disuarakan.
Meski ada reformasi UU TNI. Namun TNI belum sepenuhnya kembali ke Barak. Struktur Komando Militer masih bercokol hingga ke desa-desa. Bahkan, intelejen akan diperluas hingga ke kecamatan. Jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) pun di tambah di Kalimantan dan di Papua.
Tak hanya itu, peradilan militer tetap saja tidak terusik. Meski kalangan akademisi dan NGO mencoba mengusik. Kejahatan Tentara tak bisa dibawa dan diadili dalam peradilan sipil.
Beberapa mantan-mantan Jenderal yang dulu menjadi garda paling depan menghadang gerakan mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi dan reformasi, kini menunggai proses demokrasi, agar dapat berkuasa. Prabowo berserta rekan dan anak buahnya mendirikan Partai Gerindra. Sutyoso mendirikan PKPI. SBY mendirikan Partai Demokrat. Mereka yang menentangnya dahulu, kini paling mendapatkan keuntungan hasil dari keringat, darah dan air mata para pejuang reformasi.
Meski telah berhasil negeri ini menyelenggarakan pemilihan umum, dan menempatkan Presiden dan Wakil Presiden dari kalangan sipil secara langsung. Sekali lagi secara langsung. Namun, kekuatan militer nampaknya, terus berusaha memperbesar kekuasaanya, melalui cara-cara yang dianggap sah di mata hukum dan prosedur yang ada. Setelah sebelumnya dalam UU Penanggulangan Konflik Sosial berhasil disahkan dan memberikan ruang bagi militer untuk masuk dalam ranah keamanan. Tapi tak cukup disitu, berbagai regulasi diajukan ke legislatif: rancangan undang-undang keamanan nasional sebagai dasar pembentukan Dewan Keamanan Nasional, di desak untuk segera masuk dalam prolegnas 2015. Ataupun RUU Komponen Cadangan sebagai dasar wajib militer.
Sikap militer yang cenderung melabrak aturan tersebut karena adanya impunitas sebagai akibat dari belum adanya reformasinya sistem peradilan militer. Militer melakukan kejahatan pidana umum seperti korupsi tidak dapat dijangkau oleh institusi penegak hukum sipil baik Polisi, Kejaksaan, maupun KPK. Sebagai sebuah sistem peradilan, mekanisme dalam peradilan militer tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip peradilan yang baik. Padahal reformasi peradilan militer sudah diamanatkan dalam UU TNI pasal 65 ayat 2. Selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai.
Namun, cara-cara yang “sah” di mata hukum tersebut ternyata tak cukup. Harus ada cara yang lebih cepat. Meski bertentangan dengan berbagai produk perundang-undangan yang berlaku, misalnya UU TNI, beberapa kebijakan dan rancangan kebijakan diberlakukan, kebijakan “Bela Negara” yang ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan yang mewajibkan masyarakat untuk terlibat. Mungkin, karena RUU Komponen Cadangan tak segera disahkan. Kementerian Pertahanan membuat Program Bela Negara bekerjasama dengan Struktur Militer untuk menjalankan program Wajib Militer terselebung tersebut. Ataupun Rancangan Perpres tentang struktur organisasi TNI yang memberikan peluang bagi tentara masuk ke ranah keamanan, yang bukan ranah militer, melainkan polisi. Ataupun 31 Memorandum of Understanding (MoU) TNI dengan berbagai instansi, Kementerian dan BUMN, sesungguhnya menyalahi fungsi pertahanan.
Dalam dunia pendidikan tentara juga turut terlibat. Jika di awal reformasi, Resimen Mahasiswa (MENWA) dibubarkan di beberapa kampus. Tak membutuhkan waktu lama, resimen yang di binda dan di koordinasikan langsung oleh struktur militer tersebut hidup kembali. Ataupun dalam agenda Ospek, wawasan kebangsaan, tak lagi diajarkan oleh dosen tetapi langsung diajarkan oleh militer. Tentara mulai masuk kampus. Dan mirisnya, sedikit yang menyadari bahwa itu adalah ancaman.
Sebaiknya kita tak boleh lupa. Sedikit pun tak boleh lupa bahwa lebih dari 3 Juta manusia menjadi korban kekejaman militerisme sejak 1965 – sekarang. Apakah itu kasus pembantaian pendukung Soekarno dan PKI, tragedi Blitar Selatan, Tanjung Priuk, Talangsari, Kedung Ombo, 27 Juli 1996, Trisaksi, Kerusuhan Mei 98, Banyuwangi, Semanggi I dan II, Penculikan Aktifis, Ambon, Timor Leste, Aceh, Poso, hingga Papua. Atau kasus-kasus yang baru-baru terjadi seperti Urut Sewu di Kebumen, Mesuji di Lampung, atau kasus pembunuhan oleh Kopassus di Yogyakarta.
Jika dalam masa Orde Baru, Militer bisa mengebuk siapapun yang berbeda pandangan dan melawan tanpa payung hukum. Sekarang, militer, mulai “bermain cantik”, bersiasat sedemikian rupa, agar menggebuk siapapun yang berbeda dilakukan dengan cara-cara yang legal di hadapan hukum.
Maka dari itu marilah kita merawat perjuangan demokrasi dengan berdiskusi, berkerja bersama dan melawan segala upaya menghambat perluasan demokrasi.
Melihat kondisi yang demikian maka Indonesia Tanpa Militerisme Menuntut dan menyerukan:
- Cabut UU dan RUU yang anti terhadap Demokrasi: UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Ormas, UU Intelejen, RUU Keamanan Nasional, Rancangan Perpres tentang struktur organisasi TNI, Rancangan Revisi UU TNI, dsb.
- Pemerintah mengevalusi dan mencabut MoU TNI yang bertentangan dengan Undang-Undang.
- Hapus Komando Teritorial, TNI harus kembali ke Barak!
- Pemerintah Segera melakukan reformasi peradilan militer
- Pemerintah Mencabut RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas dari Prolegnas
- Masyarakat sipil melakukan konsolidasi untuk mencegah kembalinya militerisme
- Tangkap dan Adili Jenderal Pelanggar HAM
- Stop bisnis perwira TNI
- Tarik Tentara Organik dari Daerah Konflik-Papua
- Transparansi dan Akuntabilitas anggaran belanja militer
- Stop Tentara Masuk Kampus
- Perubahan UU Partai dan Pemilu, Tak boleh lagi ada Penjahat HAM yang mendirikan Partai dan menjadi calon pemimpin tanpa proses pengadilan.
Demikian pernyataan sikap kami. Mari bersatu selamatkan demokrasi untuk perjuangan kesejahteraan yang lebih baik!
Jakarta, 5 November 2015
Humas: Surya Anta