Jakarta, bantuanhukum.or.id—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kembali menggelar pendidikan advokasi di Sekretariat Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (F-SERBUK) yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat (20/05). Materi yang disampaikan pada pendidikan kali ini terkait Sistem Hukum Perburuhan yang nantinya kan dijadikan rujukan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pendidikan ini sudah kali ke-enam dilaksanakan LBH Jakarta di Sekretariat F-SERBUK.
Sebelum diskusi dimulai, Subono selaku Wakil Ketua F-SERBUK berbagi pengalaman konsolidasi jaringan internasional terkait Asbestos di Australia. Bono mengungkapkan, “99% buruh di Australia telah berserikat, antara serikat satu dengan serikat lain hubungannya dekat bahkan apabila betemu dijalan akan saling bertegur sapa layaknya saudara sendiri, bahkan polisi disana berserikat dan mereka bangga karena telah berserikat, ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia,” jelasnya.
Diskusi dimulai dengan adanya pemantik pertanyaan dari Dicky perwakilan anggota F-SERBUK PT BMJ terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kualitas PKB lebih baik dari Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sering dijadikan alibi pihak perusahaan ketika terjadi perselisihan hubungan industrial bahwa PKB telah bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Wirdan Fauzi selaku Pengacara Publik LBH Jakarta yang fokus pada isu perburuhan mengajak kawan-kawan buruh untuk sama-sama memahami terkait Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia yang memiliki 2 (dua) unsur yakni, Hukum Heteronom dan Hukum Otonom. Hukum Heteronom merupakan yang berkaitan dengan hierarki peraturan perundag-undangan seperti UUD, TAP MPR, UU, Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi , Perda Kabupaten/Kota. Sedangkan Hukum Otonom ketentuan-ketentuan di bidang perburuhan yang dibuat oleh buruh dan majikan, seperti Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, dan Peraturan Perusahaan.
Wirdan Fauzi menegaskan bahwa “Sejatinya yang digunakan ketika ada perselisihan rujukannya awal adalah PKB, oleh karena itu hukum otonom harus dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari hukum heteronom, minimal seperti kualitas hukum perburuhan heteronom, karena hukum otonom berfungsi mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom juga berfungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja. Jadi tidak mungkin PKB yang menjadi hukum otonom bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan karena pada prinsipnya hukum otonom yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum heteronom,” paparnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum perburuhan heteronom memiliki berbagai masalah diantaranya politik pecah belah, teregulasi perlindungan hak buruh, job security, pengekangan aktifitas serikat pekerja/serikat, untuk mengatasi hal tersebut perlu diupayakan peningkatan kualitas di sektor hukum otonomnya. Namun apabila isi dari hukum otonom tersebut sama dengan hukum heteronom akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom, maka menjadi tidak perlu lagi hukum otonom dibuat.
Sebelum materi diskusi ditutup, Shahnaz Hani Sofi selaku Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta yang fokus pada isu perburuhan menambahkan bahwa “Untuk memperkuat gerakan buruh makan buruh harus terpimpin, terdidik dan terorganisir yang salah satu aktualisasinya adalah pemberdayaan buruh melalui pendidikan tentang sistem hukum perburuhan di Indonesia. Ini yang menjadikan buruh sadar akan pentingnya memperjuangkan PKB yang menjadi wilayah hukum perburuhan otonom sebagaimana tengah di perjuangkan kawan-kawan SBA dari F-SERBUK,” ungkapnya.
walaupun kuantitas peserta menurun namun antusias dan kekritisan peserta yang lahir dalam bentuk pertanyaan maupun argumentasi tetap hadir selama pendidikan berlangsung. (Hani)