Jakarta, 10 Desember 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama warga, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil lainnya memaknai Hari HAM Internasional dengan cara yang berbeda. Hari HAM Internasional hanyalah bagian kecil dari seluruh rangkaian perjuangan warga dalam mengadvokasi permasalahan hukum dan HAM yang sedang berjalan. Dengan mengusung tajuk “Parade Hantar Warga” dengan tema “Pemerintah Jangan Kabur, Penuhi HAM Warganya!”, kami menyuarakan permasalahan kasus 14 titik penggusuran paksa di Jakarta, kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya, privatisasi air di Jakarta, minimnya hak atas bantuan hukum di Jakarta, minimnya perlindungan terhadap warga pesisir dan pulau-pulau kecil dari kerusakan lingkungan hidup, minimnya komitmen jaminan hak-hak dan Kesejahteraan pekerja (Pekerja Rumah Tangga, Awak Kapal Perikanan, dan Pengemudi Ojek Online), maraknya Tindak Pidana Perdagangan Orang dan kerja paksa dalam sektor perikanan yang hub perekrutannya di pelabuhan-pelabuhan Jakarta dan masih ditemukannya tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok rentan.

Dalam agenda ini, kami juga menampilkan ekspresi budaya berupa kesenian palang pintu, penampilan ondel-ondel mengibing, gambang kromong, dan sebagian peserta aksi menggunakan kebaya encim. Hal ini kami maknai sebagai bentuk perlawanan dan perebutan tafsir kebebasan berekspresi di Indonesia yang semakin hari terdegradasi dan rentan kriminalisasi bagi warga yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ekspresi adalah hak asasi manusia dan setiap orang bebas menafsirkan apapun tanpa takut terancam dan dikriminalisasi.

Aksi dihadiri sekitar 150 orang, dimulai pada pukul 10.30 WIB dengan titik kumpul di IRTI (Monas), kemudian berjalan menuju Balai Kota DKI Jakarta. Barisan aksi dipimpin oleh ondel-ondel dan diramaikan dengan gambang kromong yang memainkan musik untuk mengiringi pawai. Warga yang hadir juga membentangkan poster-poster tuntutan bahkan satire. Hal tersebut juga kami maknai sebagai suatu perlawanan terhadap sikap anti-kritiknya pemerintah ketika merasa tersinggung terhadap poster-poster satire. Sesampainya di Balai Kota DKI Jakarta, kesenian palang pintu mulai beraksi.

Balai Kota DKI Jakarta kami maknai sebagai simbol kekuasaan yang banyak terbatasnya dengan segala prosedur yang birokratis. Dengan banyak keterbatasan itu, pemerintah justru gagap ketika berhadap dengan prinsip hak asasi manusia yang universal. Mengapa demikian? Orang yang beraktivitas di Jakarta tidak hanya warganya ber-KTP Jakarta. Melainkan banyak kasus di luar daerah yang akhirnya warga memilih memperjuangkan hak-haknya untuk menuntut negara di Jakarta. Jakarta masih menjadi pusat pemerintahan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak boleh enggan untuk memenuhi hak asasi manusia secara universal..
Aksi kemudian dilanjutkan dengan orasi-orasi dari warga. Kami memaknai bahwa masih banyak suara-suara masyarakat kecil yang tidak didengar oleh pemerintah. Padahal setiap orang berhak berpartisipasi untuk mengusulkan suatu kebijakan, mengkritik, dan mengadukan permasalahannya.

Namun sayangnya, makna-makna ini tidak ditanggapi oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta Pramono Anung. Padahal, sejak tanggal 2 Desember 2025, LBH Jakarta telah menyurati Pramono Anung untuk mengadakan audiensi terkait permasalahan warga dalam memperingati Hari HAM Internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2025. Namun, kendala administrasi persuratan dan ketidaktahuan menjadi pilihan alasan untuk tidak menemui warga di depan Balai Kota. Ini kembali menjadi bukti bahwa pelayanan publik Pemprov DKI Jakarta bermasalah, butuh 9 hari surat itu sampai ke meja Pramono Anung. Jakarta seharusnya menjadi cerminan pelayanan publik dapat diterapkan dengan baik.
Dengan rasa kecewa, warga tetap berorasi meskipun tidak ditemui oleh Pramono Anung. Di antara warga, ada Forum Pancoran Bersatu yang menyampaikan permasalahannya yang terancam tergusur oleh Pertamina, Forum Warga Cikini Kramat yang di-ping-pong pengaduannya oleh tingkat kecamatan dan dinas ketika fasilitas umum warga dicaplok oleh korporasi, Warga Srengseng Sawah dan Lenteng Agung yang terancam penggusuran oleh TNI, Warga Pulau Pari yang terancam tergusur ruang hidupnya dan harus menanggung dampak dari rusaknya lingkungan hidup di wilayah laut Pulau Pari, dan masih banyak lainnya yang berorasi serta berpartisipasi dalam aksi ini.
Forum Pancoran Bersatu memaparkan tentang dampak buruk penggusuran paksa yang masih marak terjadi di Jakarta, “Sampai hari ini warga Pancoran Buntu 2 sudah 5 tahun lamanya masih mengalami konflik agraria dan penggusuran paksa. Ruang bermain untuk anak-anak dan ruang hidup yang layak sudah tidak bisa diakses lagi.”
Yuningsih (Keluarga Asa) menjelaskan tentang kondisi disabilitas di Jakarta, “Selama ini keadaan anak-anak disabilitas belum baik-baik saja. Banyak anak-anak disabilitas putus sekolah karena keterbatasan SLB. Saya berharap pemerintah memberikan perhatian khusus kepada anak-anak disabilitas.”
Wati (Jaringan Rakyat Miskin Kota) menuntut pemberhentian swastanisasi PAM Jaya, “Jika swastanisasi air terjadi akan berdampak pada miskin kota terutama untuk ibu dan anak. Kami mohon untuk Gubernur DKI Jakarta menghentikan perubahan PAM Jaya jadi Perseroda.”
Anita (JALA PRT) menyampaikan kondisi kerentanan Pekerja Rumah Tangga (PRT), “Kami, Pekerja Rumah Tangga, yang mana saat ini masih menerima upah sangat rendah dan mengalami berbagai macam kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Saat ini kami masih menuntut UU PPRT sesuai dengan janji Prabowo pada Aksi May Day”.
Nabil Hafizhurrahman (Pengacara Publik LBH Jakarta) juga menjelaskan pentingnya Ranperda Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Jakarta harus terbit. Sudah 14 tahun koalisi masyarakat sipil mengadvokasikan terbitnya Perda tersebut. Sedangkan di kota-kota lain sudah ada. Buktinya adalah saat ini, sejumlah 1.240 ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada demonstrasi Agustus 2025. Masyarakat butuh bantuan hukum, namun tidak banyak yang akhirnya didampingi oleh pengacara. Dari pengabaian ketidakhadiran jaminan hak atas bantuan hukum negara, akhirnya banyak masyarakat yang ditangkap sewenang-wenang, mendapatkan kekerasan, dan saat ini banyak yang sedang menempuh proses persidangan tanpa didampingi pengacara.

Peringatan Hari HAM Internasional tidaklah menjadi makna apapun jika pemerintah tidak hadir ditengah-tengah masyarakat tertindas. Kompleksitas permasalahan Jakarta jangan dilokalisir hanya bagi warga dengan KTP Jakarta. Melainkan, Jakarta harus dipandang sebagai kota tempat orang memperjuang hak asasi manusianya.
“Jalan ini (Jalan Medan Merdeka Selatan yang berada di depan Kantor Gubernur DKI Jakarta) bukan hanya suatu fisik jalan, melainkan kota ini sebagai jalan warga untuk memperjuangkan hak-haknya, baik itu warga KTP Jakarta maupun warga dari daerah lainnya,” ungkap M. Nabil Hafizhurrahman.
Aksi ini ditutup dengan pernyataan sikap dan tuntutan bersama, dalam Hari HAM Internasional warga mendesak Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk:
- melindungi masyarakat dan menjamin ketidak berulangan ancaman penggusuran, serta mencabut Pergub DKI Jakarta 207/2016.
- menghentikan rencana perubahan badan hukum PAM Jaya menjadi Perseroda.
- memprioritaskan perlindungan lingkungan hidup serta perlindungan kepada hak-hak nelayan atau warga pesisir dan pulau-pulau kecil dalam perumusan kebijakan dan perlindungan hukumnya.
- membuat kebijakan yang melindungi hak dan menjamin kesejahteraan Pekerja Rumah Tangga, Awak Kapal, dan Pengemudi Ojek Online, serta mengadvokasikan perlindungan hak pekerja di tingkat nasional.
- melindungi kelompok rentan dari ancaman kekerasan dengan mewujudkan kebijakan yang inklusif dan perlindungan hukum.
- segera mengusulkan dan membahas Ranperda Penyelenggaraan Bantuan Hukum di DKI Jakarta sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas bantuan hukum.
- berpihak kepada masyarakat yang tertindas dan terdiskriminasi akibat dari tindakan aparatur pemerintahan baik di tingkat daerah maupun pusat, serta menolak kebijakan nasional yang diskriminatif.
Elemen masyarakat yang terlibat dalam aksi ini yaitu: LBH Jakarta, Arus Pelangi, Warga Srengseng Sawah, Warga Lenteng Agung, Urban Poor Consortium (UPC), Gerakan Rakyat untuk Keadilan Air Jakarta, Keluarga Asa, Warga Cina Benteng, Jala PRT, Destructive Fishing Watch Indonesia, Awak Kapal Perikanan Korban, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Forum Pancoran Bersatu, Kesatuan Serikat Pekerja Tenaga Medis dan Kesehatan Indonesia (KSPMTKI), KPBM, Forum Warga Cikini Kramat, Greenpeace Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia DKI Jakarta, Gerakan Masyarakat Pro Justitia (GMPJ), Warga Budi Darma Kampung Semper, Warga Pulau Pari, WALHI Jakarta, BEM FH UPN Veteran Jakarta, Ranita UIN Jakarta, Arkadia UIN Jakarta, dan seluruh masyarakat yang hadir lainnya.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
- Alif Fauzi Nurwidiastomo ([email protected]);
- M. Nabil Hafizhurrahman ([email protected])






