Jakarta, bantuanhukum.or.id-Komisi A DPRD DKI Jakarta menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Jakarta (PRJ) serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di Gedung DPRD (10/11). Agenda ini diselenggarakan karena Peraturan Gubernur No. 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang dinilai mencederai hak asasi warga Negara untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rapat ini diwakili oleh Biro Hukum dan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, selain itu Asosiasi PKL, Komnas HAM, dan BEM Seluruh Indonesia juga ikut menghidupkan dialektika dalam rapat ini.
Rapat ini dipimpin oleh Sekretaris Komisi A Bidang Pemerintahan, Syarif dengan didampingi Petra Lumbun selaku Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta. Dalam RDPU ini Sekertaris Komisi A ini mempertanyakan gagasan munculnya Peraturan Gubernur No. 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Bagaimana alurnya, siapa yang merumuskan Pergub ini, materi mengenai tempat serta pendanaannya, dan mengapa muncul revisi atas Pergub ini, kapan dirumuskan dan siapa panelnya.
Ratiyono selaku Kepala Badan Kesbangpol DKI menjelaskan “Pergub ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan hak asasi kelompok mayarakat yang sedang meyalurkan aspirasi dengan masyarakat yang melakukan aktivitasnya sehari-hari guna memelihara ketentraman, ketertiban, kemanan umum dengan kegiatan ekonomi tetap berjalan, dengan Biro Hukum Pemprov DKI, Kesbangpol, Pokja 5 tertib, Dinas Perumahan, Dinas Kebersihan, Kepala Dinas Umum, dan Sekda sebagai tim perumusnya,” jelasnya.
Wahyono selaku Kepala Bagian Penyusunan Perundang-undangan Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, menyatakan bahwa Pergub 228 tahun 2015 ini bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan diatasnya dan mengundang banyak reaksi di masyarakat dan media maka direvisilah menjadi Pergub 232 Tahun 2015 yang didalamnya mengatur sanksi apabila melanggar akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pimpinan sidang dalam hal ini menilai bahwa Pergub ini adalah Pergub ‘abal-abal’ karena diterbitkan pada 28 Oktober 2015 kemudian di revisi pada 9 November 2015 hanya berjarak 12 hari sejak tanggal penerbitannya. “Saya melihat seolah-olah pergub ini perlu-perlunya Gubernur, buat apa dibuat kemudian direvisi begitu cepat, yang tertuang hasil kajiannya apa sebenernya?“
Perubahan Pergub dari 228 ke 232 ini terdapat perubahan pasal yakni pasal 4 yang semula berbunyi lokasi yang diperbolehkan hanya Parkir Timur Senanya, Alun-Alun MPR/DPR, Silang Selatan Monas, dirubah menjadi Pemprov DKI menyediakan tempat di 3 lokasi dimana tidak ada larangan dan sanksinya.
“Bikinnya pake anggaran negara, trus Pergub ini ngatur opo? ini kaya himbauan saja, tanpa adanya Pergub ini pun tidak ada maslaah sebenarnya”, ujar Syarif.
Untuk itu Persatuan Rakyat Jakarta yang diwakili oleh Maruli dari LBH Jakarta menyatakan sikap “Mencabut Pergub jadi-jadian ini yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah, justru menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semakin anti-kritik dengan masyarakat”.
Alasan PRJ menolak Pergub ini karena (1) Tidak ada Urgensitas Pemda DKI mengatur pengedalian demonstrasi DKI Jakarta; (2) Pembatasan Demostrasi perlu syarat yang ketat; (3) Pergub ini bertentangan dengan UU HAM, UU 9/98 dan kovenan hak sipil dan politik; (4) Penyimpangan terhadap kedudukan fungsi dan tugas TNI/Polri; (5) Demonstrasi bukan penyebab kemacetan; (6) Mengenai kebisingan, di UU 9/98 itu tidak mengatur demikian.
Tak mau kalah, Wahyono selaku perwakilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengundang masyarakat sipil untuk berdialog intensif dengan Pemprov DKI untuk membahas pasal-pasal mana yang merugikan rakyat. Wahyono menambahkan sekiranya substansi materi Pergub dirasa masih melanggar hak asasi kawan-kawan atau konstitusi silahkan ada koridor hukumnya diajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat Umum ini DPRD DKI harus rapat internal untuk segera menentukan sikap untuk merekomendasikan agar dilakukan peninjauan kembali untuk dilakukan kajian lebih mendalam apa yang menjadi masukan dari masyarakat, karena melihat urgensinya memaksakan atas pemikiran yang tidak sempurna serta tergesa-gesa dalam pembuatan Pergub dan perevisiannya, melihat ketentuan desibel kembali, pembuatan peraturan harus partisipatf dengan melibatkan masyarakat, harapannya pada saat membuat peraturan bisa dilaksanakan bukan untuk di tolak atau dilanggar dari masyarakat.
Pertemuan ini merupakan kali keempat yang digagas DPRD, setelah di tiga undangan sebelumnya tidak pernah ada tanggapan positif dari Pemprov untuk hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum. PRJ menegaskan, apabila Pemprov tidak mau mencabut Pergub ini maka akan ada civil disobedience (pembangkangan sipil). (Hani)