Rilis Pers Bersama
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional
Jakarta–Denpasar, 21 Desember 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi, dan Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional (PP FMN) menyampaikan keprihatinan serius atas praktik perburuan terhadap aktivis pasca-Aksi Agustus yang hingga hari ini masih berlangsung. Hal itu kembali tercermin dari penangkapan seorang aktivis Aksi Kamisan Bali oleh aparat kepolisian pada Jumat sekitar pukul 11 WITA, 19 Desember 2025 di Denpasar, Bali. Setelah sebelumnya terdapat penangkapan aktivis di Semarang dan Magelang, kami menduga kuat bahwa penangkapan ini adalah upaya sistematis dan berkelanjutan dalam membungkam para aktivis sebagaimana yang lebih dulu dilakukan terhadap aktivis, seperti Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Khariq Anhar, dan Syahdan Hussein, yang saat ini proses persidangannya tengah berlangsung di Jakarta.
Pada Jumat, 19 Desember 2025, Tomy Priatna Wiria (TPW) ditangkap oleh sekitar 50 orang berpakaian preman yang mengakui aparat kepolisian Polda Bali dan Bareskrim. Di hari yang sama, tepatnya pukul 18.00 WITA, Tomy langsung diterbangkan dari Bali ke Jakarta dan tiba di Bareskrim Polri sekitar pukul 21.00–22.00 WIB. Informasi awal mengenai pelimpahan perkara TPW dari Polda Bali ke Bareskrim Polri ini diterima langsung oleh Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi, lalu LBH Jakarta segera mendatangi Bareskrim Polri untuk melakukan pendampingan langsung kepada TPW pada pukul 22.00–00.30 WIB. Namun, akses pendampingan atau pemberian bantuan hukum itu dihalang-halangi.
Sebagai informasi, TPW merupakan salah seorang pegiat Aksi Kamisan Bali dan FMN yang terlibat aktif dalam kerja-kerja advokasi dan solidaritas terhadap perjuangan pekerja/buruh serta gerakan mahasiswa di Bali. TPW juga kerap terlibat dalam sejumlah agenda literasi, hingga forum-forum penyampaian ekspresi masyarakat sipil Bali. Penangkapan yang dilakukan kepada TPW jelas merupakan pembungkaman terhadap aktivitas kritis, sekaligus sarana menebarkan teror kepada warga negara.
Kronologi Penangkapan
Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi, peristiwa penangkapan bermula pada Jumat, 19 Desember 2025, sekitar pukul 11.00 WITA. Saat itu, empat orang, yang salah satunya adalah TPW, sedang berada di sebuah tempat yang terletak di Jalan Sedap Malam, Denpasar.
Tiba-tiba, sekitar 50 orang aparat tak berseragam (menggunakan baju buser “buru-sergap”/preman), datang ke lokasi dan mengaku berasal dari Kepolisian Daerah Bali (Polda Bali) dan Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri). Kepala Lingkungan (Kaling) di lokasi tersebut kemudian kemudian diperlihatkan surat perintah penangkapan oleh aparat yang datang, tetapi surat tersebut tidak pernah ditunjukkan kepada empat orang yang ditangkap. Surat perintah penangkapan baru diperlihatkan setelah berada di Polda Bali.
Aparat yang berjumlah 25 orang kemudian masuk dan langsung melakukan penggeledahan di lokasi tersebut. Saat itu, aparat kepolisian membawa sejumlah buku serta barang pribadi berupa gawai, dompet dan laptop.
Ketika warga di sekitar tempat penangkapan bertanya mengenai kejadian tersebut, aparat berbohong dengan menjawab bahwa terdapat dugaan kasus terorisme dan narkotika di lokasi tersebut. Disisi lain, aparat menyampaikan kepada Kaling bahwa target utama penangkapan adalah TPW, serta menjamin bahwa tiga orang lainnya, “tidak akan dibuat jelek namanya.”
Dalam proses penangkapan dan penggeledahan, aparat juga sempat menanyakan keberadaan CCTV dan kepemilikannya. Bahkan, aparat meminta pemilik rumah yang memiliki CCTV untuk menghapus rekamannya. Kemudian, keempat orang itu diborgol dengan kabel ties dan dibawa ke Polda Bali dengan menggunakan empat mobil pribadi dan belasan sepeda motor secara terpisah.
Sekitar pukul 20.00 WITA, Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi tiba di Polda Bali untuk melakukan pendampingan. Pada malam yang sama, tiga orang yang ditangkap bersama TPW dilepaskan. Sementara itu, TPW langsung dilimpahkan perkaranya ke Bareskrim Polri dan diterbangkan ke Jakarta. Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi pun segera mengonfirmasi kepada beberapa perwira polisi di Polda Bali, yang kemudian membenarkan bahwa perkara TPW memang dilimpahkan ke Bareskrim Polri.
Di Bareskrim, TPW diketahui ditangani oleh Subdit I Dittipidum, dengan Kepala Unit (Kanit), serta seorang Penyidik yang bertugas malam itu. Pada awal komunikasi, Penyidik menyampaikan beberapa hal ke pihak LBH Jakarta antara lain:
- Bahwa Penyidik telah memberikan kabar kepada orang tua TPW di Bali;
- TPW telah diberikan akses untuk menghubungi keluarga; dan
- Keluarga TPW telah menyatakan akan menunjuk penasehat hukum (pengacara) sendiri.
Namun demikian, setelah LBH Jakarta berkoordinasi dengan Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi untuk mendapatkan kontak orang tua dari TPW, fakta yang diperoleh justru menunjukkan bahwa keluarga sama sekali belum memberikan persetujuan apa pun untuk menunjuk pengacara. Dengan demikian, pernyataan Penyidik di Bareskrim Polri tersebut tidak sesuai dengan fakta dan diduga keras merupakan keterangan yang tidak benar terkait pemenuhan hak atas bantuan hukum TPW.
Pandangan dan Desakan
Atas terjadinya peristiwa penangkapan TPW serta masih dilakukannya perburuan aktivis muda oleh Polri, kami berpandangan sebagai berikut:
Pertama, adanya penangkapan terhadap TPW yang merupakan aktivis Aksi Kamisan Bali, semakin menunjukkan indikasi kuat bahwa penegakan hukum masih diarahkan untuk membungkam ekspresi kritis alih-alih melindungi hak warga negara untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat yang telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan 28E ayat (3) jo. 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Penangkapan ini juga memperlihatkan adanya pola-pola kriminalisasi serta penegakan hukum yang timpang, di mana aparat kerap bertindak cepat dalam merespons ekspresi warga, sementara abai dalam menangani pelanggaran hukum yang berdampak luas bagi masyarakat maupun korban pelanggaran HAM. Praktik demikian jelas bertentangan dengan Pasal 19 dan 21 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 UU Nomor 12 Tahun 2005, di mana menjamin hak atas kebebasan berpendapat, berekspresi, serta berkumpul. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa ruang kebebasan sipil terus dipersempit, sementara watak negara yang bertumpu pada penggunaan kekuasaan koersif semakin menguat.
Kedua, adanya pelanggaran HAM dan hukum acara pidana yang dilihat dari pelanggaran yang dialami oleh TPW, di antaranya:
- ditangkap tanpa dijelaskan dan ditunjukkan surat perintah tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang sah serta alasan penangkapan;
- penangkapan disertai ancaman, anggota Polri yang melakukan penangkapan menyatakan kepada TPW dan tiga orang lainnya: “jangan menyebarkan informasi penangkapan ini, jika tidak kamu akan habis”;
- dilanggar hak atas privasinya, dengan dilakukan pengeledahan perangkat pribadi tanpa adanya surat perintah dan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat;
- dilakukan penetapan tersangka dengan tanpa didahului dilakukan pemanggilan sebagai calon tersangka;;
- dilakukan pemeriksaan dengan tanpa didampingi oleh penasihat hukum;;
- tidak diberikan akses bantuan hukum;;
- tidak diberikan akses kunjungan sebagai tahanan..
Hal-hal tersebut di atas merupakan pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia dan praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ICCPR, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketiga, adanya tindakan aparat Polri aparat Polri untuk meminta menghapus rekaman CCTV yang merekam peristiwa peristiwa penangkapan TPW, memberikan memberikan keterangan yang yang tidak benar bahwa Orang Tua TPW telah menunjuk pengacara untuk mendampingi TPW, dan tidak memberikan akses bantuan hukum berdasarkan permintaan orang tua TPW merupakan dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KKEP) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan g, Pasal 12 huruf e, Pasal 7 huruf f, dan Pasal 8 huruf b Perpol No.mor 7 Tahun 2022.
Berdasarkan uraian kronologi dan pandangan di atas, kami mendesak sebagai berikut:
- Kapolri untuk segera memerintahkan Kabareskrim untuk memberikan akses bagi bantuan hukum dan segera membebaskan TPW; segera memerintahkan Kabareskrim untuk memberikan akses bagi bantuan hukum dan segera membebaskan TPW;
- Kabareskrim dan Dirtipidum Bareskrim Polri selaku atasan penyidik untuk melakukan supervisi penyidik dan membuka akses bantuan hukum bagi TPW;
- Kadiv Propam dan Karowassidik Bareskrim Polri untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan/atau melakukan penegakan KKEP dan pelanggaran hukum acara pidana atau prosedur dalam proses penyidikan terhadap TPW;
- Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas RI sebagai lembaga pengawasan eksternal Polri untuk melakukan pengawasan terhadap proses penyidikan TPW dan menindaklanjuti temuan dalam hal adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia, maladministrasi, dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan.
#SemuaBisaKena #WargaJagaWarga #WargaBantuWarga
Narahubung:
Made Ariel Suardana – Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi
Daniel Winarta – LBH Jakarta
Alwidya Syah – PP FMN






