Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kembali menyeleggarakan kegiatan penyuluhan hukum di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Pondok Bambu (23/02). Penyuluhan hukum kali ini diikuti oleh 10 Warga Binaan. Tema yang diusung yaitu mengenai hak-hak yang harus diperoleh warga binaan. Pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai ini dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan dilaksanakan secara daring. Dalam penyuluhan hukum kali ini, LBH Jakarta menugaskan Andi Komara, S.H., Abdan Ramadhani, S.H. dan Mangara Tua Silaban, S.H. untuk menjelaskan materi-materi mengenai hak atas kesehatan, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Andi Komara memulai penyeluhan hukum ini dengan menjelaskan hak atas kesehatan yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Hal tersebut diungkapkan Andi menjadi salah satu hak-hak yang penting untuk diketahui para peserta terutama hak atas kesehatan ditengah pandemi Covid-19 yang harus diperoleh warga binaan.
“Saat ini banyak warga binaan yang tidak mengerti hak-hak kesehatan yang harus diperolehnya. Pelayanan kesehatan terhadap warga binaan harus dipenuhi oleh negara dalam hal ini Rutan kelas 1 Pondok Bambu dengan menyediakan: tenaga kesehatan, peralatan, tempat/ruang pelayanan kesehatan, obat-obatan dan ruang lingkup pelayanan. Upaya tersebut dilakukan untuk tercapainya pemenuhan hak atas kesehatan terhadap warga binaan,” Kata Andi.
Selanjutnya, Andi memaparkan materi mengenai pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat. Andi menjelaskan bahwa pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat merupakan hak yang dapat diperoleh warga binaan Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah tahanan. Andi juga menjelaskan mengenai persyaratan untuk mendapatkan hak tersebut.
“Untuk pembebasan bersyarat merupakan bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiiga tersebut tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan. Sedangkan, Cuti Bersyarat merupakan proses pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan bagi Narapidana dan Anak setelah memenuhi Syarat-syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Kata Andi.
Adapun syarat-syarat untuk mendapatkan cuti bersyarat, yaitu:
- Pidana paling lama 1 Tahun 6 Bulan;
- Telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana;
- Berkelakuan baik selama 6 bulan terakhir bagi pidana umum dan 9 bulan bagi narapidana Terorisme, Narkotika dan Prekusor Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Kejahatan terhadap keamanan Negara dan Kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat, Serta kejahatan Transnasional terorganisasi lainnya;
- Membayar Lunas Denda dan/atau uang pengganti bagi Tindak Pidana Korupsi dan bagi Tindak Pidana Terorisme harus juga telah menunjukan kesadaran dan penyesalan dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis dan tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Warga Negara Asing (WNA).
Kemudian penyuluhan hukum dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Mangara Tua Silaban tentang proses peradilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Mangara menjelaskan proses persidangan mulai dari peristiwa hukum, penyelidikan, penyidikan, dakwaan, eksepsi, tanggapan, putusan sela, pembuktian, tuntutan, pledoi, replik, duplik, putusan, proses banding hingga proses kasasi. Bagi Mangara para peserta dianggap perlu untuk mengetahui proses hukum acara pidana di Indonesia.
“Masih banyaknya warga binaan yang tidak mengerti tentang proses hukum yang sedang mereka jalani. Sehingga membuat warga binaan kesulitan dalam menghadapi kasusnya. Oleh karena itu, sangat dirasa perlu untuk kami memberikan penjelasan sesuai prosedur hukum acara pidana yang berlaku agar mereka mudah untuk menghadapi proses hukum yang sedang dijalaninya,” terang Mangara.
Para peserta juga mendapatkan pengetahuan seputar hak-hak mereka sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana dalam setiap proses peradilan. Abdan menjelaskan setiap orang yang sedang menjalankan proses hukum memiliki hak untuk didampingi oleh kuasa hukum disetiap tingkatan pemeriksaan hingga persidangan, hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan, hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik, hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, hak untuk menghubungi penasihat hukumnya dan hak untuk secara bebas memilih penasihat hukum yang merupakan hak tersangka yang harus dipenuhi oleh aparat penegak hukum.
“Perlu diketahui bahwa saat ini masih banyak para tersangka, terdakwa atau terpidana yang mengalami Unfair Trial (Peradilan Tidak Jujur) karena tidak mengetahui hak-hak mereka dalam setiap proses peradilan pidana di Indonesia. Sehingga, Materi ini dirasa sangat perlu untuk disampaikan kepada para peserta,” Kata Abdan.
Sebagai materi penutup penyuluhan hukum kali ini dilanjutkan dengan pemaparan materi tentang Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan, Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana tertentu mengakui hal yang dilakukannya dan bukan merupakan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan dengan tujuan agar terang benderangnya suatu tindak pidana.
“Para tersangka atau terdakwa diharapkan dapat bersedia mengajukan diri untuk menjadi Justice Collaborator. Hal tersebut akan menjadi keuntungan bagi para terdakwa agar menjadi pertimbangan bagi hakim untuk meringankan putusannya,” tutup Abdan.
Namun, dalam penyuluhan ini, pasa peserta tidak dapat melakukan tanya jawab kepada narasumber dikarenakan waktu penyuluhan yang diberikan sangat terbatas (40 Menit) yang dikarenakan penggunaan aplikasi zoom yang disediakan tidak berbayar sehingga membuat penyuluhan berhenti tiba-tiba dan tidak dilakukan secara maksimal. (Abdan Ramadhani)