Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan dakwaan jaksa terhadap AA dan KK anak yang berhadapan dengan hukum (24/11). Hakim menjelaskan bahwa terdapat rekayasa berkas yang menunjukan anak tidak didampingi penasihat hukum saat proses penyidikan. Keduanya diputus oleh Hakim Anak Sutejo dalam perkara yang berbeda. Atas putusan hakim tersebut, jaksa penuntut umum diberikan kesempatan untuk melakukan perlawanan dalam jangka waktu 7 hari.
Dalam putusan selanya, hakim menjelaskan adanya rekayasa dalam berkas perkara kepolisian. Dalam berkas perkara kepolisian tersebut tertulis bahwa AA dan KK didampingi pengacara saat proses peyidikan, padahal pada faktanya tidak didampingi. Rekayasa tersebut ditunjukan dengan adanya kejanggalan surat penunjukan penasihat hukum dari Polsek Penjaringan kepada Posbakum PN Jakarta Utara. Surat kuasa anak yang ada dalam berkas perkara juga dianggap tidak sah secara hukum oleh hakim.
“Surat penunjukan pengacara dibuat tanggal 19, padahal pemeriksaannya tanggal 18, surat kuasa dalam berkas perkara juga cacat hukum karena langsung ditanda tangani anak yang belum cakap secara hukum,” terang hakim anak Sutejo dalam pertimbangannya.
Atas dasar tersebut, hakim menjelaskan kembali bahwa anak wajib didampingi oleh pengacara dan pendamping lainnya dalam setiap pemeriksaan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU SPPA.
“Di sini terbukti anak tidak didampingi pengacara saat penyidikan, sehingga karena ketentuan tersebut bersifat imperatif atau wajib, jadi kalau tidak dipenuhi berarti terdapat cacat prosedur yang membuat dakwaan jaksa harus dibatalkan,” terang Sutejo dalam putusannya.
Bunga Siagian, selaku pengacara publik LBH Jakarta yang mendampingi AA dan KK dalam persidangan mengaku sangat mengapresiasi putusan tersebut. Ia menjelaskan bahwa terdapat berbagai pelanggaran hak-hak anak yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam perkara AA dan KK sejak proses penyidikan hingga penuntutan.
“Selain tidak didampingi pengacara saat penyidikan, anak juga ditahan dengan orang dewasa dan diperlakukan dengan tidak manusiawi dalam tahanan serta tidak pernah diupayakan proses diversi,“ ujar Bunga di depan ruang persidangan saat sidang berakhir.
Mendengar putusan tersebut, keluarga AA dan KK mengaku sangat bersyukur dan menjadikan putusan tersebut sebagai pelajaran. Pihak keluarga sejak awal telah mengeluhkan bahwa kasus keduanya sarat dengan rekayasa oleh para penegak hukum karena situasi mereka yang buta hukum.
“Ini adalah pembelajaran buat kami agar tidak takut memperjuangkan hak anak kami jika benar di depan hukum,” ujar orang tua KK pada saat sidang telah berakhir.
Adapun di kesempatan yang berbeda, Arif Maulana, kepala bidang Fair Trial LBH Jakarta menjelaskan bahwa kasus AA dan KK menunjukan buruknya kualitas kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan perkara pidana anak. Hak anak yang wajib dipenuhi seperti didampingi penasihat hukum dan diperlakukan secara khusus seringkali tidak dipenuhi. Penyelesaian perkara anak melalui diversi juga menurutnya masih jarang dilakukan karena penafsiran yang kaku dari para penegak hukum.
“Putusan hakim di kasus ini sangat baik untuk jaminan perlindungan hak anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) ke depannya dan mengajarkan penegak hukum akan pentingnya pendekatan keadilan restoratif dalam perkara anak,” ujar Arif.
Selain itu, Arif juga memberikan perhatian mengenai pasal penguasaan senjata api dalam UU Darurat yang digunakan untuk menjerat AA dan KK. Menurutnya, pengaturan mengenai penguasaan senjata api sangat multitafsir dan membuka celah kriminalisasi oleh aparat penegak hukum.
“Perlu jadi perhatian kita bersama untuk mengkaji kembali relevansi keberlakuan UU Darurat saat ini karena dalam banyak kasus, pasal-pasal di dalamnya hanya membuka celah kriminalisasi dan tebang pilih penegakan hukum,” ujar Arif.
Sebelumnya, KK (14) dan AA (16) adalah anak yang dijerat Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 (UU Darurat) atas tuduhan penguasaan senjata tajam. Namun dalam putusannya hakim membatalkan surat dakwaan jaksa, dan perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan kembali. (Charlie)