Rabu, 23 Oktober 2019, Presiden RI Joko Widodo resmi mengumumkan nama-nama Pembantu Presiden yang akan menduduki jabatan di pos kementerian dalam Kabinet Indonesia Maju. Sayangnya, setidaknya ada sekitar 45% (empat puluh lima persen atau hampir setengah dari total) jabatan menteri-menteri diisi oleh nama para petugas partai politik.
Dari nama-nama Pembantu Presiden tersebut, LBH Jakarta mencatat ada para menteri yang bermasalah dari segi independensi, rekam jejak, kompetensi dan profesionalitas sebagai berikut:
- Tito Karnavian yang ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri. Sebagai mantan Kapolri, pada periodenyalah diduga telah terjadi banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh anggota dan institusi Kepolisian, seperti penyiksaan dan kekerasan terhadap massa demonstran 21-22 Mei 2019 dan 24 September serta 30 September 2019. Tidak hanya itu, Tito Karnavian sendiri selaku Kapolri selama masa jabatannya gagal mengungkap secara jelas siapa dalang dibalik penyerangan Penyidik Senior KPK-RI Novel Baswedan, yang sampai saat ini kasusnya menggantung;
- Prabowo Subianto yang ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan. Prabowo sebagaimana kita ketahui bersama sampai saat ini masih menjabat selaku Ketua Umum Partai Politik Gerindra. Tahun 1998, Prabowo Subianto dipecat dari TNI oleh Presiden BJ. Habibie, dan terbit pula Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang memuat pemberhentian Prabowo dengan hormat atas beberapa catatan pelanggaran berupa mengabaikan sistem operasi, hirarki, dan disiplin di lingkungan militer. Prabowo juga dianggap tidak menjalankan etika profesionalisme dan tanggung jawab. Dewan Kehormatan juga menyebut Prabowo melakukan tindak pidana berupa ketidakpatuhan. Pidana lain yang dilakukan Prabowo adalah perintah merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan aktivis pada tahun 1998. Sampai saat ini Prabowo tercatat tidak pernah taat memenuhi panggilan Komnas HAM dalam proses pemeriksaan pro justicia terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukannya.
- Yasonna Laoly yang kembali ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM. Yasonna Laoly yang telah terpilih dan dilantik sebagai anggota DPR-RI periode 2019-2024, dengan langkah ringan meninggalkan amanah konstituennya pada Pemilu lalu demi kembali menjabat sebagai Menkumham. Padahal sejarah mencatat pada periode Pemerintahan Joko Widodo 2014-2019, Kemenkumham di bawah kepemimpinan Yasonna dinilai bermasalah. Hal ini terbukti dengan masih maraknya praktik pungutan liar dan jual beli kamar di lapas Sukamiskin dan beberapa lapas lainnya, tidak terselesaikannya persoalan overcrowded lapas, perumusan RUU KUHP yang tidak partisipatif dan secara substansi serta asas hukum pidana masih bermasalah dan banyak norma pasalnya yang jelas bertentangan dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia serta peraturan perundang-undangan lainnya. Tidak selesainya agenda sinkronisasi peraturan perundang-undangan juga merupakan indikator lain yang menunjukan tidak maksimalnya kinerja Kemenkumham di bawah kepemimpinan Yasona.
- Sedangkan untuk jabatan Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), masih dijabat oleh Siti Nurbaya Bakar. Dari rekam jejak pendidikannya, Siti Nurbaya memang memiliki kompetensi di isu lingkungan. Namun rekam jejaknya sebagai Menteri LHK periode 2014-2019, Siti Nurbaya tidak bisa menyelesaikan secara tuntas dan tegas terkait kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimatan. Kasus lingkungan di Kendeng dan pencemaran udara Jakarta, serta beberapa kasus lainnya juga menemui jalan buntu pada kepemimpinan Siti Nurbaya.
- Dominasi Pembantu Presiden yang berasal dari Partai Politik juga mencapai 45% (17 orang dari total 38 menteri). Selain menggandeng Ketua Partai Politik Gerindra (Prabowo Subianto), yang juga merupakan rival politik Joko Widodo dalam Pilpres kemarin sebagai Pembantunya, pada Kabinet Indonesia Maju ini Joko Widodo juga menyerahkan 2 kedudukan selaku Pembantu Presiden kepada 2 (dua) orang Ketua Partai Politik lainnya, yakni Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Airlangga Hartarto, dari Partai Golkar sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Suharso Monoarfa, dari Partai Persatuan Pembangunan sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tercatat 17 (tujuh belas) orang petugas partai politik yang dipilih sebagai Pembantu Presiden pada Kabinet Indonesia Maju ini ialah sebagai berikut: Parpol PDIP mendapat jatah kursi menteri sebanyak 5 orang (Yasonna Laoly, Juliari Batubara, Tjahjo Kumolo, Pramono Anung, dan I Gede Ayu Bintang Darmawati Puspayoga). Partai Golkar mendapat jatah kursi menteri sebanyak 3 orang (Airlangga Hartarto, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Zainudin Amali). Partai Nasdem mendapat jatah 3 kursi menteri (Siti Nurbaya Bakar, Johnny G Plate, dan Syahrul Yasin Limpo). Gerindra mendapat jatah kursi menteri sebanyak 2 orang (Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo). PKB mendapat posisi menteri sebanyak 3 orang (Abdul Halim Iskandar, Ida Fauziah, dan Agus Suparmanto). PPP mendapatkan 1 orang posisi menteri (Suharso Monoarfa).
Tidak dapat dijaminnya independensi para petugas partai politik yang menduduki jabatan menteri dari kepentingan partai politiknya, karena sebagai petugas partai mereka juga terikat tanggung jawab untuk “menghidupi” partai politiknya, kondisi ini tentu akan berakibat buruk dan menjadi beban bagi kinerja eksekutif kedepan. Selain itu, budaya buruk bagi-bagi kursi jabatan menteri antar partai politik koalisi pemerintah ini, berakibat pada sikap kompromi Presiden terhadap kompetensi, kapasitas serta kapabilitas menterinya. Padahal, idealnya, mengacu pada teori trias politica, Partai Politik harus menjadi pengawas kinerja eksekutif melalui lembaga parlemen (legislatif). Dengan demikian dapat disimpulkan, partai politik hari ini memegang kendali kekuasaan yang sangat besar, karena mereka berada di posisi eksekutif selaku pelaksana, serta legislatif selaku pengawas di saat yang bersamaan. Abuse of power merupakan keniscayaan, fungsi check and balances akan tidak berjalan dengan maksimal.
- Di lain sisi, posisi jabatan pejabat setingkat menteri seperti Jaksa Agung diduduki oleh ST Burhanuddin, yang merupakan adik dari politisi Partai PDIP, Tubagus Hasanuddin. Meski pun ia adalah pensiunan dari Kejaksaan Agung, namun bila dilihat rekam jejaknya tidak menunjukan adanya komitmen dan visi kuat terkait penegakan hukum dan HAM. Selain itu, pasca pensiun, ia tercatat mengisi kesibukan dirinya di luar bidang hukum dengan menjadi Komisaris Utama PT. Hutama Karya. Hal ini jelas akan berdampak buruk pada proses penegakan hukum yang independen pada waktu 5 (lima) tahun kedepan.
Selain nama-nama Menteri yang telah diumumkan dan dilantik oleh Joko Widodo, LBH Jakarta juga menyoroti jabatan Kapolri pasca ditinggalkan oleh Tito Karnavian, yang diduduki oleh Ari Dono Sukmanto selaku Plt. (Pelaksana Tugas). Meski begitu, ada wacana bahwa Idham Aziz (mantan Kapolda Metro Jaya) akan ditunjuk sebagai Kapolri, pengganti Tito Karnavian. Sebagai mantan Kapolda Metro Jaya, LBH Jakarta mencatat Idham Aziz memiliki rekam jejak buruk, salah satunya adalah pelaksanaan operasi besar-besaran dan instruksi tembak mati di luar proses peradilan (extra judicial killing) selama pelaksanaan Asian Games 2018 yang lalu. Dugaan pelanggaran HAM ini telah dilaporkan LBH Jakarta kepada Komnas HAM RI. Idham Aziz yang juga menjadi Ketua Tim TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kasus penyerangan penyidik senior KPK-RI Novel Baswedan, hingga kini gagal untuk mengungkap siapa dalang utama di balik penyerangan Novel Baswedan. Dengan demikian profesionalitas, kompetensi, kapasitas serta kapabilitas Idham Aziz jauh dari cakap untuk mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai Kapolri.
Selain persoalan rekam jejak, LBH Jakarta juga menilai kian banyaknya Pembantu Presiden yang berasal dari tubuh militer sebagai sebuah kemunduran. Hal ini menguatkan kekhawatiran akan semakin masifnya pendekatan militeristik dan pendekatan keamanan dalam menilai, melihat serta menangani urusan-urusan bangsa di berbagai sektor. Dimulai dari sektor investasi, kemaritiman bahkan sampai urusan agama. Amanat reformasi yang dengan tegas mendorong dihapuskannya dwifungsi ABRI (saat ini TNI) yang bertujuan menghapus militerisme (bukan militer) dan mengedepankan supremasi sipil mengalami kemunduran besar setelah 21 (dua puluh satu) tahun reformasi.
Meskipun penunjukkan nama-nama Menteri sebagai Pembantu Presiden adalah hak perogratif Presiden, namun seyogyanya independensi, integritas, kompetensi, kapasitas, kapabilitas serta profesionalitas menjadi pertimbangan utama dalam menentukan Pembantu Presiden yang tepat, guna memenuhi kepentingan rakyat, dan bukan kepentingan partai politik. Selain itu dalam masyarakat yang demokratis dan terbuka, penunjukkan nama-nama Menteri tidak boleh sekadar bagi-bagi jatah kursi jabatan semata. Mestinya ada keterlibatan publik, baik lewat jajak pendapat, uji kelayakan, dan sebagainya, sehingga penunjukkan menteri benar-benar menjadi transparan, akuntabel, dan profesional. Memilih para menteri yang independen dari kepentingan partai, berintegritas, bersih dari catatan pelanggaran/dugaan pelanggaran HAM maupun pelanggaran hukum, menjadi point penting sebagai wujud political will Presiden dalam menjalankan good governance (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik) dalam 5 (lima) tahun kedepan yang menjunjung tinggi supremacy of law (negara hukum).
Oleh karena itu, LBH Jakarta dalam menyikapi Kabinet Indonesia Maju 2019 – 2024 bersikap:
- menyatakan kecewa terhadap penggunaan hak prerogatif Presiden dalam penunjukan setengah isi kabinet kerja Indonesia Maju yang mengabaikan independensi dari partai politik, rekam jejak, integritas, kompetensi, kapasitas, kapabilitas serta profesionalitas individu, dan justru cenderung terlihat sebagai sekadar bagi-bagi jabatan menteri antar partai politik koalisi pemerintah serta kompromi terhadap orang yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM;
- mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk memerintahkan seluruh Menteri di dalam Kabinet Indonesia Maju untuk segera melepaskan jabatan/kedudukannya di Partai Politik, perusahaan atau organisasi/kelembagaan lain yang potensial memunculkan konflik kepentingan, serta berakibat buruk pada mengorbankan kepentingan rakyat pada umumnya;
- meminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan serta menyediakan sistem monitoring-evaluasi berkala yang ketat, akuntabel dan transparan oleh publik terhadap para pembantunya, guna memastikan profesionalitas serta pemenuhan sumpah jabatan yang telah diucapkan oleh para menteri untuk:
“Setia kepada UUD RI tahun 1945, serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti kepada bangsa dan negara. Dalam menjalankan tugas jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab.”
Dan jika didapati ada yang menyimpang atau melakukan pelanggaran sumpah jabatan berdasarkan hasil monitoring-evaluasi dari Presiden atau pengaduan masyarakat, serta ketidakprofesionalan dalam menjalankan kerja dan tugasnya sebagai Pembantu Presiden, untuk ditindak dengan tegas dan dicopot dari jabatannya, dan digantikan dengan orang yang lebih kompeten dengan proses yang juga akuntabel dan transparan;
- mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk mendorong menteri yang diduga sebagai pelanggar HAM –Prabowo Subianto- untuk melanjutkan proses pemeriksaan pro justisia yang dilakukan oleh Komnas HAM sebagai wujud dari pemenuhan sumpah jabatan Menteri untuk menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Dan apabila menteri yang bersangkutan menolak, agar Presiden RI segera mencopot yang bersangkutan dari jabatannya selaku Menteri Pertahanan;
- mendesak Komnas HAM RI untuk melanjutkan pemeriksaan pro justisia terkait dugaan pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dan memanggil yang bersangkutan untuk diperiksa secara hukum;
- mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan proses yang akuntabel dan transparan dalam pemilihan calon Kapolri, dengan mengutamakan pertimbangan mencari individu yang independen dari kepentingan partai politik, berintegritas, profesional, bersih dari catatan pelanggaran/dugaan pelanggaran HAM maupun pelanggaran hukum, serta memiliki komitmen dan visi kuat terkait negara hukum yang demokratis, yang dalam pelaksanaan penegakan hukum berpegang kokoh pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Jakarta, 25 Oktober 2019
Hormat Kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA