Oleh: Yunita*
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Pasal 33 ayat (2) UUD). Termasuk pengelolaan air seyogyanya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.[1] Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, menegaskan bahwa “dikuasai oleh negara” diartikan sebgai penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat atas segala sumber kekayaan –termasuk di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam.[2] Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap sumber-sumber kekayaan alam.[3]
Perlu diketahui, pengelolaan air di Jakarta dilakukan dalam skema kerja sama antara PD PAM Jaya dengan dua operator swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta untuk wilayah timur Jakarta dan PT Palyja untuk wilayah barat Jakarta.[4] Pada mulanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyakini bahwa dengan privatisasi air dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan perbaikan kualitas air. Harapannya, ternyata berbanding terbalik dengan kenyataanya. Dalam penelitian yang dipublikasikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada rentang tahun 1998 hingga 2000, baik pelayanan maupun kualitas air tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Dari kualitas air, pengelolaan air oleh swasta justru cenderung menunjukkan tren negatif. Pada 1998, misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 1,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi 0,17 mg/l. Padahal standar konsentrasi deterjen seharusnya 0,05 mg/l. Bandingkan, ketika sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016mg/l).[5] Sedangkan dari sisi pelayanan, pemenuhan kebutuhan air masih 60 persen,[6] harga air lebih mahal,[7] hingga suplai air yang sering mati.[8]
Bergulir banyaknya persoalan yang muncul pasca privatisasi, isu remunisipalisasi pun muncul. Lantas apa yang menyebabkan remunisipalisasi menjadi penting untuk menjawab persoalan di atas?
Remunisipalisasi merupakan mekanisme pengembalian pengelolaan air kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sebelumnya dikelola oleh swasta.[9] Remunisipalisasi dapat memberikan berbagai keuntungan bagi rakyat maupun pemerintah. Menurut penelitian PSIRU, keuntungan dari remunisipalisasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu tunduk pada pengejaran keuntungan yang menjadi ciri-ciri swasta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan bisa menggunakan Kemitraan publik-publik atau pemerintah-pemerintah (PUP) sebagai alat pengembangan. PUP dapat menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan melakukan privatisasi. PUP adalah hubungan yang dilandasi oleh kesamaan nilai-nilai kebersamaan dan tujuan, dan tidak didasarkan pada kepentingan mencari laba. Kecilnya pertimbangan komersial memungkinkan pendapatan yang diperoleh diinvestasikan kembali guna pengembangan kapasitas lokal, yang bermanfaat bagi keberlanjutan sistem dalam jangka panjang.[10] Remunisipalisasi memberikan lebih banyak kontrol dan pengawasan pada otoritas yang dipilih masyarakat dan perwakilan dari pengguna air, yang mendorong peningkatan kualitas air dan tarif yang lebih rendah.
Pengembalian pengelolaan air melalui remunisipalisasi menjadi jalan yang harus ditempuh. Namun berdasarkan perjanjian kerja sama antara PT PAM Jaya dengan PT Aetra Air Jakarta (PT Aetra) akan habis pada tahun 2023 mendatang.[11] Begitu pun kontrak kerja sama dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT Palyja) akan habis pada Januari 2023.[12] Pertanyaannya apakah ada kebijakan yang bisa ditempuh Pemerintah untuk melakukan remunisipalisasi?
Terdapat 3 (tiga) cara yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya untuk melakukan remunisipalisasi, di antaranya:
- Menunggu kontrak selesai
Kontrak antara PAM Jaya dengan PT. Aetra dan PT. Palyja selesai pada tahun 2023. Namun, opsi ini dinilai tidak tepat untuk diterapkan karena cakupan pelayanan air bersih yang masih jauh dari target yang ditetapkan dalam perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dengan PT. Aetra dan PT. Palyja yang mana selama 19 tahun ini cakupan pelayanan air bersih yang dikelolanya hanya bertambah 14,9% dari target Pemprov DKI yang mencapai 82%. Hal ini membuktikan bahwa, kinerja PT Aetra dan PT Palyja dalam mengelola air bersih di Jakarta masih belum maksimal, dan di bawah ekspektasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.[13] Mengingat target yang tidak tercapai tersebut dikaitkan dengan hak atas air bagi warga negara, maka opsi menunggu hingga kontrak selesai tahun 2023 akan mencederai hak konstitusional warga negara. Jika warga harus menunggu hingga 2023, maka mereka masih harus menunggu beberapa tahun lagi untuk kemudian mendapatkan hak konstitusionalnya berupa hak atas air tersebut.
- Pengambilalihan melalui Mekanisme Perdata
Opsi kedua ini merupakan opsi yang diambil oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta. Dalam melaksanakan opsi ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membeli saham PT Aetra dan PT Palyja. Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membeli saham PT Aetra dan PT Palyja ini sudah final, dan telah dikaji selama 6 bulan. Pada tahun 2019, sebagai langkah awal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan negosiasi dengan PT Aetra dan PT Palyja, yang hingga saat ini masih dalam tahap pembahasan perjanjian induk (head of agreement). Tujuan dibentuknya perjanjian induk adalah untuk menentukan kesepakatan awal antara PAM Jaya dengan PT Aetra dan PT Palyja sebelum diteruskan dengan revisi kerja sama yang lebih jelas kedepannya. Opsi ini juga akan memakan waktu yang cukup lama. Pendapat tersebut didasari dengan kurang kooperatifnya pihak swasta, tepatnya PT. Palyja dalam menanggapi upaya persetujuan perjanjian induk. 1 (satu) tahun berlalu, hingga saat ini masih belum ada langkah konkret yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya untuk melaksanakan remunisipalisasi melalui Pemutusan Kontrak.
- Pemutusan Kontrak Kerja Sama
Pada umumnya, melihat praktik remunisipalisasi di negara lain, opsi ini merupakan opsi yang paling banyak digunakan. Tercatat sebanyak 92 kasus di berbagai negara menerapkan opsi ini. Salah satu pertimbangan memilih opsi pemutusan kontrak adalah agar pemenuhan hak atas air dapat segera terpenuhi. Meskipun opsi pemutusan kontrak merupakan opsi favorit dalam melaksanakan remunisipalisasi, namun hal ini tidak berlaku bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya. Hal ini dikarenakan PAM Jaya diwajibkan untuk membayar biaya pemutusan kontrak mencapai Rp 2 Triliun.
Jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memahami konsep hak atas air sebagai hak asasi yang terjamin dalam konstitusi, serta melihat kinerja PT. Aetra dan PT. Palyja yang kurang maksimal dalam mengelola air di Jakarta, biaya pemutusan kontrak sebesar Rp 2 Triliun, seharusnya bukan menjadi perkara yang besar bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bahkan, jika mengacu kepada analisis prediksi tim hukum KMMSAJ, jika kontrak dibiarkan hingga selesai maka terdapat kemungkinan shortfall yang harus dibayarkan oleh PAM Jaya kepada PT. Aetra dan PT. Palyja sebesar Rp. 18, 2 Triliun, dengan rincian PT. Aetra Rp. 7,3 Triliun dan PT. Palyja Rp. 10,9 Triliun. Beban shortfall ini jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pemutusan kontrak, dan yang terpenting adalah hak atas air lebih cepat terpenuhi.
Pentingnya Pengelolaan Air Dikelola oleh Pemerintah Daerah
Air sebagai kebutuhan pokok atau dasar warga negara Indonesia haruslah dimiliki dengan konsep pengelolaan, pengaturan, dan penguasaan oleh Negara tanpa syarat. Dalam konteks negara ikut campur dalam kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan ekonomi yang dipimpin oleh pemerintah pusat adalah salah satu bentuk konsepsi negara hukum di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 termasuk di dalamnya usaha penyediaan air.
Dengan diperbolehkannya badan usaha swasta, maka ketergantungan negara pada pihak ketiga yang belum jelas keberpihakannya kepada kepentingan rakyat namun sudah dapat dipastikan kepentingannya lebih pada orientasi keuntungan, maka perusahaan penyelenggara kepentingan umum dalam hal ini air bagi warga negara akan terdesak untuk terus menaikkan harga.
Dengan mengembalikan pengelolaan air kepada pemerintah daerah maka: 1) Pemerintah memenuhi kewajibannya untuk menyediakan kebutuhan pokok bagi warganya. Dimana dalam hal ini air harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat; 2) Pemerintah dapat melakukan kontrol langsung terhadap, penyediaan akses, kualitas, dan harga air, dengan tidak memiliki orientasi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sebagaimana konsep yang dimiliki oleh pihak swasta. 3) Dengan demikian warga dapat memperoleh haknya, yaitu mendapatkan air dengan akses yang lebih luas, kualitas yang lebih baik, serta harga yang lebih murah terjangkau.
Akibat Remunisipalisasi Bagi Buruh Sektor Air
Remunisipalisasi merupakan pengembalian aset swasta sepenuhnya ke tangan publik atau dalam hal ini pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah. Remunisipalisasi ini tentu memberikan dampak bagi para buruh yang bekerja pada sektor air, khususnya buruh pada PT. Aetra dan PT. Palyja.
Apabila kepengelolaan perusahaan dikembalikan ke negara, dalam hal ini kepada PAM Jaya maka terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Dalam proses tersebut wajib memperhatikan kepentingan buruh. Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah berdasarkan Pasal 61 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Ini berarti tidak ada perubahan status pekerja bagi buruh dan pengusaha sama sekali tidak boleh mengurangi hak-hak buruh atau pun mengubah syarat, hak dan kewajiban yang telah dituangkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) ketika terjadi PHK, perusahaan tetap wajib membayarkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Pada Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021, ketentuan pesangon sebagai berikut:
- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
- masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
- masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
- masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
- masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
- masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
- masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
- masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021, Pengusaha juga tidak boleh lupa akan uang penghargaan masa kerja. Pemberiannya dengan ketentuan sebagai berikut:
- Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
- masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
- masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
- masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
- masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
- masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
- masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
- masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (4), uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/Buruh diterima bekerja; dan
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagaimana dengan ketentuan Pesangon untuk buruh yang di PHK karena Perusahaan melakukan pengambilalihan atau penggabungan, peleburan atau pemisahan perusahaan?
Dalam hal pengambilalihan, penggabungan, peleburan, atau pemisahan perusahaan, terdapat 3 kemungkinan dan buruh berhak atas pesangon apabila ia di PHK dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pertama, pekerja tetap bekerja. Apabila ternyata buruh tidak mengajukan penolakan, maka hubungan kerja antara buruh dan pengusaha tetap terikat hubungan kerja.
- Kedua, dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, atau pemisahan perusahaan dapat melakukan PHK apabila buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha yang tidak bersedia menerima buruh tersebut di perusahaannya.
Pasal 41 |
Buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4). |
- Ketiga, dalam hal pengambilalihan perusahaan, PHK dapat dilakukan oleh pengusaha dengan 2 ketentuan, pengusaha melakukan PHK karena proses tersebut atau apabila terjadi perubahan syarat kerja dan buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja.
-
- PHK terhadap buruh
Pasal 42 ayat (1) PP 35/2021 |
Buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4). |
-
- PHK karena perubahan syarat kerja
Pasal 42 ayat (2) PP 35/2021 |
a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4). |
Penurunan nilai besaran pesangon terjadi ketika pengusaha melakukan PHK saat pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Apabila dibandingkan dengan ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pada Pasal 163 ayat (1), pengusaha harus membayar pesangon tersebut sebesar dua kali lipat untuk alasan yang sama.
PP 35/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja saat ini masih menjadi perdebatan. Penerapan kedua peraturan tersebut masih dirasa banyak merugikan pihak buruh. Terlebih dalam hal ini bagi buruh sektor air.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan perusahaan baru yaitu pastikan pengusaha memberikan jaminan hak-hak yang diterima selama ini diterima oleh buruh tidak berkurang bahkan lebih baik, pengakuan masa kerja di perusahaan sebelumnya, perubahan syarat kerja yang tidak merugikan buruh, tidak dilakukan rotasi atau re-posisi, tidak melakukan efisiensi dengan alasan kelebihan jumlah pekerja dan organisasi yang terlalu besar.
Apabila terjadi perubahan kepemilikan PT. Aetra dan PT. Palyja, perusahaan baru tersebut harus memberikan jaminan hak-hak buruh dengan mengurangi dan menjamin tidak ada PHK. Untuk hal tersebut, tuntutan buruh untuk tidak melanjutkan hubungan kerja dapat ditolak. Jaminan hak-hak buruh dapat dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama. Apabila perusahaan baru telah memberikan jaminan dan buruh tetap menuntut kompensasi akibat perubahan kepemilikan maka tuntutan buruh dianggap sebagai pengunduran diri. Dalam menerapkan alas hak untuk tidak melanjutkan hubungan kerja, pengusaha dan buruh harus dilakukan berdasarkan kesepakatan, sehingga apabila tidak tercapai kesepakatan, hal itu menjadi perselisihan hubungan industrial mengenai PHK.
Kewenangan PHK diubah di Pasal 81 angka 37 UU Ciptaker yaitu dalam hal perundingan bipartit (pengusaha dan buruh) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan ini sebelumnya tercantum dalam Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penghapusan kewenangan PHK dalam UU Ciptaker, yang pada ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang merupakan ranah dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila keputusan PHK tidak mencapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Dalam Pasal 81 angka 39 UU Ciptaker, perusahaan tak perlu mengajukan permohonan penetapan pemutusan PHK secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal ini berbeda dengan yang tercantum dalam Pasal 152 UU Ketenagakerjaan bahwa permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. Hal tersebut jelas merugikan buruh dan patut untuk menjadi perhatian.
*Penulis adalah Konsultan pada Public Services International
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.
[1] Lihat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
[2] Dr. Elisabeth Sundari, Basuki Reksi Wibowo, dkk, “Eksaminasi Publik atas Putusan Privatisasi Air Jakarta”, 4 Desember 2020. https://www.bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Putusan-Eksaminasi_FINAL.pdf
[3] Id.
[4] CNBC Indonesia, “Siapa Aetra-Palyja, Pengelola Air Jakarta yang Didepak Anies?”, 11 Februari 2019, https://www.cnbcindonesia.com/news/20190211143532-4-54823/siapa-aetra-palyja-pengelola-air-jakarta-yang-didepak-anies
[5] Tirto.id, “Menggugat Privatisasi Air di Indonesia”, 29 Maret 2016, https://tirto.id/menggugat-privatisasi-air-di-indonesia-v9n
[6] CNN Indonesia, “Pemenuhan Kebutuhan Air Jakarta dari PAM Jaya Masih 60 Persen”, 14 Maret 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180313182408-20-282702/pemenuhan-kebutuhan-air-jakarta-dari-pam-jaya-masih-60-persen
[7] CNN Indonesia, “Tarif Air di Jakarta Lebih Murah Jika Dikelola Pemprov DKI”, 13 Oktober 2017, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171012203010-20-248074/tarif-air-di-jakarta-lebih-murah-jika-dikelola-pemprov-dki
[8] Tempo, “Air Sering Tak Mengalir, Ini Alasan Palyja”, 12 Oktober 2014, https://metro.tempo.co/read/613688/air-sering-tak-mengalir-inialasan-palyja
[9] Universitas Gajah Mada, “Gerakan Mengembalikan Air Sebagai Barang Publik”, 12 Maret 2018, https://ugm.ac.id/id/berita/15842-gerakan-mengembalikan-air-sebagai-barang-publik#:~:text=Remunicipalisation%20atau%20remunisipalisasi%20merupakan%20gerakan,dan%20demokratis%2C%E2%80%9D%20terang%20Marwa.
[10] Tirto.id, “Menggugat Privatisasi Air di Indonesia”, 29 Maret 2016, https://tirto.id/menggugat-privatisasi-air-di-indonesia-v9n .
[11] Jakarta Bisnis, “Kontrak Habis Pada 2023, Karyawan Aetra Akan Dikendalikan PAM Jaya”, 26 Oktober 2017, https://jakarta.bisnis.com/read/20171026/77/703394/kontrak-habis-pada-2023-karyawan-aetra-akan-dikendalikan-pam-jaya
[12] Koran Tempo, “DKI Dinilai Tak Serius Ambil Alih Pengelolaan Air Bersih”, 30 September 2020, https://koran.tempo.co/read/metro/458366/dki-dinilai-tak-serius-ambil-alih-pengelolaan-air-bersih
[13] Mohammad Robi Rismansyah, Nyulistiowati Suryanti, Dan Nadia Astriani, ‘Remunisipalisasi Pengelolaan Air Bersih Oleh Pemerintah Provinsi Dki Jakarta Sebagai Upaya Perlindungan Keuangan Daerah Dan Pemenuhan Hak Atas Air Bagi Warga Jakarta’, Majalah Hukum Nasional, Volume 50 Nomor 1 Tahun 2020, H. 145