Jakarta, bantuanhukum.or.id-Mahdalena yang dituduh melakukan penganiayaan divonis 3 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada hari kamis (3/9/2015) yang sebelumnya sempat dijadwalkan oleh majelis hakim pada hari senin tanggal 31 agustus 2015 namun ditunda, Mahdalena langsung mengajukan banding seusai putusan Mejelis Hakim dibacakan dimuka persidangan. Selanjutnya pada hari selasa (8/9/2015), Tim Penasehat Hukum (LBH Jakarta) mengajukan permintaan banding di depan panitera/sekertaris pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan Akta Permintaan Banding Nomor : 38/Akta.Pid/2015/PN.JKT.TIM.
Mahdalena yang didakwa dengan pasal 351 ayat 1 atas penganiayaan terhadap Rawiyan yang menderita luka berdasarkan visum et repertum (VeR) di akibatkan oleh senjata tajam atau pembacokan. Berdasarkan keterangan dr. Vini Ratnasari selaku dokter yang melakukan visum, pembacokan terjadi paling lama 15 menit sebelum dilakukan visum yaitu sekitar Pukul 14.00 WIB.
“Pada saat dilakukan visum, luka korban masih mengalami pendarahan aktif dan pendarahan aktif berlangsung paling lama 15 menit setelah adanya luka” ungkap dr.Vini Ratnasari di muka persidangan. Sementara berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan keterangan para saksi persidangan bahwa kejadian pertengkaran antara Mahdalena dan Rawiyan sekitar Pukul 10.00 WIB (tempus delicti).
Dalam fakta persidangan, saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum menerangkan bahwa Mahdalena tidaklah melakukan pembacokan terhadap Rawiyan dan baju yang yang dijadikan barang bukti bukanlah baju yang digunakan Rawiyan pada saat diduga terjadinya pembacokan tersebut. Tak hanya itu, dr. Ferryal Basbeth seorang ahli forensik yang dihadirkan di persidangan, menjelaskan bahwa visum et repertum (VeR) dalam perkara tersebut tidaklah memenuhi standar dalam pembuatan visum atau substandard, dan tidak mendeskripsikan luka yang sebenarnya.
“Hal tersebut dapat menyebabkan orang yang tidak bersalah dapat dihukum bersalah” tegasnya.
Barang bukti maupun saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan tidak dapat menjelaskan bahwa luka yang diderita Rawiyan disebabkan oleh Mahdalen, dalam hal ini prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diamanatkan dalam KUHAP tidak terpenuhi. Namun majelis hakim yang diketuai oleh Dwi Purwadi, S.H.,M.H. berpandangan lain bahwa Mahdalena dinyatakan bersalah dan harus bertanggungjawab dengan dijatuhi pidana penjara selama 3 bulan.
Pertengakaran Mahdalena dengan Rawiyan dikarenakan adanya tindakan rawiyan bersama anak buahnya yang berusaha melakukan pemagaran terhadap tanah warga Bambu Apus. Rawiyan yang mengatasnamakan pihak Yayasan Harapan Kita sebagai pemiliki tanah tersebut namun tidak sanggup menunjukkan surat kepemilikan tanah ataupun surat tugas dari Yayasan Harapan Kita. Selain itu Bahkan rawiyan selama ini telah banyak meresahkan warga Bambu Apus dengan membuat tampat “hiburan malam” yang disebutnya sebagai sanggar seni namun diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sangat menggangu masyarakat bahkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum.
Keadilan yang diharapkan oleh warga Bambu Apus ternyata hanya masih sebatas angan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur masih berpandangan bahwa masyarakat kecil seperti Mahdalena ketika berhadapan dengan penguasa tetap bersalah meskipun yang diperjuangkan adalah hak-hak asasi mereka sendiri yang seharusnya pemerintah ikut menjamin terpenuhinya hak-hak asasi setiap individu tanpa terkecuali. (Ica)