Pers Rilis Nomor : 850/SK-RILIS/VIII/2018
Andro dan Nurdin, Pengamen Korban Salah Tangkap Polda Metro Jaya Ajukan Sengketa Non Litigasi Keterlambatan Pembayaran Ganti Kerugian oleh Menteri Keuangan di Kemenkumham
Andro dan Nurdin didampingi LBH Jakarta mengajukan permohonan sengketa non-litigasi peraturan perundang-undangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Permohonan tersebut diajukan lantaran putusan praperadilan ganti kerugian yang telah dimenangkan Andro dan Nurdin pada tanggal 9 Agustus 2016 mengamanatkan Menteri Keuangan untuk membayar senilai 72 juta kepada Andro dan Nurdin tak kunjung dilaksanakan. Menteri Keuangan berasalasan belum membuat Peratruan Menteri Keuangan sebagai dasar pelaksanaan.
Desember 2017, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengesahkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Melalui Jalur Nonlitigasi. Permenkumham tersebut memberi kewenangan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM untuk memeriksa peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis, saling bertentangan dan merugikan masyarakat. Dengan dasar, Permenkumham tersebut LBH Jakarta mengajukan permohonan sengketa non-litigasi tidak diterbitkan Permenkeu tentang tata cara pembayaran ganti rugi korban salah tangkap.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara yang merupakan kuasa hukum Andro dan Nurdin menyatakan ia berharap kepada Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden agar Menkeu segera menuntaskan persoalan pembayaran ganti rugi kepada Andro dan Nurdin dengan segera membuat Permenkeu tersebut karena sudah berlarut-larut. “Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015 mengatur ganti rugi harus dibayarkan kepada korban salah tangkap 14 hari sejak putusan praperadilan dimenangkan. Pada kasus klien kami, Andro dan Nurdin hingga saat ini sudah 2 tahun, uang senilai 72 juta yang menjadi hak korban tersebut masih belum dibayarkan” terangnya di Gedung Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Jakarta (6/8).
Ayu juga menyatakan bahwa alasan Menkeu belum ada peraturan itu tidak masuk akal karena PP 92 Tahun 2015 memberikan batas waktu pembuatan aturan turunannya. “PP 92 Tahun 2015 disahkan bulan Desember mengamanatkan Menkeu untuk membuat Permenkeu tersebut paling lambat 6 bulan. Harusnya bulan Juni 2016 sudah ada Permenkeunya. Sekarang kami mengajukan sengketa ini sebagai upaya terakhir agar Menkeu memenuhi kewajibannya” tandasnya.
Arif Maulana, Kepala Bidang Fair Trial LBH Jakarta menerangkan ganti kerugian kepada korban salah tangkap harus segera dibayarkan. Ia beralasan ganti rugi tersebut adalah hak asasi korban sebagai bentuk perlindungan dari negara. “Pasal 14 Ayat 6 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik menjamin bahwa apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum” terangnya.
Andro dan Nurdin adalah pengamen yang menjadi korban salah tangkap pada tahun 2013, mereka dituduh membunuh pengamen lain di kolong jembatan Cipulir. Pengamen malang ini kemudian disiksa dengan disetrum dan dipukuli oleh polisi dari Polda Metro Jaya hingga mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Terbukti tidak bersalah di pengadilan, Andro dan Nurdin kemudian dan menuntut ganti rugi atas salah tangkap yang menimpanya. Menkeu (negara) dihukum membayar 72 juta di tahun 2016, hingga sekarang ganti rugi tersebut belum dibayarkan.
Jakarta, 06 Agustus 2018
LBH Jakarta