Hakim Ketua Letkol CHK Kowad Nanik membacakan amar putusan pada persidangan, Selasa (23/8), di Pengadilan Militer Bandung, Jl. Soekarno Hatta No. 745. Majelis hakim menghukum Koptu Mar Saheri pidana penjara selama 8 bulan atas tindak penganiayaan yang ia lakukan kepada HA (14) dan SKA (13), anak yang menjadi korban. Oditur militer selanjutnya menyatakan menerima putusan, sementara terdakwa melalui penasehat hukumnya menyatakan pikir-pikir.
Dalam persidangan terungkap bahwa HA dan SKA telah menjadi korban penganiayaan dan pengeroyokan pada Desember tahun 2015. Mereka dituduh maling oleh Koptu Mar Saheri saat sedang melintasi rumah Koptu Mar Saheri di Komplek Graha Kartika Pratama, Cibinong. Koptu Mar Saheri kemudian meneriaki HA dan SK sebagai maling, teriakan tersebut yang kemudian memicu sejumlah warga mengejar motor yang ditumpangi HA dan SKA. Tanpa basa-basi, Koptu Mar Saheri dan sejumlah warga memukuli HA dan SKA. Tubuh SKA ditelanjangi juga dicambuk oleh Koptu Mar Saheri. Sejumlah warga pun berniat membakar tubuh mereka berdua. Kejadian tersebut disaksikan oleh banyak warga setempat, termasuk orang tua SKA, Wintarsih dan Inang.
Atas kejadian yang dialami anaknya, orang tua korban melaporkan peristiwa tersebut kepada Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL) dan Polres Depok. Pemeriksaan BAP pada kedua perkara sudah selesai sejak awal tahun 2016, namun persidangan baru digelar pada awal Agustus tahun 2016. Sementara perkara ini di Polres Depok tidak jelas tindak lanjutnya.
Di muka persidangan, terdakwa mengakui seluruh perbuatannya sesuai dengan cerita HA, SKA, dan para saksi. Tuntutan yang dibacakan pada tanggal 16 Agustus 2016 lalu pun menuangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa. Oleh majelis hakim terdakwa diputus melanggar Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI yang hanya melekat pada aparat negara, TNI.
Anehnya, tuntutan yang dibacakan Oditur pada tanggal 16 Agustus 2016 lalu malah memutarbalikkan fakta dan cenderung berpihak pada keterangan terdakwa. Bahkan, Oditur hanya memberikan tuntutan selama 5 bulan penjara, lebih rendah dari putusan hakim yang memutus perkara dengan hukuman 8 bulan bagi pelaku.
Namun demikian, oleh pendamping HA dan SKA putusan ini dinilai masih menciderai rasa keadilan korban, hukuman bagi pelaku masih dianggap terlalu ringan. Kekecewaan karena putusan tersebut tampak pada wajah HA. Dia hanya bisa menangis dan mengeluh kepada kuasa hukumnya.
“HA masih menganggap putusan tersebut tidak adil, karena kejadian tersebut menyisakan trauma pada HA, kepala HA masih sering pusing jika mengingat kejadian tersebut,” cerita Bunga Siagian dari LBH Jakarta yang menjadi kuasa hukum HA dan SKA.
Sementara HA hanya bisa lirih menyampaikan harapannya yang tidak tercapai.
“Nama saya tercemar karena dikira maling, kenapa dia enggak dihukum berat,” kata HA.
Sementara orang tua HA dan SKA pun mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap putusan tersebut. Menurut mereka putusan tersebut tidak seimbang dengan apa yang telah dilakukan oleh Koptu Mar Saheri kepada anak mereka.
“Di aturannya, hukuman maksimal kan 3 tahun 6 bulan semestinya hakim memberikan hukuman setimpal dengan perbuatannya, korban masih anak di bawah umur dan pelakunya aparat, seharusnya tanggung jawab dan kewajibannya lebih besar dari masyarakat biasa,” ujar Harjoni Tutut, ayah HA seusai persidangan.
“Anak saya nyaris dibakar warga karena dipicu oleh tindakan terdakwa. Kalau saya tidak datang, mungkin anak saya sudah jadi arang. Perbuatan keji macam itu ternyata hanya mendapat hukuman yang ringan,” ucap Wintarsih ibu SKA yang tak mampu menutupi kekecewaannya.
Kuasa hukum para HA dan SKA dari LBH Jakarta dan LBH Bandung mengungkapkan bahwa di peradilan militer, putusan yang dibuat melebihi tuntutan Oditur seperti ini masih jarang terjadi. Menurut catatan kuasa hukum HA dan SKA, setidaknya 3⁄4dari 40 putusan pengadilan militer untuk kasus penganiayaan pada 2 tahun terakhir memberikan hukuman yang tidak lebih dari 4 bulan kepada para pelaku. Bahkan, pada kondisi yang menyebabkan kematian pada korban, pelaku hanya dikenakan pidana 7 bulan.
“Kami mengapresiasi keputusan majelis hakim, namun kami juga menyayangkan keputusan tersebut yang tidak merangkul kepentingan korban. Pada amar putusan tidak ada perintah untuk memulihkan korban padahal hakim pernah berucap tentang dampak trauma mendalam yang terjadi pada korban,” kata Bunga Siagian.
Lebih lanjut, kuasa hukum HA dan SKA pun mengungkapkan bahwa proses peradilan militer di Indonesia masih belum dapat dikatakan independen. Hal ini ditengarai oleh banyaknya peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer dan korbanya adalah masyarakat sipil masih diadili oleh pengadilan militer.
“Harus ada reformasi. Undang-undang sudah memungkinkan untuk menyeret pelaku tindak pidana diadili di peradilan umum. Masalahnya belum ada niatan dari para pemangku kebijakan untuk mengatur teknis sistem tersebut. Padahal tujuannya semata-mata memenuhi rasa keadilan masyarakat,” tutup Riefqi Zulfikar dari LBH Bandung.