Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai penegakan hukum pidana di bidang perburuhan timpang dan berat sebelah. Menurut mereka, kepolisian lebih giat memidanakan buruh dibandingkan membantu para pekerja meraih hak yang diabaikan perusahaan.
Eny Rofiatul, pengacara publik LBH Jakarta, mengatakan penegak hukum seharusnya bersikap adil: menghukum pengusaha nakal dan tidak mencari-cari kesalahan buruh. Dalam catatan Eny, laporan buruh soal tindak pidana yang disangkakan kepada perusahaan kerap terhenti di tingkat penyidikan.
“Alasannya macam-macam, seperti bukti yang kurang, hingga alasan birokrasi,” ucapnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (18/5).
Adapun, Eny menuturkan, tidak sedikit laporan buruh ke kepolisian yang malah berbalik memidanakan sang pelapor. Eny menyebutnya dengan istilah tukar guling kasus. Artinya kepolisian mencari kesalahan buruh sehingga dapat dijadikan daya tawar untuk menghentikan kasus yang menjerat pengusaha.
Eny mencotohkan perkara yang menimpa pekerja perempuan di PT Panarub Dwi Karya Benoa, Omih Binti Sanan, tahun 2012 silam. Dipecat dan tidak mendapatkan jatah cuti serta upah selama dua bulan, Omih lantas mengikuti aksi demonstrasi di pabrik tempatnya bekerja.
Bukannya mendapatkan haknya, pekerja paruh waktu di perusahaan pembuat sepatu merek Adidas dan Mizuno itu malah dijadikan tersangka oleh Polres Metro Tangerang.
Ia mendekam selama enam hari di Lapas Tangerang dengan alasan menyebarkan teror melalui pesan singkat. Omih disangka melanggar Pasal 336 KUHP dan Pasal 45 ayat 1 juncto pasal 27 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kisah Omih, menurut Eny merupakan bentuk nyata kriminalisasi kepolisian terhadap buruh. Ia berkata, hal itu diperburuk dengan persepsi polisi tentang gerakan buruh.
“Kasus buruh kerap masuk ke desk keamanan negara sehingga pendekatannya represif. Polisi memandang gerakan buruh sebagai gerakan politik yang mengancam negara,” ucap Eny.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, tidak menampik adanya dugaan sindikasi antara kepolisian dan pengusaha. Meskipun belum terbukti, menurutnya masyarakat mafhum jika kepolisian menjadikan pengusaha sebagai mesin anjungan tunai mandiri.
Dadang menuturkan, tudingan terhadap kepolisian tidak dapat dihindarkan, apalagi berdasarkan Global Corruption Barometer tahun 2013, Polri merupakan salah satu lembaga negara yang paling terdampak korupsi.
Berkaca pada pembentukan unit perdagangan orang, ITE, kekerasan dalam rumah tangga serta unit perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, LBH pun mendesak Polri membentuk unit khusus perburuhan.
Unit tersebut, nantinya dapat mendorong perubahan perspektif polisi terhadap buruh sekaligus melancarkan kasus-kasus pidana perburuhan yang selama ini mandek.
“Kalau kasus buruh tetap berada di ruang privat, pengusaha tidak mendapatkan efek jera,” ucap Eny.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Arsul Sani menuturkan, pembentukan unit khusus perburuhan belum mendesak. Ia berkata, kepolisian, buruh dan pengusaha harus terlebih dulu menyamakan persepsi soal pidana perburuhan.
“Saya kira intinya bukanlah pada perlu-tidaknya unit khusus perburuhan. Tapi lebih penting untuk memastikan lebih serius dan memberikan perhatian dalam menangani persoalan perburuhan,” ucapnya dalam pesan singkat kepada CNN Indonesia, Senin petang. (cnnindonesia.com)