Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengutuk tindakan Polres Metro Jakarta Selatan yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, dan penghalang-halangan akses bantuan hukum terhadap 2 (dua) Pemberi Bantuan Hukum Warga Pancoran Buntu II yang terancam digusur paksa oleh PT. Pertamina Training & Consulting (PTC). Tindakan tersebut adalah bagian dari intimidasi dan bagian dari rangkaian kriminalisasi terhadap warga Pancoran yang tengah memperjuangkan hak atas tempat tinggal yang layak.
Safaraldy D Widodo dan Dzuhrian Ananda Putra adalah Pemberi Bantuan Hukum Warga Pancoran Gang Buntu II. Sebagaimana diketahui bahwa warga Pancoran tersebut tengah mendapatkan ancaman penggusuran paksa dan tindakan kekerasan dalam konflik pertanahan dengan PTC. Pada Selasa, 23 Maret 2021, sekitar 31 orang warga Pancoran Gang Buntu II mendapatkan panggilan yang dilayangkan Polres Metro Jakarta Selatan atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan atas pengaduan PTC. Panggilan tersebut tidak sah secara hukum karena prosedurnya tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP.
Pada Rabu, 24 Maret 2021, atas permintaan warga, keduanya mengantarkan surat jawaban atas panggilan yang tidak sah terhadap 9 (sembilan) orang warga Warga Pancoran Gang Buntu II kepada penyidik di Unit-II Harta-Benda (Harda) Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Keduanya mendatangi Polres Metro Jakarta Selatan pada pukul 16.00 WIB dan langsung memberikan surat tersebut kepada penyidik yang menangani. Penyidik kemudian tidak terima atas surat penolakan yang diberikan dan kedudukan kedua pemberi bantuan hukum tersebut. Tanpa ada surat penangkapan maupun panggilan, penyidik kemudian melakukan pemeriksaan terhadap keduanya dengan status sebagai saksi tindak pidana selama 8 (delapan) jam atas Pasal 167 dan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan disertai berbagai intimidasi.
LBH Jakarta yang mulai mengetahui ihwal penangkapan tersebut pada 20.00 WIB kemudian mengirimkan tim hukum ke Polres Metro Jakarta Selatan untuk melakukan pendampingan hukum terhadap keduanya. Sekitar pukul 22.00 WIB, tim hukum mendapati keduanya tengah diperiksa oleh penyidik pada Unit-II Harta-Benda (Harda) Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Namun penyidik meminta tim hukum yang datang untuk keluar dan melarang tim hukum melakukan pendampingan pada proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keduanya. Penyidik juga melarang keduanya untuk menandatangani surat kuasa kepada tim hukum dan tidak mengakui kuasa lisan yang disampaikan keduanya kepada tim hukum. Keduanya baru dapat ditemui dan dilepaskan setelah pemeriksaan berakhir pada pukul 00.49 WIB, Kamis, 25 Maret 2021.
Berdasarkan fakta tersebut, LBH Jakarta menilai penyidik Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) berupa penangkapan dan penyitaan secara sewenang-wenang yang melanggar HAM dan konstitusi. Tindakan pemberi bantuan hukum mengantarkan surat penolakan warga kepada penyidik jelas bukan merupakan tindak pidana dan bahkan dilindungi dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Para Pemberi Bantuan Hukum dirampas kemerdekaannya tanpa adanya surat penangkapan dan diperiksa sebagai saksi tanpa didahului surat panggilan yang sah yang mana hal tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Polres Metro Jakarta Selatan juga telah melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan penghalang-halangan akses pendampingan hukum terhadap kedua PBH yang berstatus sebagai saksi. Hak tersebut dijamin dalam KUHAP, UU 18 Tahun 2003, UU Bantuan Hukum, UU HAM, United Nations Basic Principles on the Role of Lawyers, dan United Nations Principles and Guidelines on Access to Legal Aid in Criminal Justice Systems. Aparat kepolisian juga seharusnya taat pada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Perkap itu disebutkan bahwa “Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka, atau terperiksa, petugas dilarang menghalang-halangi Penasihat Hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi/ tersangka yang diperiksa“.
Atas dasar itu, LBH Jakarta mendesak:
- Kapolri memerintahkan anak buahnya Kapolda Metro Jaya; Polres Metro Jakarta Selatan; dan Polsek Pancoran untuk menghentikan segala bentuk penangkapan sewenang-wenang dan upaya kriminalisasi terhadap warga dan pendamping warga Pancoran Gang Buntu II yang tengah memperjuangkan adanya jaminan hak atas tempat tinggal yang layak;
- Kapolri melakukan evaluasi dan pemberian sanksi kepada para penyidik Unit-II Harda Satreskrim Polres Metro Jaksel yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of power) dengan penangkapan sewenang-wenang; penyitaan sewenang-wenang dan juga penghalang-halangan akses bantuan hukum;
- PT Pertamina Training & Consulting untuk menghentikan segala upaya penggusuran paksa sewenang-wenang dengan upaya kriminalisasi maupun pengerahan massa dan pendekatan kekerasan dengan dalih apapun yang jelas-jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia;
- Gubernur Provinsi DKI Jakarta cqWalikota Jakarta Selatan untuk menjalankan tanggung jawab hukumnya melindungi hak atas tempat tinggal warga Pancoran Buntu II dari ancaman penggusuran paksa dengan memastikan tidak ada upaya penggusuran paksa apapun sebelum adanya prosedur yang layak secara hukum;
- Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman RI dan Lembaga terkait untuk segera turun tangan mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini serta mengusut tuntas pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia yang terjadi, mulai dari peristiwa penggusuran paksa sewenang-wenang hingga berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga;
Jakarta, 25 Maret 2021
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta