Siaran Pers
Pada hari selasa (28/04) LBH Jakarta meluncurkan Kertas Posisi terkait penanganan wabah pandemi virus COVID-19 dan penerapan PSBB di Jabodetabek yang mana kebijakannya harus memperhatikan hak asasi manusia dan pemenuhan hak warga. Kertas Posisi ini diluncurkan sebagai bagian dari respon dan rekomendasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pejabat Kementerian, hingga aparat penegak hukum terkait permasalahan wabah pandemi virus COVID-19.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam kertas posisi ini adalah tidak adanya keseriusan Pemerintah dalam menjalankan mandat Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dimana Pemerintah nampaknya enggan menerapkan kebijakan kekarantinaan secara keseluruhan. Pemerintah hanya menerapkan PSBB yang notabenenya hanya ingin membatasi aktivitas-kegiatan warga, namun tidak ingin benar-benar bertanggung jawab memenuhi hak dasar warga selama aktivitasnya dibatasi.
Kertas posisi ini juga menyoroti kebijakan PSBB di level Kementerian Kesehatan RI hingga di level pemerintahan daerah, dimana PSBB yang diterapkan melampaui dan mencampuradukkan wewenang PSBB yang ada di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 (PP PSBB). Hal ini bisa dilihat dari kebijakan PSBB yang justru turut membatasi mobilitas dan transportasi warga (bahkan hingga persoalan larangan mudik) yang notabenenya kebijakan pembatasan mobilitas tidak tepat diterapkan dalam skema PSBB, melainkan dalam skema Karantina (Karantina Rumah, atau Karantina Rumah Sakit, atau pun Karantina Wilayah).
Dampak penerapan PSBB yang tidak diseimbangi oleh kewajiban Pemerintah dalam memenuhi hak-hak kebutuhan dasar warganya secara konsekuen adalah PHK massal terjadi dimana-mana, krisis ketahanan ekonomi warga, warga terancam tidak punya tempat tinggal karena tidak mampu membayar uang sewa tempat tinggal, ancaman kriminalisasi berlebihan oleh aparat dengan dalih penegakan hukum PSBB, maraknya korban teror intimidasi penagih dari jasa pinjaman online, dll.
Untuk kebijakan penanganan wabah pandemi COVID-19 di level pemerintahan daerah sendiri sejauh ini belum ada kebijakan khusus yang kontekstual dan sesuai kompleksitas Jabodetabek, dimana di Jabodetabek banyak terdapat pemukiman padat penduduk dan kelompok miskin kota, kelompok minoritas rentan, kelas pekerja, dll. Padahal penerapan kebijakan penanganan COVID-19 tidak serta merta hanya berbicara normatif saja, namun perlu strategi khusus kontekstualisasi kebijakan sesuai dengan kompleksitas daerahnya.
Di level lapangan, masih banyak kelompok minoritas dan rentan (seperti kelompok disabilitas, minoritas gender-seksual, lansia, dll.) yang terancam ketahanan hidupnya dan tidak mendapatkan akses pemenuhan kebutuhan dari pemerintah. Selain itu di lapangan juga Pemerintah tidak memberikan solusi jitu terhadap kelas pekerja yang menjadi korban PHK massal. Dalam situasi pembatasan seperti PSBB, kelas pekerja yang menjadi korban PHK massal jelas menjadi salah satu kelas yang rentan juga dalam bertahan hidup.
Selain ancaman terhadap stabilitas hak-hak warga dan hak asasi manusia, kebijakan penanaganan wabah pandemi COVID-19 di Jabodetabek untuk saat ini masih didukung dengan healthcare system yang memadai dan sesuai jumlah idealnya. Namun bila tidak diiringi dengan persiapan perluasan infrastruktur healthcare system, ada prediksi ancaman dimana dalam 2 atau 3 bulan ke depan (jika jumlah warga yang terjangkit COVID-19 terus meningkat) maka healthcare system di Jabodetabek tidak akan cukup menampung dan memberikan layanan kesehatan terhadap warga.
Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah saat ini ‘mengandalkan’ kebijakan bantuan sosial kepada warga sebagai upaya pemenuhan kebutuhan warga. Namun yang perlu disoroti dari kebijakan semacam ini adalah bahwa Pemerintah tidak menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan warga sebagai pemenuhan atas hak warga. Kebijakan bantuan sosial sendiri skemanya adalah kedermawanan (charity), dimana pada kebijakan tersebut tidak ada tanggung jawab kewajiban Pemerintah secara mutlak. Selain itu, kebijakan bantuan sosial sendiri sangat tergantung pada kondisi situasi pos anggaran di masing-masing instansi pemerintah daerah.
Praktik di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan bantuan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah (baik itu Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat lewat Kementerian Sosial) justru mengalami kendala, seperti tidak tepat sasaran pemberian bantuan, warga yang masuk kategori rentan dan prioritas tidak mendapatkan bantuan, dan sebagainya. Salah satu faktor mengapa hal ini bisa terjadi karena ketiadaan sinkronisasi dan pemuktahiran data penduduk.
Kertas Posisi ini menyoroti skema kewajiban pemerintah dalam pemenuhan hak warga semestinya merujuk pada rezim pemenuhan hak warga yang minimal tertera di 3 (tiga) undang-undang: Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan, Undang-undang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-undang Badan Penanggulangan Bencana Nasional. Manuver Pemerintah yang membuat kebijakan bantuan sosial yang notabenenya di luar skema 3 (tiga) undang-undang tersebut justru menunjukkan jika Pemerintah tidak mau ambil tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hak-hak dasar warganya.
Berkaca pada problem dan kondisi di atas, lewat kertas posisi tersebut LBH Jakarta mendesak Pemerintah agar:
- Pemerintah Pusat merampungkan dan mengesahkan Peraturan Pemerintah aturan pelaksana kebijakan Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah untuk memaksimalkan pencegahan penyebaran wabah pandemi virus COVID-19 antar satu ruang/satu wilayah ke ruang/wilayah lainnya;
- Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempercepat kebijakan sinkronisasi data penduduk untuk kemudian mengambil langkah-langkah pemenuhan hak dasar warga negara secara totalitas demi mempertahankan daya tahan ekonomi dan kehidupan warga, misalnya dengan mulai memikirkan dan menerapkan kebijakan Universal Basic Income (UBI) terutama bagi kelompok-kelompok yang rentan;
- Pemerintah melakukan inventarisasi daftar pemenuhan hak-hak dasar warga yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, tidak hanya terbatas pada bantuan sosial berupa sembako semata;
- Pemerintah membatalkan proyek-proyek kontraproduktif di situasi wabah pandemi virus COVID-19 (seperti proyek pemindahan ibu kota, proyek pengadaan impor senjata, proyek program kartu pra-kerja, dan lain sebagainya), yang mana lantas mengalihkan dana alokasi proyek-proyek yang dibatalkan tersebut untuk pengetasan masalah wabah pandemi virus COVID-19 maupun pemenuhan hak-hak dasar warga selama wabah pandemi virus COVID-19;
- Pemerintah mempersiapkan skema ketersediaan dan ketahanan pangan baik di tingkat hulu ranah produksi maupun di tingkat hilir dengan menjamin stabilitas harga kebutuhan pangan agar warga dapat mempertahankan hidupnya secara layak di tengah-tengah kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat wabah pandemi COVID-19;
- Memaksimalkan langkah-langkah penerapan PSBB dengan strategi preventif (pencegahan) dan menghentikan langkah-langkah represif sehubungan persoalan wabah pandemi virus COVID-19 di Indonesia;
- Mempersiapkan penambahan rumah sakit rujukan maupun rumah sakit darurat khusus penanganan wabah pandemi COVID-19 untuk menjaga stabilitas healthcare system di Indonesia maupun Jabodetabek;
- Mengajak lembaga legislatif (DPR-RI) untuk turut terlibat dalam upaya penanganan wabah pandemi COVID-19 dengan melaksanakan fungsi pengawasannya dan menghentikan pembahasan RUU-RUU kontroversial (seperti RUU KUHP, RUU Cipta Kerja, RUU Ibu Kota Negara, dan lain-lain);
- Membuat update informasi evaluasi kebijakan secara berkala secara terbuka kepada publik/warga sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dan transparansi tata kelola pemerintahan dalam konteks penanganan wabah pandemi virus COVID-19;
- Pemerintah terbuka terhadap kritik dan saran dari masyarakat sipil, akademisi, peneliti, maupun organisasi-organisasi masyarakat sipil, agar dapat merekonstruksi kebijakan penanganan wabah pandemi virus COVID-19 secara tepat dan akurat serta berbasis sains;
- Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk membentuk satuan tim-tim khusus untuk mengantisipasi timbulnya dampak turunan akibat wabah pandemi COVID-19, seperti dampak terjadinya peningkatan frekuensi kekerasan dalam rumah tangga, PHK massal terhadap para pekerja, diskriminasi kelompok rentan, dan lain sebagainya.
- Membuka ruang partisipasi aktif warga masyarakat dari berbagai elemen dalam penanganan Covid 19 melalui pendidikan dan penyuluhan atau kegiatan lainnya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan upaya penanggulangan wabah;
Jakarta, 28 April 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA