Setelah sebelumnya di tahun 2008, 2009, dan 2013 pengujian terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diajukan, di tahun 2013 pengujian kembali diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal yang sama yaitu Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, dan Pasal 14 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008.
Pengujian Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden kali ini dimohonkan oleh Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D, M.Si, seorang tokoh yang cukup dikenal masyarakat. Effendi Gazali melalui kuasa hukumnya mengajukan uji materiil terhadap Pasal Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No.42 Tahun 2008. Pemilu serentak adalah sasaran dari diajukannya uji materiil terhadap Pasal-pasal dari UU No. 42 Tahun 2008 tersebut.
Yang dijadikan acuan atau batu uji terhadap pasal-pasal diatas adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Effendi Gazali selaku pemohon, berpendapat bahwa pelaksaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu DPR, DPRD, DPD dan selanjutnya Pemilihan Kepala Daerah yang diamanatkan Konstitusi adalah dilakukan serentak (bersamaan). Rangkuman argumen dan poin-poin penting yang diajukan dalam permohonan uji materiil ini diantaranya adalah:
- Hanya pada sistem pemilu serentak, warga Negara dapat menentukan sistem check & balances (kontrol & pengawasan) yang diyakininya.
Yang dimaksud disini, pemilu serentak memungkinan rakyat memilih anggota legislatif (DPR dan DPRD) yang berasal dari partai yang sama dengan calon Presiden dan Wakil Presiden, atau sebaliknya memilih anggota legislatif dari partai yang berbeda dengan partai yang mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.
- Pemilu serentak akan mendapatkan partisipasi tinggi dari masyarakat.
Pemohon berargumen bahwa warga Negara Indonesia memiliki aktivitas dan kesibukan yang berbeda-beda, sehingga dengan pemilu yang terpisah antara legislatif dan Presiden/Wapres, terdapat selisih yang cukup tinggi antara warga Negara yang menggunakan hak pilih dalam Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden/Wapres. Selain itu, terdapat sejumlah besar warga Negara yang tidak menggunakan hak pilihnya. Effendi Gazali sendiri mengatakan dirinya dirugikan dengan pemilu yang tidak serentak karena dirinya sering berada di luar negeri, dan perjalanan dari kota tempatnya berada ke kota dimana Kedutaan Besar Indonesia berada memakan waktu dan biaya yang besar. Dengan pemilu serentak, hak konstitusional warga Negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, yakni pemilu, akan lebih terjamin. Setiap orang akan mendapat kesempatan yang sama.
- Pemikiran dasar (original intent) dari perubahan Pasal dalam UUD 1945 mengenai Pemilu adalah agar Pemilu diselenggarakan serentak.
Saat pembahasan perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR pada tahun 2001, dalam pembahasan Bab mengenai Pemilu (Pasal 22E) dan juga mengenai Pemilu Presiden (Pasal 6 dan Pasal 6A), pendapat yang menguat adalah agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diadakan serentak dengan Pemilihan DPR, DPRD dan DPD. Alasan yang dikemukakan adalah pertama, pemilu serentak akan menghemat biaya sehingga tidak membebani rakyat. Kedua, dengan pemilu serentak diharapkan presiden yang terpilih berasal dari partai pemenang pemilu, sedangkan dalam memilih anggota DPR dan DPRD rakyat juga mempertimbangkan Presiden dan Wakil Presiden yang diusung. Ketiga, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak dengan pemilu legislatif akan memperkecil resiko dampak sosial dan politik. Dalam risalah sidang, rancangan Pasal 22E, kata “serentak” juga sempat masuk sebagai salah satu asas Pemilu dalam ayat (1), bersama-sama asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun akhirnya kata “serentak” dihapuskan dengan pertimbangan akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
- Pemilu serentak akan menghemat biaya yang sangat besar.
Pemohon berargumen bahwa Undang-undang No. 42 Tahun 2008 selain melanggar Konstitusi juga telah memboroskan uang pajak warga Negara yang harusnya dipergunakan untuk membangun infrastruktur dan pelayanan publik serta Sistem Perekonomian berkeadilan dan berkelanjutan yang merupakan Hak Konstitusional warga Negara berdasarkan Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945.
Selama ini, honor penyelenggara pemilu merupakan komponen terbesar biaya pemilu, memakan hingga 65 persen dana pemilu. Besarnya honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia sangat banyak, mencapai 500 ribu. Setiap TPS ini ditunggui tujuh orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah anggota KPPS ini sekitar 3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota KPPS dirata-ratakan Rp 300 ribu per orang, maka biaya yang dibutuhkan untuk satu pemilihan, katakan presiden, adalah 1 triliun. Ini belum termasuk honor Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berjumlah 3 orang setiap kelurahan/desa. Ada 77.465 desa/kelurahan di Indonesia. Belum lagi honor anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 5 orang per kecamatan di 6.694 kecamatan; honor anggota Panitia Pengawas Lapangan (PPL), yang jumlahnya 1-5 orang per desa; honor Panwaslu Kecamatan, yang jumlahnya tiga orang per kecamatan, dan biaya-biaya honor lainnya untuk kesekretariatan dan sebagainya.
Pemohon juga mengutip pernyataan Komisioner Divisi Humas KPU, Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, S.I.P, M.Si, bahwa pemilu serentak akan mengefisiensi setidaknya 7 hal: pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Total biaya yang bisa dihemat mencapai 5-10 Triliun Rupiah.
Pemilu Serentak Kepala Daerah juga akan mengurangi militansi pada hanya satu calon kepala daerah, pengurangan biaya kampanye karena dapat dilakukan bersama-sama, serta amat berkurangnya para donatur atau ”cukong” yang bermaksud menanam modal terlebih dahulu dan selanjutnya akan mendapatkan aneka proyek dengan cara-cara yang koruptif
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya mengadili bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun akibat hukum dari putusan ini mulai berlaku di tahun 2019.
Dalam pertimbangan, Majelis Hakim MK mempertimbangkan diantaranya bahwa walaupun Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, dan Pasal 14 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 sudah pernah diuji, namun permohonan kali ini menggunakan dasar uji pasal yang berbeda dari UUD 1945. Hal ini sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) dan (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang mengatur bahwa pasal yang sudah pernah diputus oleh MK bisa diuji lagi apabila menggunakan syarat-syarat konstitusional yang berbeda sebagai batu uji. Selain itu, argumen dan isu hukum yang digunakan juga berbeda dengan pengujian sebelumnya.
Mengenai apakah penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setelah Pemilihan Anggota Legislatif bertentangan dengan konstitusi atau tidak, MK dalam putusannya kali ini merubah pertimbangannya. Sebelumnya dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 MK berpendapat bahwa Pasal 3 ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan konstitusi karena hal tersebut merupakan kebiasaan, yang bisa saja memang bertentangan dengan logika hukum. Hal ini karena Presiden dan/atau Wapres dilantik oleh MPR sehingga berdasarkan logika umum, MPR harus terbentuk terlebih dahulu. Maka pemilihan DPR, DPRD, DPD lebih dulu merupakan hal yang logis. MK menyebut hal ini sebagai desuetudo atau konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 ini, MK berpendapat “penyelenggaraan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, melainkan merupakan pilihan penafsiran konstitusional yang terkait dengan konteks pada saat putusan itu dibuat.”
MK mendasarkan putusannya pada tiga hal yaitu, keterkaitan sistem pemilihan umum dengan sistem pemerintahan presidensial, dasar pemikiran dalam perumusan UUD 1945, efektivitas dan efisiensi pemilihan serta hak warga Negara untuk memilih secara cerdas. Dalam menganalisis poin kedua dan ketiga, secara garis besar MK sependapat dengan argumen pemohon uji materiil.
Mengenai keterkaitan sistem pemilu dengan sistem pemerintahan presidensial, MK berpendapat bahwa dalam praktek di tahun 2004 dan 2009, sistem Pemilu menjadikan Presiden dan Wakil Presiden sangat bergantung pada dukungan DPR yang terdiri dari Partai-partai Politik agar bisa dicalonkan. Negosiasi politik juga tidak jarang terjadi untuk kepentingan taktis dan sesaat, tanpa mempertimbangkan roda pemerintahan dan manfaat jangka panjang. Lebih lanjut menurut MK, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Model koalisi yang dibentuk partai politik dengan calon Presiden dan Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden setelah pemilu anggota legislatif tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilu yang terkandung dalam UUD 1945.
The Living Constitution vs Ketidakkonsistenan MK
Putusan MK No. Nomor 14/PUU-XI/2013 ini membuktikan bahwa konstitusionalitas sebuah pasal atau undang-undang dapat berubah sesuai dengan perkembangan kondisi ketatanegaraan dan kehidupan berbangsa. Sebuah pasal saat ini dapat saja konstitusional atau sejalan dengan UUD 1945, namun dikemudian hari pasal tersebut dapat menemukan realitas ketatanegaraan yang kemudian menjadikannya bertentangan dengan UUD 1945. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh kondisi politik yang terjadi di masyarakat, kondisi pelaksanaan hak-hak konstitusional warga Negara yang diatur oleh undang-undang, maupun perkembangan ketatanegaraan lainnya. Irman Putrasidin, ahli pemohon, mengatakan bahwa pengalaman empiris pemohon mencerminkan bahwa kebijakan UU No. 42 Tahun 2008 yang sebelumnya konstitusional karena dinilai sebagai kebiasaan atau konvensi, kini perlahan mulai menampakkan gejala secara nyata merugikan hak konstitusional warga negara (the living Constitution).
Di lain sisi, Hakim Konsitusi Maria Farida, memberikan dissenting opinion dengan menyatakan bahwa sebelumnya Mahkamah pernah memutus bahwa Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional, yaitu Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009. Selain itu Maria Farida juga berpendapat bahwa Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 merupakan sebuah delegasi kewenangan terbuka atau sebuah legal policy pembentuk undang-undang, ia memutuskan untuk konsisten dengan pendapat MK dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 yang menyatakan Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, apabila norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Secara implisit, Maria Farida menyatakan bahwa MK dalam putusan ini tidak konsisten dengan putusannya terdahulu.
Sebagai akibat dari Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 ini, mulai tahun 2019 Pemilu akan diadakan serentak. Imbasnya adalah penghematan biaya Pemilu yang harus dikeluarkan dari APBN, yang berasal dari pajak yaitu iuran uang rakyat. Maka sebenarnya uang rakyat yang dihemat. Selain itu, warga Negara dengan hak pilih hanya perlu meluangkan satu waktu yang sama untuk memilih anggota legislatif sekaligus Presiden dan Wakil Presiden. Dari segi ekonomi, sektor usaha juga lebih diuntungkan dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Biasanya di hari penyelenggaraan Pemilu, kantor dan usaha-usaha sebagian besar tutup, maka di tahun Pemilu, setidaknya 2 hari roda perekonomian berhenti. Dengan adanya pemilu serentak, sektor usaha dan kantor-kantor cukup menghentikan kegiatan usahanya selama 1 hari.
Dari segi teknis, perlu persiapan yang sangat matang untuk pelaksanaan Pemilu serentak di tahun 2019. Persiapan matang terutama harus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Persiapan bertahap yang dilakukan di tahun 2009 dan 2014 harus dilakukan bersamaan di tahun 2019. Praktis verifikasi calon-calon legislatif harus dilakukan bersamaan dengan verifikasi persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon presiden dan wakil presiden. Teknis pelaksanaan pemilu juga perlu dipersiapkan matang, mulai dari sosialisasi ke masyarakat, kertas suara, kotak suara, bahkan hingga penghitungan suara yang harus dilakukan sekaligus. Harapannya, masyarakat tidak perlu menunggu dalam waktu dua kali lipat dibandingkan dengan Pemilu tahun 2009 dan 2014 untuk mendapatkan hasil penghitungan suara resmi.
Penundaan pelaksanaan putusan diambil MK dengan pertimbangan bahwa persiapan Pemilu 2014 telah dimulai, dan bahwa jangka waktu yang tersisa tidak akan cukup untuk membentuk peraturan perundangan sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilu serentak, menggantikan pasal-pasal yang dibatalkan. Amar ini ketika dibaca sekilas akan terlihat logis dan bisa diterima. Namun ada yang perlu kita cermati bersama, di bagian akhir putusan, tertulis bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim telah dilaksanakan tanggal 26 Maret 2013 dengan dihadiri oleh kesembilan hakim Konstitusi saat itu (Mahfud MD, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman). Artinya Majelis Hakim telah mengambil keputusan sejak tanggal 26 Maret 2013. Namun putusan baru diucapkan dalam sidang 23 Januari 2014, dan sebuah keputusan baru berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka. Bisa jadi, penundaan pembacaan putusan dalam sidang terbuka dilakukan untuk menghindari kekacauan persiapan pemilu, sebagaimana didaraskan dalam putusan ini. Tetapi, bisa jadi juga penundaan 10 bulan ini yang tidak memungkinkan dibentuknya undang-undang baru sebagai landasan hukum pemilu serentak. Karena jarak sejak putusan dibacakan dengan agenda pelaksanaan pemilu tersisa hanya 3 bulan. Jarak 10 bulan merupakan jangka waktu yang cukup lama, bahkan memungkinkan bagi anggota legislatif untuk membentuk undang-undang yang baik dan komprehensif sebagai dasar hukum pelaksanaan pemilu serentak. Apakah terjadi kesengajaan dari pihak Hakim-hakim MK untuk menunda pelaksanaan pembacaan putusan? Adakah kepentingan politik atau motif yang melatarbelakangi penundaan yang sekian lamanya ini? Bukankan lebih cepat hak konsitusional warga Negara terpenuhi, lebih baik? Karena pemenuhan hak merupakan pemenuhak keadilan, dan keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan.
Jane Aileen
Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]