Dianggap telah dengan sengaja melakukan privatisasi air, Presiden Jokowidodo beserta jajarannya disomasi.
Somasi yang diajukan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) itu menganggap pemerintah telah mengingkari Undang Undang Dasar 1945 agar bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara, bukan malah dibiarkan dan diberikan untuk dikuasai pihak swasta.
Landasan melakukan somasi yang dilakukan KMMSAJ, selain berdasarkan Konstitusi Undang Undang Dasar 1945, juga telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review terhadap Undang Undang Sumber Daya Air dan menolak dilakukannya swastanisasi atau privatisasi pengelolaan air di Indonesia.
“Pemerintah harus bertanggung jawab dengan segera mengehentikan swastanisasi air,” ujar Anggota Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) Suhendi Nur saat konferensi pers bersama di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, (03/09).
Dia menjelaskan, gugatan warga Negara atas privatisasi pengelolaan air air minum di Jakarta pun sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret 2015. Putusan pengadilan itu secara tegas menyatakan bahwa privatisasi air itu melanggar hukum, namun pemerintah sepertinya tutup mata dan tidak bertindak untuk melaksanakan putusan tersebut. Bahkan, upaya menghentikan privatisasi air itu pun tak kunjung dilakukan pemerintah.
Lebih lanjut Suhendi menjelaskan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2013/PN.JKTPST, telah dinyatakan bahwa perjanjian provatisasi air yakni penyerahan pengelolaan air kepada pihak swasta adalah pelanggaran hukum dan sangat merugikan masyarakat Indonesia.
“Majelis hakim juga menyampaikan negara telah lalai dalam melindungi dan memenuhi hak atas air warga. Maka dari itu perjanjian harus dihentikan dan pemerintah diperintahkan untuk segera mengelola air minum sesuai dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia atas air,” ujar dia.
Keputusan PN Jakarta Pusat itu sejalan dan berkaitan erat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) secara keseluruhan.
Dalam pertimbangan putusan MK, lanjut Suhendi, menegaskan lima prinsip utama yang membatasi kesewenang-wenangan warga negara dalam pengelolaan SDA. Pertama, setiap pengusahaan atas air tidak boleh melanggar hak rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air karena akses terhadap air adalah salah satu hak asasi manusia. Ketiga, pemanfaatan air harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia. Keempat, pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak karena air sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, untuk itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kelima, prioritas utama bagi BUMN dan BUMD dalam melakukan pengusahaan atas air sebagai kelanjutan dari hak menguasai negara kareng air berkaitan dengan hajar hidup orang banyak.
Atas putusan itu, Pemerintah Pusat malah melakukan upaya hukum dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan PN Jakarta Pusat.
“Dari putusan dibacakan pemerintah pusat sejak awal telah menyatakan banding. Menteri PU telah mengajukan memori banding pada 4 Agustus 2015 kemudian Menteri Keuangan ada 16 Juni 2015 dan KMMSAJ telah menerima draft nya tanggal 13 Agustus 2015” ujar Arif Maulana, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Arif menambahkan, Menteri PU bahkan telah menerbitkan Surat Edaran No. 04/SE/M/2015 sebagai respon atas putusan MK. Surat Edaran itu malah tetap melanggengkan adanya privatisasi pengelolaan air.
“Apa yang dilakukan Menteri PU dengan mengeluarkan surat edaran merupakan pembangkangan dan pengingkaran terhadap UUD 1945, putusan MK dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas air,” jelas Arif.
Melalui somasi ini, lanjut Arif, KMMSAJ memberi teguran dan mengingatkan pemerintah untuk tidak melakukan pembangkangan hukum sebagaimana prinsip-prinsip pengelolaan air tidaklah memberi ruang kepada dalam mengelola air.
“Jika tidak diindahkan dan tidak melakukan upaya signifikan dalam memenuhi hak atas air, kami akan melakukan langkah-langkah hukum dalam upaya meluruskan pemerintahan saat ini agar sejalan dengan mandat UUD 1945,” jelas Arif. (mediaintegritas.com)