Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak pemerintah untuk melindungi buruh/pekerja di tengah pandemik coronavirus disease (Covid-19). Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/3HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 haruslah dicabut karena merupakan bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam melindungi buruh/pekerja dalam hal keselamatan kerja dan pengupahan.
Terhitung sejak Ahad (15/3), Presiden telah resmi menghimbau agar masyarakat melakukan pembatasan sosial (social distancing) aktivitas seperti bekerja, sekolah, dan beribadah dari rumah. Namun masalah lain kemudian timbul: bagaimana dengan buruh/pekerja yang jenis pekerjaannya mengharuskan kehadiran, melakukan aktivitas fisik, dan berinteraksi dengan dengan banyak orang? Ada banyak buruh/pekerja yang berada dalam situasi tersebut saat ini.
Pertama, meskipun sudah mencantumkan hak-hak buruh apabila terinfeksi atau diduga terinfeksi Covid-19, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/3HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 cacat hukum karena bentuk Surat Edaran tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan statusnya hanya mengikat internal pemerintah saja. Tidak ada kewajiban bagi pengusaha maupun perusahaan untuk mengikuti SE tersebut. Ditambah juga sangat tidak masuk akal apabila pengawasan diserahkan kepada Gubernur karena selama ini Gubernur beserta dinas di bawahnya juga terkenal sangat lembek dan “toleran” terhadap pengusaha dalam hal pelanggaran hak buruh/pekerja.
Kedua, Surat Edaran tersebut tidak mewajibkan pengusaha ataupun perusahaan untuk menyediakan kelengkapan alat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terkait pencegahan Covid-19 seperti masker, sarana cuci tangan, maupun sarana pencegahan penularan Covid-19 lainnya sehingga buruh harus melengkapi alat-alat K3-nya secara mandiri, padahal Pasal 14 huruf c Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menjelaskan bahwa alat-alat kelengkapan Keselamatan tersebut merupakan tanggung jawab dari perusahaan. Selain itu pemeriksaan kesehatan di lingkungan perusahaan juga harus dilakukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
Ketiga, dalam poin II No. 4 Surat Edaran mengatur apabila perusahaan melakukan pembatasan kegiatan usaha dan menyebabkan buruh/pekerja tidak masuk kerja maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan dengan kesepakatan pengusaha dengan buruh/pekerja. Hal tersebut bertentangan dengan mekanisme pengupahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Mengambil contoh dalam mekanisme penangguhan upah saja, ketidaksanggupan membayar upah harus dibuktikan dengan laporan keuangan dan mekanismenya harus dengan persetujuan Gubernur dengan meminta pertimbangan kepada Dewan Pengupahan yang komposisinya terdiri dari serikat buruh/pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 42 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Provinsi.
Berdasarkan berbagai hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak pemerintah untuk:
- Menerbitkan aturan hukum tegas dan mengikat untuk mencegah penularan Covid-19 yang sekaligus melindungi buruh/pekerja;
- Melakukan pengawasan dan memberikan sanksi yang tegas kepada pengusaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan terutama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan pengupahan selama masa pandemik Covid-19 terjadi.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta