Risalah Kebijakan LBH Jakarta : Pemerintah Harus Membuat Kebijakan Yang Melindungi Pengguna Pinjaman Online
Siaran Pers
Korban Pinjaman Online semakin banyak dari hari ke hari. Sejak membuka pos pengaduan khusus korban pinjaman online November 2018, LBH Jakarta telah menerima 5093 pengaduan terkait pinjaman online. Masalah yang dialami oleh korban pun masih dalam lingkup permasalahan yang sama; Bunga yang sangat tinggi, minimnya perlindungan data pribadi, hingga berbagai tindak pidana yang dialami dalam proses penagihan pinjaman. Hal ini disebabkan tidak adanya aturan yang memberi perlindungan hukum dan hak asasi manusia kepada pengguna pinjaman online. Korban terus berjatuhan, tapi niat untuk melindungi masyarakat tak juga diwujudkan.
Oleh karenanya LBH Jakarta mengaji 16 kebijakan terkait penyelenggaraan layanan jasa keuangan non-bank, teknologi finansial, perlindungan data pribadi dan perlindungan konsumen. Adapun 16 kebijakan yang dikaji oleh LBH Jakarta terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, Peraturan Menteri Teknologi dan Informatika serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Kajian ini juga disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pengguna aplikasi pinjaman online akan regulasi yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Kajian ini juga didiskusikan dengan ahli/akademisi sebelum kemudian dijadikan tawaran risalah kebijakan kepada pemerintah.
Berdasarkan hasil akhir dari kajian ini, LBH Jakarta menilai bahwa ada beberapa faktor penyebab kebijakan yang ada tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Pertama, aturan yang ada tidak di dasarkan pada kondisi yang terjadi di tengah masyarakat. Aturan yang tidak disesuaikan dengan kondisi masyarakat ini membuat aturan itu sendiri tidak dapat diterapkan atau tidak bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya saja, aturan mengenai penjatuhan sanksi. Berdasarkan POJK Nomor 77/2016 yang mengatur bahwa sanksi terberat adalah pencabutan status. Hal ini berakibat semakin banyak aplikasi pinjaman online yang tidak terdaftar karena dicabut statusnya, namun tetap beroperasi ditengah masyarakat. Padahal, OJK juga tidak mau bertanggung jawab terhadap aplikasi pinjaman online yang tidak terdaftar. Akibatnya, bukannya menjawab kebutuhan perlindungan akan rasa aman menggunakan apliikasi pinjaman online, aturan ini justru membuat masalahnya semakin besar karena semakin banyak aplikasi pinjaman online yang tidak terdaftar.
Kedua, adanya kekosongan hukum atau ketiadaan aturan atas kondisi yang dialami oleh masyarakat. Berbeda dengan faktor penyebab sebelumnya, faktor kedua ini terjadi karena kondisi dan permasalahan yang dialami oleh masyarakat justru tidak diatur sehingga membuat masalahnya semakin besar dari waktu ke waktu. Misalnya saja, tidak ada satu pun aturan yang mengatur soal bunga pinjaman online. Padahal bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan merupakan permasalahan yang kerap kali dialami oleh pengguna aplikasi pinjaman online. Alih-alih hal ini diatur oleh asosiasi, pemerintah menunjukan ketidakmampuannya mengatur hal ini.
Ketiga, ketidakseragaman pengaturan sehingga menimbulkan ambiguitas dalam penegakan hukum. Banyaknya aturan yang “tercecer” justru malah berakibat pada ketidakjelasan menerapkan aturan terhadap kondisi yang ada. Contohnya, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh penyelenggara. Pada beberapa aturan, hal tersebut harus disampaikan dalam evaluasi berkala perusahaan, sedangkan pada aturan lain hal itu tidak perlu disampaikan pada evaluasi berkala perusahaan. Hal ini berdampak pada mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang minim pengawasan pemerintah. Akibatnya, permasalahan yang dialami konsumen pinjaman online kian marak, namun pemerintah tidak bisa memahami sepenuhnya akar permasalahannya.
Faktor-faktor tersebut melanggengkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang semakin marak kepada masyarakat dari waktu ke waktu. Selain berdampak pada pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang saat ini dialami oleh masyarakat, ketiga faktor tersebut juga akan berdampak pada makin tingginya angka kredit macet terhadap penyelenggara aplikasi, sehingga memperbesar kemungkinan banyak penyelenggara aplikasi pinjaman online yang akan pailit/bangkrut. Oleh karenanya, diperlukan reformasi regulasi demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat, secara khusus pengguna aplikasi pinjaman online.
Hasil kajian ini kemudian dituangkan dalam Risalah Kebijakan yang berjudul “Pinjaman Online dan Kebutuhan Perlindungan Hukum”. Risalah kebijakan ini awalnya hendak disampaikan oleh LBH Jakarta dalam pertemuan audiensi dengan OJK dan DPR RI. Namun, permohonan audiensi yang dilayangkan oleh LBH Jakarta pada tanggal 13 dan 16 September 2019 tidak juga di respon oleh dua lembaga negara tersebut. Hingga akhirnya LBH Jakarta memutuskan untuk memberikan secara langsung Risalah Kebijakan tersebut pada tanggal 8 Januari 2020. Hal ini dilakukan karena LBH Jakarta menyadari penuh, permasalahan yang ada dan korban yang terus bertambah dari hari ke hari tak lagi bisa menunggu.
Untuk menjamin perlindungan hukum dan hak asasi manusia, serta kepastian hukum dalam praktik penyelenggaraan pinjaman online di Indonesia, melalui Risalah Kebijakan “Pinjaman Online dan Kebutuhan Perlindungan Hukum” LBH Jakarta mendesak :
- OJK untuk membuat regulasi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna aplikasi pinjaman online di seluruh Indonesia;
- OJK dan berbagai lembaga negara terkait mengharmonisasi seluruh aturan yang ada dalam 1 (SATU) kebijakan agar tumpang tindih dan ketidakseragaman aturan tidak lagi terjadi dalam penyelenggaraan pinjaman online;
- DPR RI untuk mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi, mengingat salah satu akar permasalahan pinjaman online adalah minimnya perlindungan data pribadi di Indonesia dan UU Perlindungan Data Pribadi dapat menjadi acuan aturan lainnya dalam menjamin perlindungan data pribadi masyarakat;
- Pemerintah untuk membuat undang-undang khusus terkait Teknologi Finansial, yang berdasarkan prinsip perlindungan hukum dan hak asasi manusia bagi Masyarakat.
Hormat Kami,
Jakarta, 16 Februari 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA