Nomor Rilis Pers:
1181/SK-Rilis/X/2017
LBH Jakarta mendesak pemerintah dan Universitas Papua (UNIPA) untuk segera melaksanakan kembali program studi kedokteran di Fakultas Kedokteran UNIPA yang berhenti sejak tahun 2016. 102 calon dokter dari universitas tersebut kini terlantar akibat kelalaian pemerintah dan Rektor UNIPA dalam mengelola dan mengkoordinasikan dana operasional pendidikan yang bersumber dari APBN dan APBD.
FK UNIPA baru didirikan pada tahun 2014 bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI). Sampai tahun 2016, perkuliahan berlangsung lancar dengan tenaga pengajar dikirim dai FK UI setiap bulan untuk mengadakan perkuliahan di FK UNIPA.
Masalah timbul sejak bulan Oktober 2016 karena Rektor UNIPA secara tiba-tiba menghentikan kegiatan perkuliahan dengan alasan tidak ada anggaran. Para mahasiswa yang masih berada pada semester 1, 3, dan 5 sejak saat itu terlantar. Kuliah darurat sempat dilaksanakan oleh Dekan FK UNIPA dengan meminta pertolongan dokter-dokter Puskesmas dan Rumah Sakit Umum yang sedang bertugas di Papua Barat, tetapi hanya berlangsung selama 1 (satu) bulan.
“Sejak saat itu, selama 2 tahun ke belakang sampai hari ini, kami terpaksa datang ke Jakarta untuk mengadukan permasalahan yang kami alami kepada berbagai pihak, mulai dari Rektorat UNIPA, FK UI, DPRD Papua Barat, Gubernur Papua Barat, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Badan Pemeriksa Keuangan Pusat RI, hingga Komnas HAM RI. Sayangnya hingga hari ini sama sekali tidak ada tindak lanjut yang berarti, perkuliahan di UNIPA masih belum berlangsung permanen. Kami kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan nasib putra-putri Papua,” ujar Indah Ein Fajarwati, Ketua BEM FK UNIPA, mewakili seluruh mahasiswa yang putus kuliah.
Sejak pengaduan kepada berbagai pihak dilakukan, anggaran sempat dicairkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi karena koordinasi antar pihak tidak maksimal, kuliah berlangsung terputus-putus dengan rincian sebagai berikut:
a) Pada tanggal 3 Januari 2017 atas kesepakatan pertemuan Menristekdikti dengan FK UNIPA pada 21 Desember 2016 berjanji akan melangsungkan kuliah, tetapi kuliah ternyata masih tertunda dengan alasan tidak ada biaya operasional.
b) Pada tanggal 26 Maret – 29 April 2017, kuliah sempat berlangsung 1 (satu) bulan atas kesepakatan UNIPA dengan Kemendagri, Kemenristekdikti, dan Peprov Papua Barat, tetapi kemudian terhenti kembali tanpa alasan jelas.
c) Pada tanggal 18 Agustus 2017, atas kesepakatan kerjasama UNIPA dengan Pemprov Papua Barat pada tanggal 25 Juli 2017 berjanji bahwa kuliah akan berlangsung, tetapi pihak Pemprov Papua Barat dan Rektorat UNIPA kembali menunda pelaksanaan kuliah dengan alasan masih akan melakukan koordinasi anggaran.
d) Pada bulan September 2017, atas permohonan penundaan UNIPA dengan Pemprov Papua menjanjikan bahwa kuliah akan terlaksana setelah ditunda, tetapi ternyata kuliah sama sekali tidak berlangsung tanpa alasan yang jelas.
“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Aturan tersebut juga menyatakan dana operasional pendidikan tinggi wajib disediakan oleh pemerintah melalui APBN dan APBD. Lambatnya sikap pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini adalah bentuk pelanggaran hukum,” ujar Alldo Fellix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta yang mendampingi mahasiswa FK UNIPA.
“Ada ketimpangan akses pendidikan tinggi yang nyata di Papua Barat, padahal hak setiap warga negara atas pendidikan telah dijamin oleh hukum berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang HAM, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 2005. Instrumen HAM mewajibkan pemerintah untuk mendorong pemerataan akses pendidikan bagi setiap orang, termasuk bagi masyarakat Papua. Putra-putri Papua juga berhak untuk meraih cita-citanya untuk menjadi dokter,” tambahnya.
LBH Jakarta telah mengirimkan surat pengaduan kepada Prof. Mohamad Nasir, selaku Menteri Riset, Tekonologi, dan Pendidikan Tinggi RI, untuk menuntaskan kasus yang terjadi di FK UNIPA.
“Dalam surat pengaduan tersebut telah kami nyatakan bahwa pemerintah wajib merespon maksimal dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja atau kami akan mendampingi mahasiswa FK UNIPA menempuh berbagai upaya hukum,” tutup Alldo.
Hormat Kami,
12 Oktober 2017
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Kontak:
1. Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta, 087878499399
2. Indah Ein Fajarwati, Ketua BEM FK UNIPA, 085254247724