Jakarta 4 Februari 2016. Sekitar 200 warga Muara Angke mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk menghadiri sidang pemeriksaan saksi dari pihak penggugat. Pada persidangan ini, agenda sidang yaitu pemeriksaan bukti surat tambahan dan pemeriksaan saksi dari penggugat. Salah satu bukti tambahan yang diajukan oleh penggugat yaitu data Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) yang dikeluarkan BPLHD DKI Jakarta. Dari data tersebut tidak ditemukan izin lingkungan bagi izin pelaksanaan Pulau G, padahal pada persidangan sebelumnya, pihak tergugat menunjukan izin lingkungan dengan No. 108 Tahun 2014.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Rayhan Dudayev mengatakan, “ Izin pelaksanaan reklamasi seharusnya didahului dengan izin lingkugan. Mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2009, Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup yang salah satunya pencantuman izin lingkungan hidup. Aneh ketika tiba-tiba menunjukan izin lingkungan yang berbeda dengan data yang dipublikasikan BPLHD DKI Jakarta.”
Pada persidangan ini, dua orang saksi dimintai keterangannya terkait pembngunan Pulau G yang letaknya ada di utara Kampung Muara Angke. Pak Rohili, salah satu saksi yang berprofesi sebagai nelayan jaring, menyatakan bahwa pada saat sebelum adanya pengerukan pembangunan Pulau G, ia dapat mendapatkan penghasilan sebesar 5 – 15 juta rupiah ketika musim barat atau musim panen. Berbanding terbalik dengan keadaan sebelumnya, setelah adanya proyek reklamasi, ia seringkali pulang melaut dengan tangan hampa. Akibatnya, ia terpaksa sering harus berhutang untuk makan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dikarenakan adanya lumpur dari timbunan daratan reklamasi, air menjadi keruh sehingga membuat beberapa komoditas ikan mati seperti ikan belo, kue, dan ikan lainnya.
Tidak hanya nelayan nelayan tangkap, nelayan olahan seperti Ramli juga terkena imbas proyek reklamasi. Sebagai saksi, ia bersaksi bahwa sejak satu tahun terakhir ikan yang ia olah semakin sedikit sehingga membuat pendapatannya terus berkurang. Jika sebelum adanya proyek reklamasi ia dapat mengirimkan ikan ke Palembang atau pun Lampung, akibat pasokan ikan tangkap dari nelayan berkurang, ia pun hanya memproduksi sedikit ikan olahan.
Kedua nelayan tangkap dan olahan tersebut juga tidak tahu menahu tentang adanya AMDAL atau pun izin lingkungan untuk pembangunan Pulau G. “Boro-boro AMDAL, reklamasi saja saya baru tahu sekarang-sekarang setelah dikasih tahu. Sebelumnya kami hanya tahu ada pembangunan yang merugikan kami, yang mengakibatkan tangkapan kami berkurang, dan yang membuat jaring kami rusak.”, jelas Pak Rohili dalam persidangan.
Diperkirakan sekitar 2000 lainnya bernasib seperti Pak Rohili di Muara Angke. Nelayan yang biasanya menangkap ikan dari pukul 7 pagi hingga 10 malam harus bersaingan dengan jam operasional pembangunan Pulau G yang dilakukan 24 jam, yang mengganggu aktivitas nelayan untuk menyambung hidup.
Untuk selanjutnya dapat menghubungi:
Muhammad Taher (KNTI Jakarta) 0877 8200 0723
Marthin Hadiwinata (KIARA) 0812 860 30 453
Rayhan Dudayev (ICEL) 0856 9560 1992
Tigor (LBH Jakarta)