#CaseStory LBH Jakarta tahun 2002-2006

Sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal Penghinaan Presiden di KUHP kerap digunakan oleh rezim berkuasa untuk membungkam mereka yang menyampaikan pendapat atau ekspresinya, baik secara lisan maupun tulisan. Monang Johanes Tambunan, Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Fahrul Rohman, mahasiswa Universitas Nasional, adalah contoh dua orang korban pembungkaman yang dikriminalisasi atas sikap kritis mereka.

Monang ditangkap pada tanggal 28 Januari 2015 dalam sebuah aksi gabungan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), dan Aliansi Rakyat Bersatu (ARD). Dalam orasinya, Monang mengkritisi 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai tidak berhasil melaksanakan programprogramnya.

Pada Juni tahun 2006, giliran Fahrul Rohman. Ia dituntut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait orasi dalam unjuk rasa di depan Kampus Universitas Nasional, Pasar Minggu pada 16 Juni 2006. Penuntut Umum mendakwa Fahrul melakukan penghinaan terhadap Presiden SBY dan menuntutnya dengan menggunakan Pasal 134 jo. 136 KUHP. Tragedi yang menimpa mereka adalah pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat.

LBH Jakarta melakukan pembelaan terhadap Monang dan Fahrul. Dalam pembelaan, LBH Jakarta menyatakan pengadilan melanggar prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak. Dalam kasus Monang, majelis hakim mengesampingkan keberatan penasehat hukum terkait penggunaan rekaman video yang diajukan penuntut umum sebagai alat bukti yang memberatkan, meskipun, pada saat itu, KUHAP tidak mengenal rekaman video sebagai bagian dari alat bukti.

Begitu pula dengan Fahrul Rohman. Dalam kasus tersebut, Majelis Hakim mengesampingkan permintaan penasihat hukum untuk menghadirkan presiden atau pihak pemerintahan yang merasa terhina atas perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa.

Majelis hakim, akhirnya tetap menyatakan kedua mahasiswa tersebut bersalah dan menjatuhkan vonis
masing-masing 6 bulan penjara. Putusan tersebut seolah menjadi pesan dari majelis hakim pada masa itu bagi masyarakat agar sama sekali tidak boleh menyampaikan kritik apapun terhadap pemerintah atau Presiden.

Meski telah terlanjur mengakibatkan banyak peristiwa pembungkaman, Pasal penghinaan Presiden akhirnya dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Desember 2006.