Konvesi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia mulai berlaku secara internasional pada 26 Juni 1987. Pada 28 September 1998 Melalui UU No 5 tahun 1998 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvesi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia dengan salah satu kewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislative, administrative dan judicial yang efektif untuk mencegah tindakan-tindakan penyiksaan.
Hampir 15 tahun pasca ratifikasi Konvesi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, praktek-praktek penyiksaan dan perlakuaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia masih terus terjadi.
Dalam penelitian LBH Jakarta pada tahun 2005 ditemukan 81,1% tersangka mengalami penyiksaan saat diperiksa di tingkat kepolisian. Angka bertambah pada tahun 2008, ditemukan bahwa 83,65% mereka yang pernah diperiksa di kepolisian mengaku mengalami penyiksaan, pada tahun 2010, LBH Jakarta melakukan penelitian mengenai angka penyiksaan di lima provinsi di Indonesia, yaitu Jakarta, Makassar, Surabaya, Banda Aceh dan Lhokseumawe, ditemukan sebanyak 72,9% mengalami penyiksaan di pukul di wilayah Surabaya di ikuti oleh wilayah Banda Aceh sebesar 48% dan Lhokseumawe sebesar 34%. Bentuk penyiksaan fisik lainnya adalah disetrum, sebanyak 4,9% responden di Jakarta serta sebanyak responden 12,5% responden di Surabaya masih mengalaminya. Bentuk di bakar juga masih di jumpai, sebanyak 1,2% di Makassar dan 5,2% di Surabaya mengalaminya, kemudian pada tahun 2012 LBH Jakarta melakukan penelitian tentang penyiksaan dengan responden sebanyak 100 orang, dimana para responden anak mengaku bahwa Polisi paling banyak melakukan penyiksaan untuk lima wilayah DKI Jakarta penyiksaan pada saat penangkapan sebanyak 82%, penyiksaan pada saat proses BAP sebanyak 84%, dan Penyiksaan pada saat penahanan sebanyak 48%.
Selain itu LBH Masyarakat menemukan dari 388 responden yang berasal dari penghuni tempat penahanan hanya 82 orang yang tidak mengalami kekerasan, sisanya mengalami kekerasan fisik, kekerasan mental , kekerasan seksual dan penggabungan kekerasan[1]. Serta PBHI Mencatat sepanjang tahun 2011 sebanyak 96 orang mengalami penyiksaan pada karakteristik kasus tertangkap tangan, masyarakat miskin dan buta hukum, tidak didampingi pengacara dan kejahatan dengan ancaman 5 tahun [2] ;
Selain buruknya mental oknum penegak hukum, penyiksaan kerap kali dilakukan pada proses hukum khususnya ketika proses penyidikan[3]. Sistem hukum acara pidana yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mampu mencegah dan memberikan peluang praktek-praktek penyiksaan dan perlakuaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Beberapa ketentuan dalam KUHAP tersebut antara lain :
Pertama, KUHAP memberikan kewenangan penagak hukum untuk melakukan penahanan yang panjang (120 hari) hal tersebut memberikan keluasan oknum aparat penegak hukum untuk melakukan penyiksaan dan perlakuaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, waktu yang panjang juga akan menghilangkan bukti terjadinya kekerasan fisik.
Kedua, KUHAP masih mensyaratkan keterangan Terdakwa sebagai alat bukti, dengan tidak adanya kejelasan prinsip non self incimination dan rendahnya kemampuan dan kemauaan aparat penegak hukum dalam mencari serta mengumpulkan bukti menjadikan berbagai upaya dilakukan agar Tersangka / Terdakwa mengaku dan memberikan informasi
Ketiga, Acara Pemeriksaan Cepat dalam KUHAP sudah lama tidak relevan mengingat politik pemidanaan Indonesia seringkali memberikan ancaman hukuman yang tinggi, dan pergeseran nilai suatu obyek kejahatan hal ini mengakibatkan selain pelanggaran/kejahatan lalulintas hamper seluruh kejahatan menggunakan hukum acara pidana biasa dengan proses penahanan yang panjang. Dampak penahanan tidak hanya mengekang kebebasan seseorang namun juga memasukan seorang kedalam tempat yang sudah penuh sesak. Pihak Dirjen Pemasyarakatan melansir dari kapasitas Rutan dan lapas hanya untuk 107.139 orang harus ditempati 159.788 dimana pada kota-kota besar terjadi overcapasitas hingga 300 %[4]
Keempat, KUHAP memberikan kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan yang sangat elastis, penentuan bukti permulaan cukup yang tidak jelas, penahanan berdasarkan institusi “kekhawatiran” yang tidak pernah ditunjukan apa yang menjadi kekhawatiranya, mengakibatkan banyak orang yang terlebih dahulu ditahan kemudiaan dicari pengakuanya;
Kelima, KUHAP tidak secara tegas menyatakan “Segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan, penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti[5]” hal ini diperparah dengan praktek pasifnya aparat penegak hukum dalam membuktikan terjadinya penyiksaan. Seorang yang mendapatkan penyiksaan dalam tahanan tentulah tidak mudah menceritakan perlakuan yang diterima dan membuktikanya.
Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) memandang upaya pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini sedang dilakukan pembahasan di DPR RI, merupakan suatu momentum yang baik untuk menutup celah-celah praktek Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, oleh karena itu Komite Menyatakan :
- Konvesi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia dan Konvensi Hak Sipil dan Politik yang menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan RUU Hukum Acara Pidana harus menjadi acuan para pembahas RUU KUHAP di parlement;
- RUU Hukum Acara Pidana harus secara tegas menyatakan “Segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan, penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti” serta memberikan upaya remedy termasuk dampak pada proses perkara bila menggunakan atau diketahui kemudian hari bukti yang didapat berasal /akibat dari kekerasan, penyiksaan;
- Hakim pra persidangan yang sudah diatur dalam RKUHAP diharapkan dapat dipertahankan dan diberikan kewenangan yang lebih besar dalam memberikan dan mengkontrol pemberian izin upaya paksa serta secara aktif melakukan pemeriksaan terhadap proses peradilan;
- RUU KUHAP yang saat ini dibahas masih memberikan kewenangan Penahanan dengan jangka waktu yang sangat lama, yang tidak hanya bertentangan dengan semangat pemajuan terhadap HAM namun juga akan berdampak terhadap makin buruknya kondisi penahanan di Indonesia;
- Syarat penggunaan upaya paksa dalam RKUHAP khususnya penahanan semakin membuka lebar penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum, syarat dikemukakanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran dalam KUHAP dihilangkan dan hanya memasukan “ada kekhawatiran” dalam RKUHAP;
- Bantuan Hukum dalam RKUHAP masih menggunakan pengkategorian terhadap ancaman hukum sehingga tidak sinkron dengan UU Bantuan Hukum yang menjamin hak bantuan hukum untuk setiap orang;
Jakarta, 26 Juni 2013
Hormat Kami
Komite Untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP).
Kontak;
Totok Yuliyanto : 085770001782 (PBHI), Maruli 081369350396 (LBH Jakarta
[1] Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan, Studi Kasus Terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta, LBH Masyarakat, 2012
[2] Laporan Pelanggaran Hak-Hak Tersangka, Hentikan Praktek Sewenang-Wenang dan Kejam, PBHI, 2012
[3] Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, Mission in Indonesia, Manfred Nowak, 2008
[4] http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/daily
[5] Pasal 5 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia