Jakarta, 13 November 2023 – Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti
(Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) akhirnya sampai
pada tahap pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelum Jaksa
membacakan tuntutannya, kami mengajukan alat bukti surat yang telah kami hadirkan
sebelumnya pada proses pemeriksaan saksi dan ahli. Alat bukti surat ini bertujuan untuk
memperkuat pembuktian bahwa Fatia dan Haris tidak bersalah dan harus dinyatakan
bebas dari segala dakwaan.
Dalam pembukaan surat penuntutan Jaksa begitu tendensius dengan menyebutkan
berhenti menggunakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), anti korupsi dan lingkungan di Papua
sebagai dalih untuk lari dari pertanggungjawaban pidana. Selain itu, kami pun menyoroti
narasi Jaksa yang menyerang cara-cara penasihat hukum dan penonton yang dianggap
membuat kegaduhan. Hal ini sangat problematik, sebab Jaksa bukan hanya menjatuhkan
martabat Fatia dan Haris, akan tetapi menjatuhkan rasa solidaritas yang terbangun di
antara kelompok masyarakat sipil.
Jaksa pun mempermasalahkan sesi pembuktian saksi dan ahli karena dianggap tidak
objektif dan tidak berdasarkan sumpah. Tuduhan ini sungguh serius, selain meragukan
kapasitas saksi dan ahli yang kami hadirkan, hal ini pun menuduh bahwa keterangan saksi
dan ahli yang kami hadirkan manipulatif serta berbohong. Padahal, sikap saksi dan ahli
yang kami hadirkan sejauh ini sangat kooperatif dan menjawab seluruh pertanyaan.
Adapun pertanyaan yang tidak dijawab merupakan respon dari saksi dan ahli kami atas
pertanyaan bodoh serta tidak perlu yang disampaikan oleh JPU.
Hal-hal yang disampaikan Jaksa dalam penuntutan menurut kami mengenyampingkan
proses pembuktian di persidangan. Jaksa sama sekali tidak menyinggung persoalan
kebebasan berekspresi, konflik kepentingan pejabat hingga narasi Anti-SLAPP yang telah
disampaikan pada proses pembuktian. Jaksa pun mengenyampingkan fakta podcast yang
berbasis riset berupa kajian cepat masyarakat sipil.
Proses pembacaan tuntutan pada sidang kali ini pun kian menegaskan bahwa Jaksa
betul-betul membela kepentingan Luhut, bukan kepentingan publik. Jaksa menyampaikan
bahwa Luhut sama sekali tidak terlibat dalam praktik pertambangan di Papua. Padahal,
dalam proses pembuktian saksi yang dihadirkan oleh Jaksa sendiri yakni Paulus Prananto
mengakui bahwa perusahaan yang dimiliki Luhut pernah menjajaki kesepakatan bisnis
pertambangan di Intan Jaya dengan West Wits Mining dan PT Qurrota Madinah Ain.
Dalam pembahasan Pembela HAM, Jaksa dalam surat tuntutannya menyatakan bahwa
pemberian label Pembela HAM bukan alasan pembenar dari tindakan yang dilakukan oleh
Fatia-Haris. Jaksa justru mengarahkan bahwa hak, martabat dan nama baik Luhut lah yang
dilanggar oleh Haris dan Fatia. Paradigma ini lagi-lagi keliru, sebab kritik yang disampaikan
oleh kedua pembela HAM ini dalam kapasitas Luhut sebagai pejabat publik bukan individu.
Argumentasi soal penghinaan pejabat publik dari Jaksa pun sekali lagi menegaskan biasnya
Jaksa dalam menuntut kasus ini. Sebagaimana disebutkan pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri menyatakan bahwa korban sebagai pelapor
merupakan orang perseorangan dengan identitas spesifik dan bukan profesi, institusi,
korporasi dan jabatan.
Lebih lanjut, Jaksa dalam surat tuntutannya pun membahas batasan antara kritik dan
penghinaan. Dalam keterangannya, Jaksa mengutip beberapa pendapat ahli, yang
menyatakan bahwa kritik seharusnya disampaikan dengan sopan dan bersifat konstruktif.
Padahal yang dilakukan oleh Fatia dan Haris murni merupakan kritik publik yang dijamin
dalam negara demokratis.
Isi dakwaan kami anggap lebih ‘Luhut’ daripada Luhut, karena dalam beberapa kesempatan
menyebutkan perasaan Luhut yang tersinggung, nama baik yang tercemar dan sikap batin
Luhut lainnya. Hal ini sangat berlebihan, sebab jika dilihat dari track recordnya, Luhut
merupakan mantan Jenderal yang berkarir puluhan tahun di institusi kemiliteran. Hal-hal
yang Jaksa bacakan terkait perasaan Luhut dilebih-lebihkan dan terlihat sekali ingin
menjerat Fatia dan Haris atas dasar perasaan serta kepentingan korban.
Tuntutan pun mengada-ngada, sebab banyak fakta dan dalil yang disusun secara
sembarangan. Misalnya, Jaksa menyatakan bahwa Fatia terlibat aktif dalam penyusunan
konten terbukti dari tindakan menyusun catatan-catatan yang berisi nama-nama yang akan
disebutkan pada saat sebelum podcast dilakukan. Dalil ini tentu saja tidak benar, sebab
faktanya, Fatia saat video tersebut direkam Fatia hanya membawa kajian cepat 9
masyarakat sipil.
Berdasarkan surat tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, tindakan Haris
Azhar pada intinya dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP. Adapun tuntutan
yang diajukan Jaksa yakni menghukum 4 tahun dan denda 1 Juta Rupiah subsider 6 bulan
kurungan. Selain itu, Jaksa juga meminta agar link youtube Haris Azhar dihapus dari
jaringan internet. Sementara itu, Fatia dinyatakan telah bersalah melanggar pasal yang
sama dengan Haris. Tuntutan yang dimohonkan oleh JPU kepada Fatia yakni selama 3
tahun 6 bulan.
“Kami menilai bahwa tuntutan ini jauh dari objektif, sebab didasarkan pada ketidaksukaan,
bukan pada pertimbanga-pertimbangan hukum yang relevan. Fakta-fakta yang dijabarkan
pun sangat tendensius dan penuh dengan karangan. Adapun konstruksi analisis yang
dibangun pun sangat keliru, karena didasarkan fakta-fakta yang salah. Jaksa tidak sama
sekali menyinggung substansi terkait kerusakan lingkungan hidup, masyarakat adat, hingga
kekerasan di Papua. Justu, Jaksa menyatakan semua isu yang diangkat merupakan rekayasa.
Hal ini tentu mencederai dan melecehkan martabat perjuangan masyarakat sipil khususnya
di Papua.” Kata Nurkholis Hidayat dari Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Nurkholis Hidayat menambahkan “Kami menilai bahwa tuntutan Jaksa merupakan bagian
dari Malicious Prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan hasil-hasil pembuktian di
persidangan. Tuntutan yang dibacakan Jaksa memiliki muatan permusuhan pribadi, bias,
atau alasan lain di luar kepentingan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari tuntutan pidana
maksimal yakni penjara 4 tahun dan Jaksa menyatakan bahwa tidak ada satupun alasan
yang meringankan.”
“Tuntutan ini merupakan bentuk menginjak-nginjak hukum sekaligus alarm berbahaya bagi
situasi demokrasi khususnya kebebasan sipil di Indonesia. Selain itu, tuntutan ini kian
mempertegas bahwa Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang memberikan
sumbangsih besar terhadap buruknya situasi HAM, khususnya kebebasan dalam
berpendapat. Jaksa pun bertindak tidak profesional karena melahirkan tuntutan manipulatif,
jahat dan politis. Terlebih penggunaan UU ITE lagi-lagi menegaskan bahwa produk hukum ini
problematic, bersifat karet dan menggerus hak-hak digital masyarakat.” Ujar Muhammad
Isnur, Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Isnur menambahkan “Jaksa bahkan mengutip quote dari buzzer di akhir surat tuntutannya.
Hal ini memperlihatkan bobroknya institusi Kejaksaan selama ini. Selain itu, Jaksa pun
melakukan tuduhan yang sangat serius, sebab menganggap masyarakat sipil melakukan
tindakan kriminal akan tetapi sering berdalih pada HAM dan kebebasan.”
Tuntutan ini kembali memperpanjang deretan langkah pembungkaman terhadap suara
masyarakat sipil yang kritis. Selain itu, Jaksa seperti ingin menyampaikan pesan bahwa
siapapun yang keras terhadap dengan pejabat, harus siap dituntut secara hukum. Lebih
lanjut, terdapat pesan yang begitu kuat yakni terbangunnya iklim ketakutan dan jangan
coba untuk mendalihkan pada kebebasan berekspresi dan HAM. Akhirnya, proses
persidangan ini lagi-lagi membuktikan bahwa Jaksa merupakan alat kekuasaan untuk
membungkam mereka yang berbeda serta menunjukan fenomena regresi demokrasi yang
semakin kuat.