Banyaknya penolakan dan respon negatif dari masyarakat Indonesia atas rencana diundangkannya RUU (Rancangan Undang-undang) Cipta Lapangan Kerja lewat pendekatan Omnibus Law, membuat Presiden RI Joko Widodo mengambil respon reaksioner terhadap situasi ini. Sebagaimana disebut-sebut dalam beberapa pemberitaan media beberapa waktu lalu, Presiden RI Joko Widodo justru menginstruksikan kepada jajaran aparat Polri, BIN (Badan Intelejen Nasional), TNI, hingga instansi-instansi lain seperti Kejaksaan untuk “melakukan “pendekatan-pendekatan” dan “komunikasi” terhadap organisasi masyarakat” agar pembahasan dan pengesahan Omnibus Law tidak berjalan molor sesuai target Presiden.
Instruksi Presiden RI Joko Widodo ini menjadi sangat aneh, karena pelibatan Polri, BIN, TNI, hingga Kejaksaan untuk memuluskan perumusan dan pengesahan rancangan suatu produk perundang-undangan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Selain tidak ada dasar dan alasan hukum yang jelas yang mendasari tindakan seperti ini. Instruksi ini seolah menunjukkan Presiden RI Joko Widodo hendak menggunakan kekuatan negara yang represif seperti Polri, BIN, TNI, hingga Kejaksaan untuk mengancam dan memaksakan agenda kebijakannya di masyarakat.
Selain itu, pelibatan Polri, BIN, TNI, hingga Kejaksaan dalam percepatan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja telah melenceng dari tugas, fungsi, dan wewenang instansi-instansi tersebut sebagaimana yang telah dimandatkan dalam konstitusi dan undang-undangnya sendiri. Pelibatan instansi-instansi ini juga akan berdampak pada adanya potensi praktik maladministrasi yang merugikan publik ketika masing-masing instansi benar-benar melaksanakan instruksi tersebut.
LBH Jakarta memandang instruksi Presiden RI Joko Widodo tak lebih daripada cara-cara otoriter yang dulu diterapkan pada era Orde Baru, dimana kritik masyarakat atas kebijakan tertentu dari pemerintah justru direspon dengan menggunakan institusi alat represif negara. Cara ini juga merupakan bagian dari Pemerintah yang hendak menciptakan intimidasi dan ketakutan di masyarakat, agar rakyat sebagai pemilik kedaulatan tunduk dan patuh begitu saja tanpa boleh bersuara kritis terhadap kebijakan Pemerintah yang akan berdampak pada rakyat.
Di sisi lain, perumusan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja hingga saat ini dilakukan hanya oleh kalangan tertentu secara terbatas dan minim partisipasi dari masyarakat. Tidak ada pelibatan kelompok buruh, tani, masyarakat adat, mahasiswa, pegiat lingkungan hidup, maupun masyarakat sipil lainnya secara penuh dalam proses perumusan RUU tersebut. Padahal kelompok ini adalah pihak yang sangat terkait, berkepentingan dan berpotensi terdampak dari diterapkannya Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja.
Pemerintah cenderung diskriminatif dengan lebih memilih untuk melibatkan pihak investor dan pengusaha dalam proses perumusan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja sembari “menghilangkan” berbagai ketentuan hukum yang telah menjamin hak-hak buruh dan melemahkan perlindungan atas hak-hak buruh perempuan. Ini menunjukkan hanya kepentingan investor dan pengusaha lah yang diakomodir oleh Pemerintah ketimbang membela dan mengakomodir kepentingan kelompok buruh, tani, dan masyarakat sipil sebagai pihak yang paling terdampak dari diberlakukannya Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja.
Ketimbang melakukan akrobat politik intimidasi lewat pengerahan Polri, TNI, BIN, dan Kejaksaan dalam percepatan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja, LBH Jakarta mengigatkan dan mendesak Presiden RI Joko Widodo agar mengubah sikapnya dengan tidak anti kritik, dan mematuhi prinsip konstitusi, demokrasi dan negara hukum.
LBH Jakarta juga mendesak Presiden RI Joko Widodo agar patuh pada ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan adanya transparansi dan membuka seluas luasnya proses partisipasi masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk partisipasi bagi masyarakat yang menolak atau tidak setuju terhadapnya dengan dialog dengan institusi yang tepat seperti kementrian kementerian terkait.
Tidak transparan dan minimnya proses partisipasi masyarakat dalam perancangan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja serta upaya-upaya pemaksaan-represif-intimidatif di balik perancangannya akan membuat Indonesia semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi, negara hukum, dan republik itu sendiri. Negara Demokrasi, Negara Hukum, dan Republik hanya akan hadir sejauh pemerintahnya tunduk dan berjalan dalam koridor hukum, serta mendengar dan mengabdi untuk kepentingan dan suara rakyat serta publik, bukan mengabdi pada aspirasi segelintir kelompok elit tertentu semata. []
Hormat Kami,
Jakarta, 17 Januari 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA