[Pers Release]
Catatan Kelam Perburuhan 2015: Pelanggaran Struktural atas Kesejahteraan Buruh dan Hak Berserikat di Indonesia
Kondisi perburuhan Indonesia memasuki era pasar kerja fleksibel yang melahirkan kebijakan yang mengubah standar hubungan kerja. Hubungan kerja yang awalnya memiliki standar upah layak, jaminan sosial, dan waktu kerja yang pasti menjadi hubungan kerja yang cair dan membuka ruang kebebasan bagi pemilik modal untuk bergerak dan mengakumulasi keuntungan sesuai dengan situasi ekonomi yang terjadi. Secara eksplisit, status buruh yang bekerja sebagai buruh kontrak dan outsourcing semakin tinggi, karena hubungan kerja tidak tetap itu sangat menguntungkan investasi.
LBH Jakarta mencatat sepanjang tahun 2015, terjadi ekskalasi peningkatan jumlah pencari keadilan dan pengaduan untuk kasus hubungan kerja, pelanggaran normatif, dan juga pelanggaran hak berserikat. Pengaduan hubungan kerja meningkat dari 115 pengaduan (2014) menjadi 126 pengaduan (2015), pengaduan hak normatif meningkat dari 71 pengaduan (2014) menjadi 72 pengaduan (2015), sedangkan pelanggaran hak berserikat di tahun 2014 dan 2015 tetap 7 pengaduan namun mengalami peningkatan jumlah pencari keadilan, dimana tahun 2014 terdapat 173 pencari keadilan dan di tahun 2015 sebanyak 1847 pencari keadilan.
Dari refleksi kasus yang diadukan ke LBH Jakarta, perjuangan merebut hak normatif selalu beririsan dengan hak berserikat. Salah satunya adalah perjuangan Serikat Buruh Kerakyatan Honda Prospect Motor (Serbuk HPM) dalam upaya pencatatan ke Dinas Ketenagakerjaan Kota Karawang yang ditolak dengan alasan yang dibuat-buat.
Pengaduan-pengaduan yang diterima oleh LBH menjadi refleksi bagaimana kondisi perburuhan yang umumnya dialami buruh. Dari pola-pola pelanggaran yang terjadi, tahun 2015 menunjukkan intervensi negara yang menyebabkan pelanggaran hak-hak buruh. Pertama, negara mengeluarkan PP Pengupahan yang prosesnya pembuatannya tidak partisipatif dan memiskinkan buruh. Dalam PP ini, diatur kenaikan upah buruh ditentukan oleh KHL yang ditetapkan setiap 5 (lima) tahun sekali. Penetapan KHL tiap 5 (lima) tahun sekali sangat tidak merepresentasikan kondisi ekonomi buruh. PP ini mereduksi kewenangan Gubernur serta peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam penetapan upah minimum. Kebijakan ini dinilai sangat pro investasi dan menjadikan buruh semakin memasuki kondisi kerja rentan. “Komitmen Jokowi untuk mewujudkan kerja layak, hidup layak, upah layak menjadi tidak relevan dengan dampak yang diakibatkan oleh PP tersebut”, pernyataan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa.
Kedua, keterlibatan aktif institusi kepolisian dan TNI dalam memberangus kemerdekaan berserikat yang dilegitimasi oleh Instruksi Presiden No 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (selanjutnya disebut dengan Inpres Upah Murah). Inpres ini memberikan mandat kepada kepolisian untuk memantau proses penentuan dan pelaksanaan upah serta menjaga dan menjamin terciptanya situasi keamanan serta ketertiban masyarakat. Pada saat aksi menolak PP Pengupahan, polisi bertindak represif terhadap aksi yang dilakukan serikat buruh dengan merusak mobil komando, menyemprotkan gas air mata, memukuli buruh, dan menangkap 22 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 orang pengabdi bantuan hukum.
Keterlibatan TNI mengamankan lingkungan pabrik pun semakin kentara. Selama ini TNI beralasan bahwa tugas penjagaan pabrik yang dibangun berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) dengan perusahaan merupakan operasi militer selain perang dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan. Berdasarkan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI), jika TNI ingin melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Padahal mengacu Pasal 7 ayat 3 UU TNI, pelaksanaan tugas OMSP harus didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Tentu pembuatan MoU merupakan tindakan abuse of power karena bersumber dari kebijakan diskresional.
“Polisi semakin arogan dalam membatasi kemerdekaan berserikat yang dilakukan oleh buruh. Pendekatan yang dilakukan polisi ke buruh sangat repsresif, hal itu berbanding terbalik dengan sikap polisi ke pengusaha. Terbukti laporan buruh atas pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan buruh tidak pernah diproses secara serius”, demikian pernyataan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa.
Dalam janji kampanyenya, Jokowi menawarkan konsep Nawa Cita (9 cita) yang ingin diwujudkan Jokowi jika ia terpilih menjadi presiden. Nawa Cita tersebut memuat komitmen Jokowi untuk memberikan perlindungan kepada buruh, termasuk didalamnya Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja migran di luar negeri. Janji Jokowi yang termuat dalam Nawa Cita antara lain: pemberdayaan buruh, menciptakan kondisi kerja dan hidup layak, larangan kebijakan alih daya di BUMN, memperkuat sistem pengawas ketenagakerjaan, dan mekanisme proteksi terselubung untuk melindungi tenaga kerja dalam pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Terkait buruh migran dan pekerja rumah tangga, Jokowi juga berjanji untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT dan menjamin hak-hak buruh migran sesuai dengan Konvensi PBB 1990 yang dituangkan dalam revisi UU No 39 Tahun 2004.
Namun yang menjadi ironi, kasus outsourcing yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun belum terselesaikan hingga saat ini dan bahkan penetapan PP Pengupahan menjadi bumerang bagi buruh untuk mendapatkan hidup layak. RUU Perlindungan PRT dan Revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Luar Negeri juga belum diselesaikan pembahasannya secara serius oleh negara.
Perlu komitmen serius dari Pemerintah Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan perburuhan yang dituangkan dalam nawa cita. Buruh memerlukan jaring pengaman, baik dalam bentuk jaminan sosial dan penegakan hukum, di tengah situasi pasar kerja fleksibel dan pasar bebas yang sudah diberlakukan. Tanpa komitmen yang serius dari pemerintah, buruh akan terus menerus menjadi korban kebijakan dan perilaku aparat yang diskriminatif dan eksploitatif.
Oleh karena itulah, dalam Refleksi Akhir Tahun 2015 terhadap isu Perburuhan, LBH Jakarta meminta kepada:
a. Presiden Joko Widodo untuk:
- Mencabut Cabut PP Pengupahan dan melakukan harmonisasi kebijakan perburuhan yang ada (putusan MK, UU PPHI, UU No 13 Tahun 2003, dan Peraturan Menteri);
- Memastikan terpenuhinya hak-hak buruh outsourcing BUMN dan pengangkatan karyawan outsourcing menjadi buruh tetap “demi hukum” berdasarkan UU No 13 Tahun 2003;
- Meningkatkan pengasawan ketenagakerjaan untuk memastikan pengusaha menjalankan prinsip-prinsip dasar perburuhan, termasuk di dalamnya pemenuhan hak normatif dan jaminan kemerdekaan berserikat.
- Melakukan audit di lingkungan TNI dan penghapusan kebijakan yang militeristik, seperti banyaknya MoU yang diproduksi oleh TNI dengan Pengusaha atau instansi terkait setingkat kementerian;
b. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk membentuk unit khusus perburuhan di kepolisian agar tidak terjadi impunitas terhadap pengusaha yang melakukan tindak pidana ketenagakerjaan pelanggaran upah dan kemerdekaan berserikat;
c. Menteri Tenaga Kerja dan DPR RI untuk mendukung pembahasan RUU PRT yang berperspektif perlindungan dan gender serta merevisi UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN.